Sunday, January 29, 2012

Secangkir Senja #Proyek27

Mereka di sini lagi. Duduk bersisian dengan ditemani secangkir teh hangat. Langit senja selalu nampak memukau dari ketinggian, dan Kirana betah duduk berlama-lama di bawah kaki langit seperti saat ini sambil mengantar mentari pulang dan menyaksikannya ditelan malam.

“Na…” panggil Josa yang duduk di sebelahnya. Ia tidak dapat melihat wajah gadis itu karena sekarang Kirana menyandarkan kepala di bahunya.

“Kirana,” panggilnya lagi saat gadis itu bergeming.

“Kirana,” kali ini suara Josa terdengar waspada, dipegangnya sebelah bahu Kirana.

“Tenang aja, Josa… Aku belum mati,” Kirana mendongakkan kepalanya cepat sambil terkikik. Ia senang menggoda Josa seperti ini.

“Berapa kali sih aku bilang? Jangan bercanda kayak gitu!” sergah Josa. Jantungnya masih berdetak cepat saat ia mengamati wajah pucat Kirana yang tertimpa cahaya oranye mentari. Masalahnya gadis itu butuh pengawasan ekstra, atau seperti yang sering dikatakan secara gamblang oleh Kirana: ia bisa mati kapan saja. Belakangan ini penyakit myasthenia gravis-nya semakin parah, dan Kirana tahu waktunya sebentar lagi.

“Jangan terlalu tegang. Aku nggak mau lihat kamu cepat tua,” Kirana tertawa. Josa selalu kagum dengan ketegaran gadis itu menghadapi penyakitnya.

“Aku nggak mau lihat kamu cepat pergi,” Josa mendesah seraya mengecup puncak kepala Kirana. Entah berapa lama lagi ia bisa menghirup aroma gadis itu.

“Langitnya cantik,” Kirana mengalihkan pembicaraan. “Senja selalu indah ya, Jos? Indah tapi singkat”.

Seperti kamu, Josa menambahkan dalam hati.

“Kira-kira, berapa senja lagi ya yang bisa kita lihat bersama?” tanya Kirana, ia menyeruput teh manisnya. “Kalau dari surga, senja kelihatan secantik ini nggak ya?”

Kirana masih terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris, sementara Josa dengan sabar mendengarkan, sambil sesekali menanggapi. Ia jadi bertanya dalam hati, seandainya Kirana tidak sekarat, apa mereka akan menghabiskan waktu seperti saat ini? Duduk berdua di puncak gunung, sambil menikmati angin sore. Apa ia akan menyadari betapa berharganya gadis ini?

“Ah, aku ke toilet dulu ya,” Kirana bangkit lalu bergegas ke dalam pondok.

Josa menunggu hingga punggung Kirana menghilang sepenuhnya sebelum melancarkan aksi yang sejak tadi ditahannya.

“Sudah waktunya ya?” ia bertanya pada udara kosong di depannya. Perlahan sesosok wanita cantik berpakaian serba hitam muncul di hadapannya.

“Iya. Pukul 18.00, penyebab kematian: gagal napas,” wanita itu berkata datar, seolah sudah terbiasa menyebutkan hal serupa,”Menarik juga kamu bisa melihatku. Sebuah keuntungan atau kerugian, eh?”

Josa tidak menjawab. “Kalau aku memintamu tidak membawanya?”

“Tentu saja tidak bisa. Ini sudah tugasku, mengantar rohnya ke tempat yang tenang”.

“Kalau menundanya, bisa?”

Wanita itu mendengus. “Kalian manusia, kenapa selalu berusaha melawan kematian? Bukankah setiap manusia pasti mati? Cepat atau lambat kamu harus merelakannya”.

“Kamu bicara seperti itu karena tidak pernah merasakan cinta,” Josa menjawab, hatinya teriris mengingat sebentar lagi orang yang dicintainya akan direnggut paksa.

“Cinta?” wanita itu tertawa,”Kenapa kalian mengagung-agungkan hal serapuh itu?”

“Menurutmu, kenapa aku bisa melihatmu?” bukannya menjawab Josa malah bertanya,”Mungkin saja karena aku bisa mencegahmu kan?”

Melihat kegigihan pria dihadapannya, wanita itu diam sejenak. “Baiklah. Kalau kamu bersikeras, sebenarnya ada satu cara, tapi…”

“Apa?” Josa menyambar cepat.

“Nyawa tetap harus ditukar dengan nyawa,” wanita itu menjelaskan,”Kamu bisa melindunginya, tapi keberadaanmu di dunia ini akan lenyap”.

“Jadi aku bisa mati menggantikannya?”

“Bukan. Eksistensimu tidak akan pernah ada. Keluargamu tidak akan mengingatmu, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang menyadari bahwa kamu pernah ada, termasuk Kirana. Kamu akan menghilang, seolah-olah tidak pernah dilahirkan”.

“…”

“Bagaimana?” tanya wanita itu lagi,”Waktu kita tidak banyak.”

“Baik, aku terima tawaran itu,” Josa menyanggupi.

Alis kedua wanita itu terangkat, belum pernah ia menemui seseorang dengan determinasi seperti ini,”Jadi kamu rela menukar cawan hidupmu dengan miliknya?”

Josa mengangguk mantap.

*
Tetes-tetes air masih membasahi bumi, namun di tengah dinginnya udara sore mereka duduk di depan pondok. Menanti langit senja dengan ditemani secangkir teh hangat.

“Gerimis,” laki-laki itu bergumam.

Gadis yang bersandar di bahunya mengangguk,”Tapi tetap cantik”. Angin sore yang terasa sejuk di kulit bertiup lembut, seolah mengukuhkan keberadaan mereka.

“Aku mencintaimu, Kirana,” Josa menggenggam tangan Kirana lembut, namun gadis itu tidak bereaksi. Dalam jarak sedekat ini ia dapat merasakan napas gadis itu mengalun seirama dengan miliknya. “Selalu mencintaimu”.

“Aku senang sekali hari ini. Terima kasih mau menemaniku ke sini,” Kirana menatap sepasang mata hitam di sebelahnya, wajahnya kini lebih segar, persis seperti yang Josa ingat ketika mereka pertama kali bertemu.

“Kirana…” Pemilik mata yang mempesona itu berkata dengan suara rendah, “Menikahlah denganku”.

Josa melihat wajah Kirana melembut, ia lalu mengangguk penuh haru. Dipeluknya tubuh lelaki sempurna itu dan membiarkan hangatnya menjalari tubuhnya.

Ia bahagia, Josa menatap pasangan di depannya sendu. Perlahan ia membiarkan tubuhnya melayang di udara. Meninggalkan Kirana dengan laki-laki yang ditakdirkan untuknya.

“Cinta,” wanita dengan pakaian serba hitam muncul di sampingnya,”Membuat seseorang mampu melakukan apa pun ya?”

“Sekarang kamu tahu kan betapa hebatnya perasaan itu?” Sebelah tangan Josa membuat gerakan di udara, dan dalam sekejap sebuah pelangi membusur indah.

“Pelangi,” ia dapat mendengar suara riang Kirana dari bawah sana.

Iya, Kirana. Pelangi. Sebuah janji bahwa aku akan melindungimu selamanya. Demi secangkir senja untuk kamu nikmati setiap hari.


No comments:

Post a Comment