“Kamu telat lima belas menit,” aku meninggalkan dinding
tempatku bersandar dan mengikuti langkahnya. Gadis itu sama sekali tidak
menoleh. Ia berjalan lurus menuju tempat tidur di mana tubuhku terbaring dengan
berbagai alat penyanggah kehidupan.
Aku menatap sosoknya dari belakang sementara ia mematung di
sisi ragaku. Kami diam. Suara yang terdengar hanyalah dari mesin yang
menggantikan kerja tubuhku. Ia terlihat lebih kurus, pasti karena sebulan ini
tidak ada lagi yang mengingatkannya untuk makan siang di sela jam praktiknya.
Seperti biasa, ia mengelus keningku, membelai rambutku yang
berantakan. Aku menyadari betapa aku merindukan sentuhannya.
Ia menggigit bibir. Aku tahu artinya. Aku terlalu
mengenalnya hingga mengetahui bahasa tubuhnya, hapal kebiasaannya, dan memahami
perasaannya.
Tangannya kini menyentuh pipiku,”Aku cinta…” Ia berhenti
sejenak, lalu meralat,”Aku benci kamu hari ini”.
Aku menatapnya sendu, lalu memeluknya dari belakang. Ia
bergeming. “Maaf,” bisikku sambil menciumi puncak kepalanya.
“Aku benci kamu karena kamu tidak ada lagi hari ini,” ia
melanjutkan. Aku menanggapinya,”Aku di sini”.
“Aku benci kamu karena hari ini pun aku merindukan kamu. Suaramu,
tawamu, candamu, bahkan perdebatan-perdebatan kecil kita tentang pasien,” ia
berkata lirih. “Aku juga,” jawabku, masih merangkumnya dalam kedua lenganku.
“Aku benci kamu karena kamu pergi ke tempat yang tak bisa
aku kunjungi,” suaranya bergetar.
Persistent vegetative state atau mati batang otak, begitu
kami kaum dokter menyebutnya. Dia menyebutnya batas antara hidup dan mati. Aku
menyebutnya mati. Aku ingat diskusi seru kami ketika membahas topik ini. Tapi
bagiku, orang yang tidak bisa hidup tanpa alat bantu sama saja mati. Aku sudah
mati.
“Aku benci kamu karena kamu memilih meninggalkanku,” ia
berkata lagi. Aku tahu apa yang ada dipikirannya. Ia pasti teringat perbincangan
kami pada sebuah senja.
“Seandainya aku mati batang otak, aku ingin kamu mengakhiri
hidupku”.
“Kok ngomong kayak gitu?”
“Kepikiran aja,” aku berkata enteng, “Kebetulan tadi pasien
aku ada yang baru aja dicabut alatnya.”
Ia menatapku,”Kamu serius?”
“Nggak ada yang pernah bisa bangun dari keadaan itu,” Aku
balas menatapnya.
“Belum,” ia mengoreksi,”Siapa tahu kamu nanti jadi yang
pertama”.
Aku mengecup pipinya dari belakang. Ia selalu penuh harapan.
Tapi pada detik ini, ia tahu berharap juga ada masa kadaluarsanya.
Ia maju selangkah, mencabut selang yang terpasang di
mulutku. “Aku benci kamu karena membuatku melakukan ini”. Lagi-lagi hanya maaf
yang bisa aku ucapkan.
Ia kini menunduk, menyentuh bibirku dengan bibirnya. Perlahan
tangannya menggenggam tanganku, aku berharap bisa membalasnya.
Dengan mata basah ia menjulurkan tangannya pada mesin yang
masih menyala. Jarinya bergetar pada sebuah tombol. “Jadilah kuat,” Aku
memegang tangannya, berharap bisa menyalurkan sedikit keyakinan,”Aku tahu kamu
bisa”.
“Selamat tinggal,” dengan mata terpejam akhirnya ia menekan
tombol itu. Suasana mendadak hening. Kemudian tangisnya pecah memenuhi penjuru
ruangan.
“Maaf, maaf… Maaf…” Aku memeluknya, mengusap kepalanya,
mencium rambutnya. Sosokku perlahan menghilang. “Maaf karena membuatmu membenciku.
Terima kasih karena telah melakukannya untukku. Aku akan menunggumu. Sampai
jumpa”. Dengan sisa waktuku aku merengkuh tubuhnya, sampai keberadaanku di
dunia ini lenyap seutuhnya.
Hallo Kawan.. :)
ReplyDeleteku tertarik dengan tulisan2 yang ada di sini..
ikut baca2 ya..
salam kenal juga..,
(Rudi)