Wednesday, December 9, 2015

Skenario Vana

Tangan kanan Vana mencengkeram cangkir kopi di hadapannya hingga rasa panas membakar telapak tangannya. Matanya menatap jauh ke depan, kepada tulisan yang terpampang besar-besar di dinding Caftee & Bun ‘Everything you want is on the other side of fear’. Sebuah kalimat yang dengan sangat tepat merangkum semua kegelisahan hatinya.

Vana menghembuskan napas berat. Ia menatap Alan yang sejak tadi bergeming di hadapannya. Pandangan pria itu terus terpaku pada satu titik. Sebuah formulir pendaftaran beasiswa ke Juilliard. Secarik kertas yang dapat menjadi tiket Vana untuk hengkang dari kehidupan yang menghimpitnya sekarang.

Kamu tuh, Van, jangan suka neko-neko, ya. Lulus SMA, kuliah kedokteran, ambil spesialis, menikah dengan sesama dokter, lalu berumah tangga sambil meneruskan karir mu. Ucapan Ibu terngiang-ngiang di telinga Vana, ucapan yang entah sudah berapa ratus kali diulang Ibu bahkan hingga kini ia hampir mengakhiri kepaniteraan kliniknya di fakultas kedokteran. Ucapan yang memaku seluruh keberaniannya untuk membanting setir dan mengambil kemudi atas seluruh hidupnya.

“Van…” Alan mendorong kertas yang sejak tadi begitu menarik perhatian Vana. Gadis itu harus mencengkeram pinggir kursinya erat-erat untuk mencegah tangannya meraih kertas itu dengan kesetanan. Bagaimana tidak, seluruh mimpinya dapat dimulai pada selembar kertas itu.

“Bagaimana kalau gue gagal, Lan?” Suara Vana bergetar. Satu ketakutan terbesarnya adalah apabila ia gagal kelak, semua orang akan mencibirnya, Ayah dan Ibu akan memandanganya sinis dan berkata,’Kan sudah kami bilang’.

“Bagaimana kalau lo berhasil?”Alan menatap mata sahabatnya tajam. “It’s Juilliard, for god’s sake. Juilliard! elo nggak boleh ngelewatin ini, Van! Cuma orang gila yang menyia-nyiakan kesempatan ke Juilliard. Ini mimpi lo, cita-cita lo!”

Cita-cita. Vana tertegun. Mungkin di dunia ini hanya Alan yang ingat dirinya masih punya cita-cita, bahwa dirinya masih punya mimpi untuk menari di atas panggung Juilliard.  

“Ayolah, Van, mau sampai kapan elo terus ngangguk-ngangguk sama nyokap lo? Hidup lo kan lo yang jalanin, kalau lo nggak bahagia, nyokap dan bokap lo bukan orang yang akan setiap hari merasakan ketidakbahagiaan lo”.

Alan benar. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin memberanikan diri untuk keluar dari kehidupan yang telah diplot Ibu sedemikian rupa, hanya saja ia tidak punya cukup nyali untuk melakukannya.

“Gue menyedihkan, ya, Lan?” Vana tersenyum pahit. Lucu bagaimana semua orang melihat dirinya begitu sempurna, lahir dalam keluarga yang serba berkecukupan, anak dari dua dokter terkenal yang kini sedang membangun jalan mengikuti kedua orang tuanya pula. Lucu bagaimana seluruh dunia menilai Ivana Tirtakencana hanya dari materi, gelar, dan latar belakang keluarganya saja. Padahal ia lebih dari itu, ia adalah mimpinya, ia adalah tarian yang berhasil ditampilkannya pada sebuah pentas di gedung kesenian Jakarta tahun lalu, ia adalah keinginannya untuk hidup lepas dari embel-embel ‘anak dokter’ dan sukses dengan keringatnya sendiri,

“Elo menyedihkan kalau lo nggak memperjuangkan mimpi lo, Van.”

Vana membiarkan jarinya yang bergetar mengambil kertas yang sejak tadi terletak manis di atas meja. Lagi-lagi Alan benar, ia memang takut untuk membanting setir, tapi ia lebih takut lagi jika suatu hari nanti ia menoleh ke belakang dan melihat hidupnya, ia akan menyesal tidak mengambil kesempatan ke Juilliard hari ini.


Untuk kali ini saja, ia ingin mencoba memperjuangkan hidupnya sendiri, dengan caranya sendiri, menurut skenarionya sendiri, bukan skenario milik Ibu.


picturetakenfrom:pinterest.com

Saturday, December 5, 2015

natal pagi beraroma vanilla

Alana menatap kosong lampu-lampu natal yang berpendar di sekitarnya. Samar-samar alunan lagu little drummer boy versi Pentatonix memenuhi gendang telinganya. Ia menerawang jauh, mengabaikan barisan pohon natal bernuansa silver yang menghiasi kawasan taman Tribeca siang itu, mengabaikan tawa dan canda para pengunjung yang berlalu lalang di sekelilingnya.

Alana menghembuskan napas berat. Ini adalah pagi natal, dan ia rindu keluarganya. Ia kangen Yogyakarta. Padahal ini baru tahun pertamanya menghabiskan natal di ibukota, namun ternyata kentalnya suasana natal di tempat ini membuatnya merindukan rumah dan merayakan natal di sana.

Seorang wanita berusia tiga puluhan melintas di depan Alana, wanita itu mendorong seorang nenek yang berada di kursi roda, di belakangnya seorang bocah laki-laki yang kurang lebih berusia lima tahun mengikutinya dengan langkah lebar-lebar sambil memegangi topi santa yang kebesaran di kepalanya. Satu sudut bibir Alana tertarik keatas, hatinya terasa pedih, ia berharap berada di rumah saat ini. Ia berharap detik ini ia sedang duduk di salah satu kursi di meja makan kayu bersama Ibu, Ayah, Opung, dan Bima, adiknya. Ia dapat membayangkan aroma ayam panggang bercampur rempah buatan ibu yang menguar memenuhi ruang makan. Lalu Ayah akan menyetel lagu-lagu natal dari piringan hitam legendarisnya. Opung akan mengajak mereka semua berdoa sebelum makan, dan Bima akan mencuri-curi mencicipi ayam panggangnya terlebih dulu saat mereka berdoa. Diakhir hari mereka akan sama-sama berangkat ke gereja untuk menghadiri perayaan natal. Tapi, Alana harus merelakan semua tradisi itu tahun ini karena kuliahnya.

Natal di Jakarta juga nggak buruk-buruk amat, kok, begitu seorang teman pernah menghiburnya saat ia mengeluh soal tidak dapat kembali ke kampung halamannya tahun ini. Alana tersenyum kecut sambil menghapus setitik air mata yang mulai muncul di sudut matanya. “Coba buktiin kalau natal gue nggak akan buruk-buruk amat,” Alana berbicara sendiri.

“Oke, akan gue buktiin”.

Alana mendongak mendengar sebuah suara bariton menjawabnya. Ia kenal suara itu. Keeve. Benar saja, di hadapannya laki-laki itu tersenyum lebar sambil menampakkan deretan gigi putihnya. Belum sempat Alana bereaksi, Keeve sudah menarik tangan gadis itu kasual.

Keeve membawa Alana ke gedung apartemen miliknya yang berada tidak jauh dari taman Tribeca. Mereka kini berada di depan sebuah pintu kayu dengan Christmas wreath mungil yang tergantung di depannya. “Siap?” Keeve mengerling jenaka pada Alana, membuat kedua alis gadis itu bertaut. Tidak sampai satu detik setelahnya, laki-laki itu membuka pintu di hadapan mereka.

“MERRY CHRISTMAS!!!” Sambutan meriah di hadapannya membuat Alana mundur beberapa langkah. Ia mengerjap beberapa kali. Di depannya, berdiri Ailin, Dera, Thomas, Aria, Kika, dan masih banyak lagi teman sekelasnya, semua menyambutnya dengan senyum lebar.

“Sini,” Aria menarik tangan Alana dan mengenakan bando bertanduk rusa di kepalanya, membuatnya sama seperti yang lain. Aria mempersilahkan Alana yang masih terkejut untuk duduk bergabung dengan mereka di sofa. Alana memperhatikan meja di hadapannya yang tampak meriah. Ada pizza berukuran besar dengan berbagai macam topping, beraneka jenis minuman soda, kue tart sewarna salju yang aroma vanillanya memenuhi sudut ruangan. Kedua sudut bibir Alana mau tak mau tertarik ke atas. Ia baru sadar ternyata natal dapat hadir dalam berbagai macam kemasan.

“Tuh kan, gue bilang juga apa,” Alana merasakan napas hangat Keeve di telinganya. “Nggak buruk-buruk banget kan?”

Alana mengangguk. Mungkin bukan natal terbaik yang pernah dilaluinya, tapi mungkin suatu hari nanti ia akan merindukan momen ini. Sebuah pagi di hari natal yang beraroma vanilla.

picturetakenfrom:pinterest.com



Sunday, October 18, 2015

Coming Soon: Memoria

Jadi Rega menghilang begitu saja? Tidak ada surat? Tidak ada barang yang ia tinggalkan? Tidak ada tanda-tanda? Bahkan tidak ada memori tentang Rega dalam ingatan orang-orang di sekelilingmu? Tak ada foto sama sekali?” tanya dokter Wina.
“Ya,” aku mengonfirmasi.
“Apa teorimu tentang hal ini?” Ia menyeruput teh hangatnya dengan congkak. Dia tahu, dia sudah menang.
Aku tak menjawab. Apa yang bisa kukatakan?
“Apakah ini masuk akal?”
Aku menggelengkan kepala, menggigit bagian bawah bibirku. Aku enggan menatap wajahnya yang sombong itu.
“Maira.” Dokter Wina mengambil napas dalam-dalam. “Langkah awal dari penyembuhan adalah penerimaan. Kamu harus mengakui dan menerima bahwa kamu...” dia mencari kata-kata. Wajahnya tampak sangat mengibaku, membuatku mual. “Kamu butuh pertolongan.”
Emosiku menggelegak. Harus berapa kali aku meyakinkan orang-orang di sekitarku bahwa Rega benar-benar nyata?! Harus dengan cara apa lagi aku membuat mereka percaya?!
Dokter Wina mendekatkan tangannya pada pundakku—seperti yang dulu sering dilakukan Rega saat menenangkanku. Aku tak sudi. Kutampar tangan itu kuat-kuat sebelum sempat mendarat pada tubuhku.
Aku bangkit dari sofa, lalu keluar dengan membanting pintu. Ini adalah terakhir kalinya aku membiarkan diriku terkurung dalam ruangan itu. Tak peduli kata Ibu, tak peduli kata Nadin. Persetan dengan semua ini.
***


A glimpse of my upcoming book, “MEMORIA”. Nantikan di toko buku – toko buku terdekat ya! :)




Sunday, October 4, 2015

tiga detik.

Love is a big story consists of thousands tiny precious moments.—Arlo

“Jatuh cinta lo?” Devan menoleh dan mendapati Arlo melirik ponselnya yang sejak tadi ia pegang.

Arlo tersenyum penuh arti saat bergabung dengan Devan di ruang tamu kost. “Siapa namanya?” Arlo melirik ponsel Devan lagi yang masih menampilkan gambar yang sama—potret seorang gadis berambut hitam sebahu yang diambil dari samping.

“Leona,” Devan menjawab, nama yang beberapa hari belakangan ini selalu memenuhi kepalanya hingga ia merasa butuh melakukan sesuatu agar tidak gila.

“Cantik, Bro,” Komentar Arlo sambil memindahkan saluran televisi yang sejak tadi tidak ditonton oleh adik kelasnya yang lebih muda tiga tahun darinya itu. “Udah seberapa deket lo?”

Devan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Ng—”

Man.” Arlo menatap Devan lurus-lurus,”Jangan bilang kalian sama sekali belom deket?”

Devan hanya bisa nyengir sebagai jawaban. “Dia bahkan belom tahu nama gue, Bang”.

Oh, come on, make a move dong, Denovan Wiridja,” Arlo meninju bahu Devan ringan. “Mau sampai kapan elo bengong doang ngeliatin tuh foto? Puas lo pacaran sama iPhone?”

“Iya, tapi, Bang—” Devan lagi-lagi menggaruk tengkuknya, dalam hati menertawai dirinya yang begitu pengecut. Bagaimana mau kenalan, ia bahkan tidak berani menyapa Leona saat mereka berpapasan di koridor sekolah.

First move is always the hardest, Bro,” Arlo seakan mengetahui pikiran Devan. “Baby step is okay”.

“Elo kenal Lila, pacar gue, kan?” Lanjut Arlo.

Devan mengangguk, ia pernah mengobrol beberapa kali dengan gadis itu saat Arlo membawanya ke sini.

“Tiga detik,” Arlo mengacungkan ketiga jarinya di udara. “Itu adalah lamanya waktu Lila melirik gue pertama kali. Cuma tiga detik, Bro. Tapi itu adalah tiga detik paling gila yang bisa menjungkir balikkan hati gue. Jantung gue rasanya mau copot. Gue nggak pernah tau kalau jantung gue bisa berdetak secepat dan sekencang itu cuma gara-gara satu cewek. Lila dengan rambut panjangnya yang selalu dikuncir kuda, matanya yang besar, bibirnya yang sedang tersenyum. Bibirnya. Damn, it was the best three seconds in my entire life”. Arlo tersenyum sendiri mengenang hari itu. “Cuma dilirik doang, Bro. Cuma tiga detik. Tapi kalau itu adalah cewek yang lo suka, man, senengnya ngalahin rasa seneng kalau klub bola favorit lo menang piala tujuh tahun berturut-turut”.

Devan tertawa mendengar cerita Arlo.


“Sejak hari itu gue jadi makin semangat ngejar Lila. Gue selalu berusaha menarik perhatian Lila, entah itu ngobrol kencang-kencang sama temen gue, main gitar di kelas, atau bikin keributan kecil. Semua karena gue ingin merasakan tiga detik – tiga detik lainnya diperhatikan Lila. Lalu perlahan tiga detik itu jadi tiga puluh detik, tiga puluh detik jadi satu menit, satu menit jadi satu jam, sampai akhirnya kami akrab dan gue punya keberanian buat nembak Lila. It’s been three years, but these three years started in three seconds.” Arlo tersenyum lalu menepuk bahu Devan. “Jadi, Bro, ciptain tiga detik lo sendiri, dan lihat sendiri gimana tiga detik tergila dalam hidup lo bisa bikin lo ngelakuin hal-hal gila lainnya untuk ngedapetin Leona”.

picturetakenfrom:pinterest.com