Friday, November 29, 2013

a gift

Elena mengernyitkan dahi tatkala menatap langit yang siang itu tampak cerah tanpa awan. Dalam hati ia mengeluh karena lupa memakai sunblock tadi pagi. Alarm yang tidak berbunyi tanpa sebab membuatnya terburu-buru berangkat ke kampus, dan kini, sengatan matahari pukul tiga siang terasa membakar kulitnya yang tidak mempunyai melanin sebanyak orang Indonesia kebanyakan.

“Elena!” Sebenarnya Elena enggan menoleh, ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam mobil untuk menghindari sinar matahari yang terasa semakin membara. “Elena!” panggil suara itu lagi, yang akhirnya membuat Elena berbalik sambil melengos malas.

“Sky Bar? Malam ini?” Seorang pria berambut kecoklatan dengan kacamata berbingkai kotak menghampirinya.

Elena menggeleng. “Gue pass deh malam ini, Do".

Really? Kita baru aja selesai ujian dan dapet libur satu setengah bulan, and you don’t even want to celebrate it? Ini nggak elo banget, El. Ada apa sih?”

“Nggak ada apa-apa,” Elena tersenyum hambar. “Lagi nggak mood aja. Lain kali mungkin,” Ia melambaikan sebelah tangannya, lalu berbalik, berharap Nando tidak mengejarnya untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

Elena menekankan sidik ibu jarinya pada kenop mobil hingga pintu terbuka. Ia masuk, dan secara otomatis mesin mobil segera menyala. “Rumah,” perintah Elena tanpa semangat.

“Ada tujuan lain sebelum rumah?” Terdengar suara seorang wanita yang berasal dari komputer mobil. “Tidak,” Elena menggeleng.

“Kemudi manual atau otomatis?” Komputer itu bertanya lagi.

“Otomatis”. Mobil segera melaju meninggalkan pelataran parkir kampus. Elena meraih tablet dari dalam tasnya. Benda tipis transparan tersebut langsung menyala begitu ia menyentuhnya. Elena mengecek e-mailnya. Ia tersenyum tipis saat menemukan e-mail yang dicarinya—terselip di antara banyaknya e-mail hasil ujian yang dikirim langsung oleh professor yang mengajarnya. Elena membuka e-mail tersebut, e-mail konfirmasi bahwa pesanannya tiba hari ini.  Sebuah pohon natal mungil berdesain gaya lama—bukan pohon natal dengan rancangan lean dan modern yang membosankan seperti yang sekarang sedang tren. Elena menatap foto pohon natal hijau pesanannya dengan puas.

Mobil yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang, menunggu hingga gerbang terbuka otomatis dan mobil itu terparkir manis dengan sendirinya. Elena menatap dua mobil yang juga terparkir di garasi dengan tatapan keruh.

“Sudah makan?” suara komputer menyambutnya begitu ia menginjakkan kaki di rumah.

“Sudah,” Elena berbohong, ia sedang tidak ingin makan apa pun. Ia hendak menaiki tangga dan mendapati Mama sedang duduk di pantry sambil menyesap secangkir kopi. Elena membuka mulut, namun ia mengurungkan niatnya. Elena tersenyum kecut sambil menelan kembali perkataannya. Padahal Mama di rumah, padahal Papa di rumah, tapi tetap saja yang menyambut kepulangannya adalah komputer.

Elena membuka pintu kamar dan mendapati sebuah kotak transparan berisi pohon natal pesanannya. Masih polos, tapi sebentar lagi ia akan menghiasnya. Elena menyapukan pandangannya ke sekeliling kamar. Ruangan yang tadinya serba putih itu kini penuh dengan dekorasi merah dan hijau. Ia suka sekali berada di kamarnya, berbeda dengan suasana di luar yang dingin dan kaku—kamarnya kini terasa hangat dengan aura Natal yang pekat.

Baru saja Elena menggantung beberapa ornamen pada pohon natalnya, suara ribut terdengar dari lantai bawah. Elena mengigit bibir—berusaha tidak peduli pada kegaduhan tersebut, ini bukan pertama kalinya terjadi di rumah. Ia bahkan sudah hampir terbiasa dengan hal semacam ini.

PRAAAANGG!! Elena menebak benda apalagi yang hari ini menjadi korban. Ia beranjak menuju player-nya, dan menyetel musik dengan volume maksimal. Tapi suara-suara itu tetap tidak hilang. Kesal, akhirnya Elena menyambar tabnya.

“Richie, elo dimana?” Beberapa detik kemudian wajah Richie muncul di layar.

“Di gereja, latihan buat Christmas Carol,” jawab sahabatnya itu.

“Oke, gue ke sana.”

Great, kebetulan ada sesuatu yang pengen gue kasih ke elo”. Elena segera menyambar tasnya tanpa menghiraukan kalimat terakhir Richie. Ia menuruni tangga, berusaha untuk tidak mendengar dan melihat pertengkaran kedua orang tuanya di ruang tengah. “Gereja,” ia memberi perintah pada komputer mobilnya. “Kemudi manual”. Elena menginjak pedal gasnya dalam-dalam.


“Gue benci Natal tahun ini,” Elena membiarkan kalimatnya keluar begitu saja, sementara Richie duduk di sebelahnya. “Dan tahun-tahun sebelumnya. Gue nggak ingat kapan terakhir kali gue natalan dengan tenang”.

“Ini soal orang tua lo lagi ya?” Richie menatap sahabatnya itu lama.

It’s like I get a terrible Christmas gift every year!” Nada Elena naik seoktaf, tidak peduli dengan tanggapan Richie. Selama ini hanya pada Richie ia bisa bercerita tanpa sensor tentang apa pun. Hanya sahabatnya itu yang bisa membiarkannya menumpahkan segala kekesalannya dan membiarkannya menangis sampai puas.

“Natal bukan soal kado, iya kan?” Richie berusaha untuk tetap tenang di sebelah sahabatnya yang meledak-ledak. “Let’s say, you get an awful present, it can’t be the reason to say that you’re having a bad Christmas. Bukannya itu alasan elo tetap suka Natal? Bukannya itu alasan elo tetap menghias kamar lo tiap tahunnya? Christmas is about who have came years ago, and will come back anytime soon, isn’t it?” Richie berhenti sebentar sebelum akhirnya melanjutkan. “Dan lagi, mungkin tahun ini kado Natal lo nggak akan seluruhnya buruk”. Ia menyodorkan sebuah kotak berpita putih.

Elena menatap Richie tidak percaya, baru kali ini sahabatnya itu memberinya kado Natal. “Elo sehat?”

“Sehat banget,” Richie nyengir.

Elena menarik pita yang membungkus kotak tersebut, lalu membukanya. Isinya adalah sebuah bando bertanduk rusa. Elena tertawa kecil. Satu lagi yang ia suka dari Richie adalah cowok itu selalu tahu cara menghentikan tangisnya di saat yang tepat.

Richie mengambil bando tersebut dan memakaikannya pada Elena. “Mau datang ke malam Natal bareng?”

Elena tersenyum, mungkin Natal tahun ini nggak seburuk yang ia bayangkan.


picturetakenfrom:weheartit.com

Thursday, November 28, 2013

baby steps


So this morning, I got a mail from a friend. At the end of the e-mail, my friend wrote this: “This is our dream, rite? Biar lambat gpp yang penting we never stop doing it.” What a great morning, I thought, and such a lovely encouragement. I love little thing like this, it makes you smile even for a while. It boost your spirit, and I’d like to share it to you J

So if today you feel like the doors are closing one by one; or the roads are too foggy for you to see what’s happening in front of you. Take a seat for a while, look back and remember the reason you are here. Think about your dreams and the reason why you have those dreams. It’s okay if things aren’t going quite well right now—things went a little rough sometimes. It’s okay to take baby steps as long as you are moving. It’s okay. It’s going to be all right.

Wednesday, November 27, 2013

:)


Someone said to me that Christmas should be a happy season. And a Christmas post should be a happy post. I agree, actually, I love December more than my birth month. It is—just like a song, the happiest season of the year. Or it is, at least, what I am hoping for. For there are lots of reasons for me to doubt it this year. But I still believe there is something magical when it comes to Christmas. I still believe that there is something such as Christmas magic though I don’t believe in Santa, hehe… Anyway, it’s four weeks before Christmas, have a blessed advent weeks people!


picturetakenfrom:pinterest.com

becoming a doctor


OB/GYN Strike Reaches Jakarta as Doctors Threaten National Walk Out,” Siena membacakan judul salah satu artikel yang ditemuinya di the Jakarta globe sambil terus men-scroll tabletnya ke bawah, membaca keseluruhan berita.

And here they are today, doing the protests”. Wida menimpali sambil terus menekuni buku teks ilmu penyakit dalam yang super tebal. “Why don’t save life, instead of doing the protests?

“Jadi lo nggak setuju sama aksi demo dokter hari ini?” Siena mengalihkan tatapan pada sahabatnya—Wida si kamus Dorland, tanyakan pada sahabatnya itu tentang istilah kedokteran apa pun, ia pasti bisa menjawabnya.

“Demo dan menelantarkan pasien?” Wida menggeleng. “Sekali pun kasus darurat masih tetap ditangani, isn’t that kinda cheap? Demo-demo kayak buruh, kita kan kaum intelek.”

“Apanya yang cheap?” Siena mengangkat alis. “Bukannya kita hidup di negara demokrasi ya? Justru karena kita kaum intelek, kita harus sadar bahwa udah seharusnya aspirasi kita didengar. Dan salah satunya adalah dengan cara yang udah difasilitasi negara—demo yang nggak anarkis. We have the rights to be heard, kalau diam aja, bagaimana mereka bisa tahu kalau selama ini kaum dokter merasa diperlakukan nggak adil?”

“Tapi gue nggak suka sama sikap dokter-dokter yang merasa di atas angin. Merasa nggak bisa disentuh hukum dengan mengatasnamakan profesi kedokteran yang ‘luhur’,” Wida membetulkan letak kacamatanya. “Being a doctor and saving life doesn’t mean they can do whatever they want. Seharusnya mereka sadar, bahwa menjadi dokter berarti menjadi perpanjangan tangan negara untuk memenuhi kebutuhan hak masyarakat atas kesehatan. Not playing god as much as they like”.

Siena mengangguk kecil, lalu tersenyum hambar. “Lucu ya, dari kecil gue selalu berpikir it’s kinda cool to become a doctor one day. Saving life is heroic in my opinion. Then I grow up, masuk fakultas kedokteran, tahu betapa susahnya jadi dokter. Baca puluhan buku teks yang tebal-tebal, ujian tiap dua minggu sekali, siap-siap kerja rodi tapi gaji kecil, siap-siap dituntut kalau pasien salah paham. Suddenly becoming a doctor doesn’t sound that cool anymore.

“Elo mau nyerah?” Wida memiringkan kepalanya.

Nope,” Sienna menggeleng. “Gue cuma jadi mikir, segalanya ternyata nggak sesederhana itu ya. Nggak cukup dengan sekadar niat baik, and voila! You become an angel and everybody loves you. Mau berbuat baik, tapi malah jadi bumerang. For god’s sake, siapa sih yang mau bikin orang meninggal? Gue nggak akan jadi dokter kalau mau nyelakain orang.”

“Tapi niat baik bukan berarti bisa jadi pembenaran atas segala tindakan lo. There are rules, dear”.

Siena balas tersenyum, sedikit banyak ia setuju sih dengan Wida. Masalah tuntut menuntut dokter ini pasti nggak akan selesai dalam waktu singkat. Tapi tentu saja ia nggak akan berhenti jadi dokter hanya karena hal tersebut. Ia punya segudang alasan untuk jadi dokter—untuk jadi dokter sebaik yang ia bisa. After all, she still thinks that becoming a doctor is cool!

Tuesday, November 26, 2013

kids on love


Always love the way children describing love, hehe... Cute :)
You can click the link here if the video won't play.

christmas mail

picturetakenfrom:pinterest.com



Ellis menatap butiran air yang membasahi jendela di sebelahnya. Di luar sana hujan mengguyur tanpa ampun. Pengendara-pengendara motor menepi menunggu hujan reda. Para pejalan kaki yang berpayung melangkah dengan hati-hati. Bocah-bocah kecil berlarian dan tertawa lepas tanpa alas kaki. Semuanya tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Ia bertanya-tanya apa yang sedang dirasakan orang-orang di luar sana. Bersyukur karena akhirnya hujan turunkah? Memaki hujan yang turun tiba-tibakah? Atau… merasa rindu karena hujan membuat mereka teringat pada seseorang yang mereka kasihi?

Seperti dirinya sekarang.

Suara samar lagu natal yang mulai diputar di Kaftee&Bun membuat Ellis semakin terlarut. Padahal masih awal November, namun suasana natal sudah kental terasa di kafe langganannya itu. Ellis tersenyum pahit. Seharusnya ia menikmati momen ini, saat di mana ia dapat menikmati coklat panas favoritnya di pinggir jendela tanpa harus merasa kepanasan oleh sinar matahari yang menembus masuk. Seharusnya ia dapat menikmati syahdunya suasana natal ditemani rintik hujan yang menyejukkan. Seharusnya… Ellis menatap layar laptop yang sejak tadi menyala tanpa disentuhnya. Seluruh niatnya mengerjakan paper tiba-tiba hilang, berganti dengan rasa rindu yang teramat sangat.

Pintu masuk terbuka.

Seorang laki-laki dengan hoodie hitam melangkah masuk. Sosoknya mengingatkan Ellis pada seseorang. Ia membayangkan orang itu melangkah masuk melalui pintu, berjalan ke arahnya dengan senyum jenakanya yang khas. Ia membayangkan sosok itu duduk di hadapannya, mencondongkan tubuhnya di atas meja, bercerita tentang harinya yang membosankan. Mereka tersenyum, tertawa, berbincang, dan saling bertukar cerita.

Ellis menggigit bagian bawah bibirnya hingga rasa asin bercampur besi menyentuh lidahnya. Air mata mulai menyesaki sudut matanya. Butuh lebih dari sekadar rasa sakit untuk membuatnya melupakan sosok itu. Butuh lebih dari sekadar beribu-ribu kilometer untuk membuatnya berhenti memikirkan apa yang selama ini menyesaki hatinya. Untuk membuatnya lupa bahwa Natal seharusnya menjadi waktu baginya untuk pulang. Untuk membuatnya mengenyahkan kenangan-kenangan Natal yang pernah mereka habiskan bersama.

Tapi tahun ini adalah akhir dari segalanya. Natal tahun ini adalah perhentian terakhir dari cerita mereka. Ellis membuka halaman emailnya dan mengetik sebuah pesan baru di sana.


To: Levi (a.levi@mail.com)
Subject: Happy Christmas :)

Hey, happy early Christmas! Hope you enjoy your Christmas this year; I’ll try to enjoy mine too. Tons of wishes for both of us to find a new wonderful journey, right?
Prettige kerstdagen!