Thursday, August 25, 2016

Life in miniature

I was 12 when I experienced my first long-haul-flight to Australia. It was my first time realizing that the earth is so tiny up above. The houses got smaller, smaller, and vanished as scattered dots as my plane went higher. The green landscapes appeared in blocks, the rivers went in line, and seeing it from sky made me held by breath for a while. What a lovely miniature I’ve been living in.

Then it happened. The tsunami. I was at a hotel in Sydney when the local television broadcasted how the giant waves swiped up the west side of my country. It was a heartbreaking scene—seeing the spectacular miniature that I just saw on the plane swiped up just like a paper town.

The impact was huge. The lost stayed for a long time. The ache seemed could last forever.

And it struck me; we may live in a paper house, work in a plastic building, breath in a vulnerable earth. But still, the feelings we have, the love we share, the bond we make, they are all bigger than the world we live in. Stronger than the miniature we see everyday.

Deeper.

Tougher.


Incomparable.

picturetakenfrom:picjumbo.com

Monday, August 22, 2016

the art of living a life

I’ve been trying some baking lately, simple and quick one like cheesecakes, brownies, cookies, cupcakes—something easy and doesn’t require a lot of experiences and skills. I googled the recipes, then buy some ingredients according to them. At first, I thought it’s just about ‘read and do’.  I read the recipe, measured everything according to it, followed the steps, tried not to skip any details, and voila! There it was, the cake that I wanted it to be. But it’s not what happened.

The batter went stiff, the texture wasn’t crisp enough, the sponge wasn’t as light as I wanted it to be. Things like that happened, and I learnt a lot of things. Things like: ‘you can’t put the sugar all at once or the meringue won’t peak’, or ‘whipping cold eggs is harder work and you won't get as much lift’, or ‘the bottom oven rack is what you want to use to achieve lift.’

Details you won’t learn by reading the recipe. Tricks that you can only know by making the cake on your own. It is all about the experience. You can gather tens—hundreds, people; give them the same recipes and ingredients; buy them the exact utensils, but still, the cake won’t be the same for each of them. The slightest power of beating an egg makes a difference, the way you flip the meringue makes a different, every little gestures you make, make a difference.


And so it is with life. Two people with exact talents could end up differently. Give two people the exact money to run a business and it will turn out in a different results. There is no exact math to life. No exact rule about how to live a life. There is no answer to question like ‘Why I can’t be like her? I do what she’s done’, there is no exact explanation to why someone made it and the other failed. It is the art to live the life that makes the difference. Even the slightest whiffle counts.

But don't worry, the more you try, the better it will get. It's all about experiences.

picturetakenfrom:pinterest.com

Sunday, August 21, 2016

Details, details

When I was a kid I used to play this counting flags game with my sister. It was always on August when all of the Indonesian put out their flags in front of their house. Every weekend on August, when our parents took us out by car, we would sit near the window, counting every red and white flag we saw. The rule is simple, you can’t count the flag that already counted by your opponent, and when we arrived at our destination, whoever counted the most, win.

It was pretty fun back then, paying extra attention to every corner of the street we passed—trying to find a flag that our opponent wouldn’t notice. I don’t remember when it was ended, when my sister and I just stop counting the flags every year. When our focus shifted from the small corner of the road to the bigger picture itself—our destination. Pretty much just like our life I think. As we grow up, we might stop paying attention to every little details. As we grow bigger, the details seemed so much smaller, a little bit more unimportant, and we start to see the just the big picture.

There is nothing wrong with seeing the big picture, I believe. It is indeed important to see everything—anything, in as much as possible angle we can. But may us not forget that the details—undeniably, are important too. Because, there are tiny pixels that make a photograph seems stunning. Because, most of the time, it is the journey—not the destination, which makes a trip worthwhile.


Details, my friend, details :)

picturetakenfrom:pinterest.com

Wednesday, August 10, 2016

cerita dari cempaka.

Rowan.

Gue selalu setuju dengan ungkapan bahwa hidup manusia itu seperti roda—kadang di atas, kadang di bawah. Tapi sejak masuk kedokteran, rasanya gue perlu mengubah sedikit ungkapan itu, karena menurut gue, hidup itu seperti roda—yang kadang-kadang bisa kempis juga, dan ketika kempis, elo akan merasakan bahwa roda lo terus berada di bawah—nggak naik-naik, lama banget naiknya, sampai pada satu titik rasanya lo pengen ganti ban aja.

Gue melintas di depan koridor yang membawa gue ke Cempaka. Bangsal yang menjadi tempat para ibu mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan seorang bayi, bangsal yang menjadi saksi dari ribuan tangisan pertama manusia.

Tapi Cempaka nggak semulia itu buat gue dan koass-koass lainnya, bangsal ini jadi saksi titik terendah dari kehidupan ratusan dokter muda, bangsal ini jadi telinga untuk segala makian yang pernah dilontarkan kepada kami. Sederhananya, Cempaka adalah bangsal yang membuat gue menemukan ungkapan baru tentang roda kehidupan.

Perut gue langsung melilit begitu gue membuka pintu bangsal. Buat gue, Cempaka punya bau khasnya sendiri yang nggak pernah bisa gue deskripsikan. Gue berbelok ke arah rak sepatu dan mengganti sepatu gue dengan sandal yang khusus digunakan di dalam bangsal, karena sepatu merupakan barang paling haram di bangsal ini.

“APA?! NGGAK ADA LAB DARI PUSKESMAS?!! KALAU SAMPAI GUE KETEMU HASIL LABNYA, MAU TARUHAN APA?! HER-CO YA LO?!!!”

Gue berjengit. Itu adalah suara dokter Riana—penguasa Cempaka kalau sedang nggak ada konsulen di bangsal ini. Setelah menghabiskan hampir tiga minggu di sini, gue sudah mulai terbiasa dengan teriakannya yang melebihi desibel rata-rata manusia. Gue melirik jam tangan gue.

Shit.

Gue telat lima menit. Jam segini, dokter Riana pasti sedang melakukan visite pasien. Untungnya, untuk menuju ruang koass, gue nggak harus melewati kamar perawatan. Jadi, setelah gue menaruh tas, gue berhasil menyelinap di antara kerumunan teman-teman gue yang sedang mengelilingi dokter Ria.

“Hari ini kuret jam sepuluh setelah kegiatan ilmiah, satu orang yang hari ini jaga asistensi bareng gue,” Dokter Ria menyudahi visitenya dengan kalimat yang membuat gue hampir mengeluarkan seluruh isi perut gue.

Hari ini gue jaga. Dan berdasarkan urutan, giliran berikutnya yang asistensi adalah gue.

*
Selesai kegiatan ilmiah, gue segera berlari menuju Cempaka. Dokter Ria bakal ikutan kuret, jadi gue nggak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Sesampainya di kamar kuret, pasien yang akan dikuretase sudah menunggu di atas tempat tidur. Secepat mungkin gue mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan, memakai apron, dan mengenakan sarung tangan steril.

Persiapan selesai. Sempurna. Gue mengecek ulang seluruh peralatan, memastikan tidak ada celah sedikit pun bagi dokter Ria untuk memaki gue.

Gue tinggal menunggu dokter Ria dan konsulen yang akan melakukan kuret. Sambil menunggu, gue berusaha mengingat-ingat langkah apa saja yang perlu gue lakukan jika gue menjadi asisten.

Pintu kamar kuret terbuka. Dokter Ria masuk. Ia melirik meja steril dan melirik peralatan yang sudah gue susun. Semua lengkap, sesuai urutan. Dokter Ria tidak berkomentar. Gue tersenyum dalam hati.

Dokter Ria mengambil sebuah sarung tangan steril, dan memakainya. Lalu ia menatap gue tajam. Gue berusaha untuk nggak balas menatap matanya,

Gue merasa wajah dokter Ria memerah.

Gue mengernyit. Ikut melihat diri gue. Rasanya gue sudah memakai perlengkapan dengan baik dan benar. Sarung tangan steril. Apron. Dan…

Gue menatap kedua kaki gue.

Shit.

“ROWAN!!! ELO MAU MATI, HAH?!!!! BERANI-BERANINYA ELO MASUK KE SINI PAKAI SEPATU!!! KELUARRRR!!!”

Gue berlari keluar bahkan sebelum dokter Ria menyelesaikan kalimatnya. Gue bersumpah melihat asap mengepul dari kepalanya, dan gue berani taruhan, satu detik lebih lama lagi gue berada di sana, sendok kuret akan melayang ke muka gue.

Terima kasih kepada sepasang sepatu yang dengan suksesnya merusak hari gue. Terima kasih kepada kesalahan bodoh yang membuat gue nggak punya muka berhari-hari di depan dokter Ria.


Tapi, ya namanya juga koass, sekumpulan pelajar-pelajar tak berpengalaman yang tidak bisa mengelak dari kesalahan bodoh. Sejak hari itu gue sadar, koass adalah tentang melakukan kesalahan kecil sebanyak-banyaknya dan belajar dari kesalahan itu. Koass adalah tentang melakukan kesalahan-kesalahan bodoh dan menertawainya di lain hari, kelak—ketika kita sudah berhasil melewatinya.



picturetakenfrom:pinterest.com

Thursday, August 4, 2016

tentang: hal-hal kecil yang patut disyukuri

Belakangan ini merupakan waktu yang cukup melelahkan bagi saya. Ujian yang semakin dekat, tensi yang kian tinggi, bahan ujian yang seakan tidak ada habisnya. Hampir setiap hari saya pulang cukup sore dari kampus dan harus berjibaku dengan kemacetan ibu kota yang rasanya tidak pernah cair. Lelah, jenuh, sering sekali rasanya ingin mengeluh. Tapi, lucunya, setiap kali ingin mengeluh, saya selalu diingatkan akan satu kenyataan yang membuat saya sangat-sangat-sangat bersyukur.

Kenyataan bahwa saya bukan koass lagi.

Satu kenyataan yang membuat saya bisa tersenyum dalam hati. Karena semalam apa pun saya pulang, saya tidak harus menginap di rumah sakit untuk jaga malam. Karena selelah apa pun saya, saya masih bisa tidur di kasur yang nyaman, bukannya di atas lantai dengan hanya beralaskan sleeping bag. Karena seburuk apa pun hari saya, saya tidak harus bangun subuh untuk memeriksa pasien satu bangsal. Karena sebanyak apa pun bahan ujian yang harus saya pelajari, saya masih bisa makan dengan teratur. Karena semengerikan apa pun ujian yang akan saya hadapi, saya tidak harus menghadapi omelan konsulen dan perawat. Karena sejenuh apa pun saya, saya masih bisa menikmati akhir pekan di rumah bukannya di rumah sakit. Well, life is pretty good amazingly beautiful when I think that way.

Dan diantara banyak hal yang saya syukuri, satu hal yang paling membuat saya bersyukur adalah hari-hari buruk yang pernah saya lalui. Karena hari-hari penuh air mata itulah yang membuat saya menjadi pribadi yang sedikit lebih tangguh, sedikit lebih tidak manja, dan tidak mudah mengeluh. Karena tanpa hari-hari menyebalkan itu saya tidak akan menganggap bahwa hal-hal sederhana seperti tidur, makan, dan akhir pekan merupakan sebuah kemewahan.

Mungkin kita sering kali lupa ya, ternyata tidak butuh hal muluk dan renungan yang panjang untuk mencari apa saja yang patut kita syukuri. Kalau kita bisa dengan mudah mengeluh atas hal-hal kecil, mengapa kita tidak mencoba untuk bersyukur juga atas hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup kita.


Kalau kamu, apa yang membuat kamu bersyukur?

picturetakenfrom:pinterest.com