Monday, November 26, 2012

Retainer


Semua orang yang memakai behel (kawat gigi) pasti harus memakai retainer setelah kawat giginya dilepas. Tujuannya adalah supaya gigi yang sudah rapi tidak kembali ke bentuknya yang semula. Saya juga begitu.

Rasanya senang bukan main saat dokter gigi melepas behel saya. Akhirnya penderitaan selama ini selesai juga. Saya bebas. Nggak perlu lagi sering-sering kontrol ke dokter gigi dan duduk di ruang tunggunya yang super membosankan. Nggak perlu lagi menderita kesakitan setelah si dokter mengencangkan behel saya.

Tapi, ternyata perjuangan masih belum selesai. Saya masih harus memakai retainer. Alat yang bentuknya seperti gigi palsu, hanya saja bukan gigi yang ada pada alat tersebut melainkan sebuah kawat lurus untuk mempertahankan bentuk gigi. Idealnya retainer harus dipakai setiap hari. Tapi, karena saya malas dan ingin menikmati kebebasan saya, jadilah retainer itu hanya saya pakai pada malam hari. Awalnya sih, setiap malam, tapi lama-lama jadi dua malam sekali, lalu tiga malam sekali, lalu seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, bahkan bisa sebulan sekali. Ah nggak apa-apa, nggak berubah kok bentuk giginya, begitu saya sering beralasan.

Mama sering menegur saya. “Pake dong retainer-nya, kan sayang udah bayar mahal-mahal, udah dikawat lama-lama”. Sampai beberapa malam yang lalu, mama berkata,”Gigi kamu berubah loh. Ada yang geser”. Saya mengaca, tapi buat saya tidak ada yang berubah.

Malam itu saya jadi berpikir, mungkin hidup sebagai orang Kristen juga seperti itu ya. Seperti pakai retainer. Setelah mengenal Kristus, nggak lantas perjuangan kita berhenti. Setiap hari kita masih harus hidup melekat dengan Firman.

Firman itu seperti retainer yang menjaga supaya hidup kita nggak bergeser, nggak melenceng, tetap pada koridornya. Tapi sering kali kita malas, merasa hal itu nggak penting, menganggap enteng. Pikir kita, nggak apa-apa lah nggak renungan hari ini, toh cuma sehari, tapi lama-lama kita akan semakin nyaman dengan alasan yang sama. Lalu frekuensi kita merenenungkan Firmannya jadi berkurang. Jadi tiga hari sekali, empat hari sekali. Jadi hanya seminggu sekali di gereja, itu juga nggak benar-benar didengarkan. Dan sampai pada suatu titik, akan ada orang atau hal yang menegur kita. Yang memberitahu kita bahwa sebenarnya kita sudah ‘bergeser’, bahwa kompromi yang kita lakukan selama ini ternyata mempunyai dampak yang tidak kita sadari. Dan pergeseran-pergeseran itu, butuh retainer-nya lagi dengan segera.

Friday, November 23, 2012

Rain


It was pouring outside when I wrote this. The rain made me wrote.

I love rain.

Saya suka mendengar suara hujan, merasakan sejuknya, mencium wangi tanah yang naik ke permukaan. Somehow, it is peaceful.

Hujan mengingatkan saya pada seseorang. Pada sebuah percakapan. It brings back memories.

Hujan mengingatkan saya pada masa kecil saya, saat saya berharap banjir dan sekolah diliburkan.

Hujan membuat banyak orang terjebak dengan orang lain. Orang yang dicintai. Orang yang dibenci. Hujan memaksa manusia untuk berinteraksi. Hujan,—bertentangan dengan sifat sejuknya, justru mendatangkan kehangatan.

Rain for me is a time to sit and relax, with a blanket and a good book. A time for myself to enjoy life.

Thursday, November 22, 2012

Inner Circle


Yesterday, when I wanted to text my best friend just to say hi and talk about anything, she suddenly texted me first. I am glad we have that kind of ‘connection’, haha.

Lama saya nggak ngobrol sama sahabat saya ini. Dan ada begitu banyak cerita yang ingin saya ceritakan yang tentu saja akan sangat kepanjangan kalau diketik lewat sms. Di saat-saat seperti ini saya selalu berpikir, beda kampus dengan sahabat itu sangat menyebalkan.

Anyway, salah satu hal yang cukup menarik bagi saya kemarin adalah kami membicarakan tentang komunitas. Dia bercerita tentang semacam kelompok yang cukup besar di fakultasnya yang kini sedang terpecah. Di akhir ceritanya ia berkata,”Emang susah ya kalau punya kelompok yang terlalu besar. Akan ada titik di luar lingkaran di dalam kotak”.

Ya. Mungkin pada kenyataannya manusia memang bertumbuh dalam kelompok kecil. Kita bisa saja berteman dengan siapa saja, tapi pada akhirnya kita akan membutuhkan sebuah kelompok kecil untuk tumbuh, untuk belajar, karena manusia akan lebih mudah memperhatikan satu sama lain dalam lingkup yang lebih kecil. Bahkan di gereja pun ada yang namanya komsel atau kelompok kecil. Nggak cukup dengan kebaktian seminggu sekali di ruang ibadah, kita butuh kelompok untuk saling berbagi dan menopang, saling belajar, saling mengingatkan. Dan kelompok itu nggak perlu besar, karena seringkali kelompok yang lebih kecil akan menjadi lebih efektif.

It means that we simply need our inner circle to live. Who’s your inner circle?

Tuesday, November 20, 2012

Salah Siapa?


Hari ini, tepat setelah saya membayar karcis tol, jalan menuju kampus saya ditutup. Tidak sampai lima menit kemudian, antrian sudah mengular di mulut tol, mobil-mobil membunyikan klakson mereka hingga petugas tol memberi pengumuman bahwa jalan ditutup karena akan ada rombongan yang lewat.

Rombongan sepenting apa sih yang mau lewat sampai jalan harus ditutup segala? Begitu pikir saya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima, sementara kelas dimulai pukul tujuh tepat, dan kebetulan dosen yang mengajar hari ini sama sekali tidak mentolerir keterlambatan.

Tidak sampai beberapa lama kemudian petugas kembali mengumumkan bahwa yang akan lewat adalah RI 1. Lalu kenapa kalau presiden mau lewat? Pikir saya spontan. Kesal. Toh hari masih pagi, jalan tol masih lengang, saya rasa iring-iringan mobil polisi sudah cukup tanpa harus menutup jalan. Memangnya cuma bapak presiden saja yang punya kepentingan? Mau apa sih si bapak pagi-pagi begini? Saya kan juga punya kepentingan, mau kuliah. Semua orang yang mengantre di belakang saya, saya yakin juga punya kepentingan yang nggak kalah mendesak, mau kerja, mau mengejar pesawat di bandara, dan masih banyak lagi. Semua orang punya kepentingan dan nggak jarang kepentingan kita bertabrakan dengan orang lain.

Saat saya menunggu saya jadi berpikir. Kenapa sih nggak ada peringatan di pintu masuk tol, bahwa jalan akan ditutup? Kalau tahu kan, tentu saya akan mencari jalan lain. Kenapa juga si polisi itu harus menutup jalan tepat sebelum saya lewat. Dan seterusnya. Tapi, tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di otak saya. Kenapa nyalahin orang lain terus? Kenapa nggak kamu sendiri yang bangun lebih pagi? Kenapa selalu berangkat mepet ke kampus?

Pagi tadi saya bersyukur banget, dosennya saya juga datang agak telat sehingga saya masih bisa masuk kelas. Dan saya juga bersyukur, hari ini, saya diingatkan untuk nggak menyalahkan orang lain lebih dulu, untuk melihat dan menilai kita lebih dulu sebelum kita menyalahkan orang lain.

Monday, November 19, 2012

Wounded


You can close your eyes to the things you do not want to see, but you cannot close your heart to the things you do not want to feel -Johnny Depp

My doctor read this quote on his lecture today and my friend post it on her facebook status right away. It quite gave me a hit because this is something I have been thinking about for several days.

There are painkillers to your body, but not your heart. While you can use anti-depressants or lithium or haloperidol to control your brain’s emotion you can’t do the same with your heart. Your heart is something those sciences can’t touch. Your heart is somehow strong yet vulnerable because only feelings can penetrate it.

Bitterness, anger, resentment, I realize these feelings are self-destructive. They consume you cruel enough until you afraid you can be someone you are not.

I am experiencing it. Those horrible feelings whisper evil again and again, persuade me to do tempting yet sinful acts. I fell for it a lot. And I’ll cry to God right away for doing something He doesn’t fond of.

Maybe the good part of this is I lean closer to God. I realize I spend more time praying and crying for help. I make myself think about Him when the evil voices come. I surrender.

And I learn a lot about love. Not just about, but to love. It’s easy to love someone who is nice and love you back. But it is difficult to do the opposite. It is hard to love someone who hurts you, especially if that person is dear to you.  It is hard to love with disappointment on your heart. And I am struggling to do it.

I learn to forgive, to forget, to love. It is not easy. But there will be no gain without pain, right?

My mother once told me that problems—especially the big one that can make you kneel in front of God is like a stage of game. Once you nailed and got through it, you’ll be one level up. Maybe it is something like that; maybe what I am going through now is a way to level up. Again.