Wednesday, July 27, 2011

Kaya, Tapi Miskin Nasionalisme-- #selamatkananakbangsa



Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita…
Tanah air, pasti jaya, untuk s’lama-lamanya…

Masih ingatkah kita dengan penggalan lirik di atas? Masih segar dalam ingatan saya momen ketika saya menyanyikan lagu tersebut saat upacara bendera di sekolah. Jujur, saya sering menyanyikannya dengan tidak serius. Alhasil, lagu kebangsaan yang seharusnya menjadi kebanggaan dan pengingat identitas saya sebagai bangsa Indonesia hanya menjadi ucapan di mulut saja. Saya tidak pernah benar-benar menghayatinya; tidak pernah benar-benar berpikir bahwa kita sebagai bangsa Indonesia seharusnya bersatu untuk menjayakan negeri ini.

Ketika saya menyadari hal ini, saya berpikir bahwa sebenarnya masih ada hal sederhana yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya. Sebuah langkah kecil untuk aksi #selamatkananakbangsa. Yang dibutuhkan negara ini adalah kecintaan dari anak-anaknya sendiri. Pengakuan dari putra-putri Indonesia akan potensi besar yang dimiliki tanah air ini. Untuk itu, seharusnya kita dapat memupuk nasionalisme tersebut dari kecil, salah satunya adalah melalui lagu kebangsaan.

Mengajak anak untuk tidak sekadar menyanyikan lagu kebangsaan namun juga menghayatinya adalah penting. Di sekolah saya yang dulu, upacara hanya dilakukan sebulan sekali. Itupun saat harus menyanyikan lagu nasional, kami dibantu oleh tim paduan suara atau rekaman dari kaset. Jangankan memaknai, kami bahkan tidak perlu repot-repot menghapal liriknya. Saya masih ingat, guru kewarganegaraan saya sering sekali marah di depan kelas karena banyak diantara teman-teman sekelas yang tidak hapal lirik dari lagu-lagu nasional. Parahnya lagi, banyak yang tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya secara lengkap, atau melafalkan Pancasila secara utuh.

Saya yakin potret ironis tersebut bukan hanya ada disekolah saya. Masih banyak sekolah berfasilitas mewah, ruangan kelas nyaman, uang sekolah selangit, namun dengan kualitas nasionalisme siswa-siswi yang cetek. Sungguh disayangkan, padahal seharusnya anak-anak dengan pengetahuan yang tinggi apabila dibekali dengan rasa cinta tanah air yang tinggi pula akan menjadi aset besar bagi negeri ini.


picturetakenfrom:seeartend.tumblr.com

Wednesday, July 20, 2011

Don't Live On The Freeway


Belakangan ini, kalau tidak sedang menyetir saya lebih memilih lewat jalan protokol daripada jalan bebas hambatan. Memang, hal itu berarti saya harus rela bermacet-macet ria di jalanan ibukota. Bukannya saya pelit karena tidak mau membayar uang tol, tapi saya menemukan hal menarik yang tidak akan saya dapatkan apabila melewati jalan bebas hambatan. Ketika mobil saya berhenti di tengah kemacetan Jakarta, melalui jendela di sebelah saya, saya dapat melihat banyak hal. Entah itu penjual koran atau minuman, anak-anak jalanan yang mengamen, pedagang kaki lima, pejalan kaki, sampai waria. Intinya saya jadi bisa menyaksikan potongan kehidupan yang tidak pernah saya hidupi. Melihat orang-orang tersebut merupakan suatu pembelajaran tersendiri. Kadang mereka mengingatkan saya untuk bersyukur, kadang mereka membuat saya berhenti mengeluh, dan di lain kesempatan mereka membuat saya sadar bahwa kebahagiaan adalah milik semua orang tanpa memandang status ekonomi.

Hari ini saya berpikir, mungkin sebenarnya hidup kita juga seperti itu ya.

Ada momen-momen yang kita lewati ketika kita lebih memilih jalan yang lancar, bebas hambatan.

Padahal tanpa kita sadari, momen itulah yang sedikit banyak dapat membentuk pribadi kita menjadi lebih baik. Sebaliknya, saat kita memilih jalan yang lebih lambat dan penuh rintangan, kita sering kali dipaksa untuk berhenti. Tidak jarang juga kita menjadi marah atau kesal, sama seperti saat kita terjebak macet. Tapi justru saat itulah yang menjadi kesempatan kita untuk belajar dan merenung. Mengambil waktu sejenak untuk melihat kembali hidup kita dan tentu saja memperbaikinya.


phototakenfrom: fyeahvictorious.tumblr.com

Saturday, July 9, 2011

Nice To Meet U



Bersamamu ku habiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu

Rasanya semua begitu sempurna

Sayang untuk mengakhirinya...

Sepenggal lirik di atas diambil dari lagu favorit saya−Sahabat Kecil, yang dilantunkan oleh Ipang. Dari dulu, saya selalu bertanya-tanya, bagaimana ya rasanya kalau ada orang yang mengatakan hal tersebut kepada saya?


Menariknya, sekarang saya tahu jawabannya. Belakangan ini beberapa orang mengatakan hal yang serupa pada saya. Bukan, bukan keempat baris kalimat di atas, tapi hanya baris kedua. Ya, mereka mengatakan senang bisa berkenalan dengan saya. Perasaan yang selalu muncul bahkan ketika momen tersebut sudah lama lewat adalah tersanjung. Saya bahagia. Ternyata kata-kata sederhana seperti itu punya dampak yang besar. Senang rasanya ketika kehadiranmu bisa membawa sukacita bagi orang-orang disekelilingmu. Apalagi kalau yang mengatakannya adalah orang yang sangat mengenalmu, tahu segala kelemahan dan kekuranganmu. Itu berarti mereka menerimamu apa adanya, bukan dari apa yang ada padamu.


Perkataan mereka membuat saya sadar bahwa ternyata, nggak butuh talenta yang besar atau materi yang berlimpah untuk menjadi berkat bagi sekelilingmu.


Saya tidak pandai main musik, tidak pandai bernyanyi, tidak pintar bicara, tapi toh mereka tetap mengatakan hal itu pada saya. Saya bersyukur punya teman-teman seperti mereka, dan tentu saja kamu pun bisa merasakan hal yang sama. Pertanyaannya adalah, bersediakah kamu menjadi sumber sukacita bagi mereka dengan selalu memberi apa yang terbaik darimu?