Thursday, January 5, 2012

Pelajaran Dari Sebuah Toilet


Woman's toilet in Maori

Sebelum pergi ke New Zealand, saya sama sekali tidak menyangka bahwa perjalanan dengan pesawat akan memakan waktu selama hampir sepuluh jam. Saya sama sekali bukan tipe orang yang suka mencari informasi terlebih dulu mengenai negara tujuan jika akan berlibur, saya lebih suka membuatnya sebagai kejutan. Dan, benar saja, saya bahkan mendapat kejutan itu seminggu sebelum berangkat, melalui lembar itinerary yang dikirim ke rumah. “Ma, emangnya ke New Zealand sampai sepuluh jam ya?” saya sibuk mengkalkulasi perbedaan waktu, takut hitungan saya salah. “HAH?! Yang bener kamu? Di sana sama di Jakarta bedanya enam jam loh. Coba hitung lagi,” tapi ternyata hitungan saya memang tidak salah. New Zealand memang tidak sedekat itu.

Saya ingat enam tahun lalu saat ke Sydney rasanya hanya butuh waktu enam jam dari Indonesia. Jadi kenapa sekarang bisa sampai sepuluh jam? Bukannya New Zealand itu tetangga Australia? Kemudian saya baru sadar, enam tahun lalu saya transit di Bali, sedangkan tahun ini saya transit di Singapura, otomatis jaraknya jadi lebih jauh, apalagi New Zealand memang lebih jauh dari Sydney. Setengah malas saya membayangkan perjalanan paling melelahkan yang akan saya tempuh. Untung saja, penerbangan dilakukan malam hari, dan lebih beruntung lagi karena saya tipe orang yang bisa tidur di mana saja sekalipun tidak kapan saja. Jadilah perjalanan hari itu tidak terlalu menguras energi.

Menjelang pagi saya terbangun dan memutuskan ke toilet. Saya menengok ke belakang dari tempat duduk saya dan melihat antrian yang cukup panjang. Maka, saya memutuskan untuk duduk dulu sambil menyetel film. Beberapa menit berselang, saya kembali melihat ke belakang. Antrian semakin panjang. Banyak orang yang kini ikutan mengantri, membuat saya sadar, duduk hanya menambah lama giliran saya. Satu-satunya cara untuk bisa masuk ke toilet adalah dengan berdiri dan ikut antre.

You can’t get what you want by just sitting and doing nothing.

Akhirnya, saya memutuskan berjalan ke belakang. Sesampainya saya di belakang, saya cukup terhibur menyaksikan pemandangan yang cantik dari jendela belakang. Awan cumulus putih bersih mengambang di atas langit biru tak bersekat. Penutup jendela yang masih diturunkan di bagian penumpang membuat pemandangan ini tidak bisa saya nikmati dari tempat duduk. Saya juga sedikit mencuri dengar percakapan dua wanita asing yang kelihatan asik sekali membahas letak pulau New Zealand di dekat jendela tersebut. Lumayanlah sebagai hiburan sembari meluruskan otot yang sejak semalam tertekuk karena duduk terus.

Ternyata, kita nggak akan tahu hal menyenangkan apa yang menanti kita sampai kita memutuskan untuk pindah.

No comments:

Post a Comment