“Bagaimana, Bapak, Ibu? Sah?” tanyamu dengan wajah polos
sambil menoleh kanan kiri.
“SAH!” sahutku lantang yang duduk di sebelahmu.
Kemudian kita sama-sama bertepuk tangan dan berteriak riang.
“Ares! Kana! Kalian ini, kecil-kecil sudah main nikah-nikahan!”
sebuah suara menghentikan kami. Kamu buru-buru melepaskan peci ayahmu dan
menyembunyikannya di belakang tubuh. Sumber suara itu kini berdiri menjulang di
hadapan kita. “Duh, Kana! Kamu lagi, kok bisa-bisanya ngambil kebaya Ibu?! Ayo
kalian berdua masuk! Ares, tadi ayahmu telepon katanya sebentar lagi jemput”.
“Ibu, boleh fotoin kami nggak?” tanyaku takut-takut sambil
mengulurkan sebuah kamera. Ibu mendelik, pasti takjub dengan keahlianku
mengambil barang-barang yang seharusnya tersimpan rapi di atas lemari. “Boleh
ya, Bu? Sekaliii aja,” aku memelas, dan Ibu pun luluh.
Klik! Sebuah foto dengan sepasang pengantin cilik berlatarkan
halaman depan rumah pun tercipta.
*
Aku terkikik menatap foto itu. “Elo masih inget ini, Res?
Kemarin ketemu pas gue lagi beres-beres kamar”.
Kamu yang sedang mengemudi melirik sekilas, kemudian
terbahak,”Aib banget tuh! Masih ada aja ya ternyata”.
Kamu dan aku. Tidak ada yang banyak berubah di antara kita
kecuali usia yang kini menginjak dua puluh. Kita tetap menjadi sepasang yang
tak terpisahkan, berbagi senang dan susah, tangis dan tawa, dan hal-hal lain
yang tidak akan pernah bisa kita ungkapkan pada orang lain.
“Ngomong-ngomong, sebentar lagi Mas Bayu nikah loh, elo
datang kan?” aku mengingatkan.
“Datang dong. Mas Bayu kan udah kayak abang gue sendiri,”
kamu menanggapi,”Akhirnya sebentar lagi dia sah jadi istrinya Mbak Niken ya?
Padahal dulu mereka berdua berantem melulu”.
Aku mengangguk. “Rumah pasti bakal sepi deh kalau nggak ada
Mas Bayu”.
“Kan masih ada gue yang sering main,” kamu tersenyum
lebar,”Tapi, lucu ya. Bagaimana ternyata sebuah kata bisa mempersatukan dua
orang sekaligus memisahkannya lagi”.
“Maksudnya?”
“’Sah’, kata itu juga kemarin gue denger di sidang
perceraian orang tua gue,” kamu berkata ringan, seolah sudah mati rasa atas
segala yang terjadi dalam keluargamu.
“Nggak ada yang tahu bagaimana sebuah hubungan bakal
berakhir, Res,” aku berkata.
“Kalau kita?” kamu menoleh padaku. “Kita ini akan berakhir
sebagai apa? Teman? Sahabat? Pacar? Atau itu dalam versi dewasa?” kamu menunjuk
foto kita yang masih dalam genggamanku.
Aku tersenyum sambil mengedikkan bahu. “Yang jelas elo
adalah bagian terpenting hidup gue. Entah apakah ada istilah yang tepat untuk
menggambarkannya. We are beyond those
words, Res”.
“Oke. Jadi mulai sekarang kita ini teman, sahabat, pacar,
dan lebih dari itu ya?” Kamu berkata jenaka. “Sah?”
“Sah,” aku mengangguk.
“Tapi bukan suami istri ya?” kamu bertanya lagi, setengah
menggoda.
“Hm… Yang itu mesti nanya saksi dan nunggu penghulu dulu.
Kamu mau? Mungkin kita bisa nanya Mas Bayu biar sekalian,”aku sengaja
memperlihatkan mimik serius.
“Atau kita bisa minjem baju mereka setelah akad nikah dan
bikin foto kayak gini,” Kamu mengambil foto kita,”Kayaknya yang ini udah
terlalu jadul. Gambarnya udah nggak jelas”.
Tawa kita berderai.
Aku ingin terus seperti ini, berada di sisimu. Berbagi dan
melakukan banyak hal bersamamu. Selamanya.
So sweeeet :) banget!
ReplyDeleteAh suka ini. Bagus sekali dalam menulis dialog. Aku belum terlalu bisa.
ReplyDeleteIdenya juga. Sah. ternyata memang bisa menyenangkan dan bisa menyedihkan. :'(
But the end is sweet! :D
Nanti mereka beneran jadi suami istri kan yah? *cemas*
ReplyDelete@minky_monster, namarappuccino: many thanks! :))
ReplyDelete@Melissa: iya nih, aku juga cemas jadinya, hihi...