“Kalau aku pergi nanti, kalian berdua harus bahagia.”
Pertanyaannya, bahagia itu apa?
Aku meletakkan karangan bunga di atas makam. Lili putih
selalu menjadi favorit Mia.
“Nggak terasa ya? Udah setahun,” Valdi yang ikut berjongkok
di sebelahku memecah keheningan. Aku mengangguk sambil tersenyum pahit,“Rasanya
baru kemarin kita bertiga main bareng”.
Aku membiarkan diriku hanyut dalam masa lalu. Mengenang
tawanya, suaranya, senyumnya, dan tentu saja… semangatnya yang sehangat
mentari.
“Kalau dia masih ada, dia pasti senang banget ya. Kita udah
lulus SMA sekarang,” Valdi ikut bernostalgia,”Dulu dia yang paling semangat
pengen cepet-cepet jadi anak kuliahan. Biar bisa bolos kelas, katanya”.
Aku ingat hari-hari itu. Hari yang diisi oleh kebodohan-kebodohan
kami. Diantara semuanya, Mia yang paling sering melontarkan hal-hal ngaco.
Katanya, orang yang bolos kelas itu keren. Aku dan Valdi segera menoyornya saat
itu, ia terbahak.
“Hidup kita, kenapa begini-begini amat ya?” Aku bergumam,”Tragis”.
“Paling nggak, kita pernah bahagia. Mia pernah bahagia,” Valdi membelai kepalaku lembut. Aku dapat
merasakan air mata mulai menggenang di mataku.
“Menurut kamu, apa sekarang Mia bahagia?” Aku kembali
bertanya. “Kalau aku yang jadi Mia. Aku pasti iri melihat kalian bersenang-senang
menikmati hidup. Aku juga ingin bergabung.”
Valdi meremas bahuku hangat. Ia selalu menjadi sandaran
bagiku dan Mia. Menjadi yang terkuat di antara kami. Membuat aku dan Mia
sama-sama jatuh cinta padanya.
Cinta. Tapi bagi kami, persahabatan lebih dari segalanya.
Aku
dan Mia berjanji mengubur rasa itu rapat-rapat.
“Valdi kan bukan satu-satunya cowok di dunia ini,” begitu
kalimat klise yang meluncur dari mulut Mia saat kami berdua saling curhat. Aku
memeluknya, berjanji untuk melakukan hal yang sama. Menjaga persahabatan.
Tapi kemudian tiba hari itu. Kecelakaan naas menimpa Mia dan
keluarganya dalam perjalanan menuju Puncak. Mia yang paling parah, kondisinya
kritis saat dibawa ke rumah sakit.
Aku ingat malam saat aku dan Valdi terburu-buru
menjenguknya. Aku ingat kalimat terakhirnya untuk kami. Tapi aku lebih ingat
lagi kalimat terakhirnya untukku yang ia bisikan dengan napas
terakhirnya,”Kalau kamu sama Valdi, aku rela.”
Enam bulan setelahnya, Valdi memberikan hadiah termanis yang
selalu aku inginkan. Menjadi kekasihnya. Kami saling jatuh cinta. Seharusnya
dunia menjadi sempurna.
Aku merasakan sentuhan hangat Valdi menyeka air mataku. Di
depan nisan Mia, aku menatapnya dalam,”Kita… Udahan aja ya?”
Valdi nampak bingung. “Apa maksud kamu?”
“Kita putus,” suaraku tercekat.
“Kenapa? Kamu udah nggak sayang sama aku?”
“Aku selalu sayang sama kamu. Selalu”.
Valdi menatapku tak mengerti.
“Bersama kamu, aku selalu teringat Mia. Teringat perasaan
sama yang dia miliki. Mia juga sayang kamu, Valdi,” Air mataku kembali meleleh.
“Tapi aku sayang kamu. Sejak lama,” Valdi menatapku nanar.
Aku telah melukai satu lagi orang yang berharga dalam hidupku,”Dia udah
merelakan aku untuk kamu”.
“Seharusnya Mia bisa memperjuangkan kamu. Ini nggak adil
untuk Mia”.
Valdi memelukku, aku selalu menyukai aroma dan hangatnya menguasai tubuhku. Aku ingin waktu berhenti. Bukan. Aku ingin waktu
berjalan mundur. Untuk Mia.
Aku ingin cinta jatuh pada orang yang tepat, bukan pada orang yang beruntung.
“Apa harus begini?” suara Valdi kembali terdengar.
Aku mengangguk. “Melihat matamu, aku selalu teringat Mia.”
Aku merindukan kita. Bertiga. |
No comments:
Post a Comment