Sunday, February 26, 2012

Safe and Sound


picturetakenfrom:weheartit.com

Aku menoleh pada pintu kamar yang terbuka sedikit. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, namun aku sama sekali belum mengantuk.

“Hai,” sapanya ceria seperti biasa, ia masuk dengan setelan jas putih miliknya.

“Selamat malam, Dokter Muda,” aku sengaja menekankan dua kata terakhir, ia tertawa saat mendengarnya.

“Apa kabar?” Ia duduk di sisi tempat tidurku. Aku memperhatikan kantong matanya yang menghitam, jaga malam pasti melelahkan sekali ya? Tapi ia tetap tidak kehilangan senyumnya.

“Bisa sebaik apa sih kabar lo kalau lo mengidap leukemia?”

Lagi-lagi tawanya berderai saat mendegar pertanyaan sarkastikku,”Jangan ngambek gitu dong. Udah bagus gue tengokin”.

“Ya, ya, ya,” aku memutar bola mata,”Makasih ya. Jadi kita main apa hari ini?”

“Kartu?” ia mengeluarkan satu pak kartu remi dari saku jasnya. Ko-ass macam apa yang bawa-bawa kartu di jam praktiknya?

Great!” aku berseru riang. Sudah tiga malam ini kami rajin menghabiskan waktu bersama. Dia, si mahasiswa fakultas kedokteran yang sedang kebagian jaga malam di rumah sakit khusus kanker ini benar-benar seperti pangeran berkuda putih yang Tuhan kirimkan padaku sebelum aku mati.

“Gimana sakitnya?” ia bertanya penuh perhatian di tengah-tengah permainan kami, tahu bahwa aku tidak bisa tidur setiap malam karena menahan sakit.

“Masih dalam taraf yang bisa ditolerir,” aku menjawab enteng,”Dan elo bikin gue lupa ama rasa sakitnya sekarang. Do you know? It is the pain that makes me can’t forget about this cancer thing”.

“Elo mau tahu kabar baiknya?” ia mengangkat kedua alisnya.

“Seberapa baik sih kabar baik yang bisa gue terima?” aku melengos, tahu bahwa penyakitku ini sudah terminal. Harapanku untuk sembuh sudah hilang sejak penyakit ini kambuh satu tahun lalu, and I am too drained to re-experience all of those series of pain in the ass chemo. I can die any second now.

“Jaga malam gue ditambah dua hari lagi. Jadi, gue bisa nemenin lo lebih lama. How’s that sound to you?”

Aku membelalak mendengarnya. Aku pikir ini hari terakhirnya,”Kok bisa?”

“Gue nggak hapal status pasien, jadi dokter Husni nambahin jadwal jaga gue. Kejam abis”.

“Makanya belajar,” cibirku.

“Gue nggak belajar gara-gara siapa coba?” ia tersenyum jenaka.

“Iya, iya. Gue yang salah”.

“Haha. Elo ngambekan banget sih?” ia mengacak-acak rambutku.

“Jujur aja, gue ngiri ngeliat lo. Kita seumuran, tapi gue nggak bisa ngelakuin apa yang lo lakuin”.

Tatapannya melunak tatkala mendengar keluhanku. “Maksud lo, elo mau jadi mahasiswa kedokteran juga gitu?”

Aku mengangguk.

“Pasti biar bisa ketemu gue ya?”

“Huuuu… GR!” Aku meninju lengannya pelan.

Ia tergelak. “Tuh kan, ngambek lagi”.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

“Alarm patrolinya nenek sihir ya?” tanyaku, nenek sihir adalah julukan kami untuk perawat di sini.

“Yep. Gue harus cabut nih sebelum kita ketahuan.”

Aku paling benci saat seperti ini. Saat aku harus sendirian lagi di kamar yang bau karbol dengan hanya ditemani tetesan infus.

“Tidur ya?” ia menyelimutiku.

“Gue takut. Gimana kalau gue tidur dan nggak bisa bangun lagi?”

“Katanya nggak takut mati?”

Sejak kenal lo, gue jadi takut mati. Takut kita nggak bisa ketemu lagi, tapi aku urung menyampaikannya. Jadi, aku malah bertanya, “Elo janji gue nggak bakal mati?”

Ia menatapku lekat, lalu membelai kepalaku. “No. But I promise you’ll be safe and sound”.

”Gimana kalau gue bangun karena kesakitan?”

Another dosage of morphine would do,” Ia tersenyum lembut,”I will make you feel no pain, that I can promise”.

“Elo mesti istirahat,” ia mengecup dahiku singkat. “Sampai ketemu besok”.

Aku memandang punggungnya yang semakin menjauh. Berdoa dalam hati, supaya Tuhan bermurah hati memberiku dua hari lagi untuk dapat melihatnya. Mendengar tawa dan suaranya. Menghabiskan waktu bersamanya.

Friday, February 24, 2012

A Matter of Standard

picturetakenfrom:web.stagram.com

Good things happen at the moment you least expecting it.
Like today, how could I get A- at the test I least capable of? Saya pikir saya bakal dapet C atau D. Setengah mati rasanya mau dapat nilai B atau B+ di fakultas kedokteran, dan sekarang A-? Di ujian yang paling saya nggak bisa pula? I don’t really understand how things are working right now. Di ujian yang saya merasa bisa aja, saya hanya dapat C+. It is not in my logic. Perhaps, my friend look at the wrong student number? Haha… Saya bukan tipe orang yang gampang percaya, jadi saya belum benar-benar yakin kalau belum melihat sendiri hari Senin nanti. Well, I guess my friends would hate me cause I told them I can’t do the test, and I got a good score. This is why I’d rather answer ‘I don’t know’, when someone ask me if I can do a test or not.

Kejadian ini ngingetin saya sama masa sekolah. Rasanya kurang lebih sama, saya sering kesal sama orang yang kalau ditanya setelah ulangan bilangnya nggak bisa, tapi begitu keluar nilainya bagus. Ironisnya, saya juga sering jadi orang tersebut. Sebenarnya nggak ada maksud munafik sih, saya percaya kok sama teman-teman saya yang bilang ‘nggak bisa’ itu nggak ada maksud ingin membanggakan diri. Cause I’ve been in the same shoes. Setelah dipikir-pikir lagi, rasanya hal itu terjadi karena ukuran seseorang terhadap ‘bisa-nggak bisa’nya dia dalam mengerjakan ulangan tuh berbeda-beda. Misalnya, kalau saya nggak bisa tiga dari sepuluh soal udah panik setengah mati, teman saya masih adem ayem. Makanya kalau ditanya, saya akan menjawab ‘nggak bisa’. Masalahnya cuma beda di standar.

Sama halnya dengan menghadapi masalah. Seberapa besar masalah yang kita hadapi benar-benar tergantung dari cara kita menilainya. Bisa saja masalah saya bagi Si A nggak ada apa-apanya dibanding masalah dia, atau menurut Si B masalah saya terlalu berat. But the problems are meant to ourself, not others. Buat saya setiap masalah itu udah spesifik buat seseorang, nggak terlalu ringan, dan nggak akan terlalu berat, melainkan cukup untuk membentuk orang tersebut menjadi lebih baik. Hal ini sebenarnya yang sering saya pikirkan ketika saya melihat hidup orang lain ‘lebih berat’ dari saya, mungkin masalah dia yang kelihatan banyak banget itu sama efeknya dengan masalah milik saya. Begitu juga sebaliknya, kalau saya melihat teman saya yang ‘kok ada masalah gitu aja udah ngeluh’, mungkin masalah kecil dia, sama beratnya bagi dia dengan masalah saya. Pada intinya, bukan jumlah mangkuk mie yang sama yang membuat dua orang sama kenyang, melainkan jumlah mangkuk mie berdasar kebutuhan masing-masinglah yang membuat dua orang sama kenyang.


Errr, setelah di baca ulang, postingan ini rada nggak nyambung ya awal dan akhirnya... Tapi, ya sudahlah ya...

Wednesday, February 22, 2012

Sejarah Indonesia


I miss studying history at school! Watching this is kinda nostalgic. I remember back then in science class, my history teacher used to permit us to open our textbooks during exams for about 1-3 minutes, and we used to ask for more, haha...

Tuesday, February 21, 2012

10 Things I Am Grateful For


Beberapa waktu yang lalu saya sempat chat dengan sahabat saya dan mengatakan kalau kuliah kedokteran itu bikin parno. Sakit sedikit langsung mikir yang nggak-nggak. But, I realize that studying med also make me grateful for many simple things. Dan di bawah ini adalah sepuluh hal kecil yang saya syukuri, tentu saja daftarnya masih panjang, tapi setelah membaca ini, saya berharap teman-teman juga bisa ikut bersyukur untuk keadaan teman-teman yang sekarang J

For I am still breathing
The most essential thing a person should grateful for. Banyak orang di luar sana yang harus membayar mahal demi oksigen dan sebuah alat ventilator. And I believe I don’t have any idea of how bad they want to switch their position with any healthy person like us.

For this heart still beating
19 years, 20 years, 50, 90. Can you imagine how amazing this heart that God has created for us? It can beats without exhausted. Bersyukurlah untuk kesempatan hidup sedetik lagi—semenit lagi, satu jam lagi, satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya, yang Tuhan berikan.

For blood that flowing in my body
I just learn this thalassemia, leukemia, and so on things at college. And knowing I don’t have to depend on transfusion or chemo for my whole life is just so relieving. Dan untuk teman-teman yang mengalaminya, you are a hero. Because you can still smiling with your condition. I don’t think I can.

For I can see many things
Bisa melihat tentu adalah hal yang harus kita syukuri. Sekalipun kadang hal-hal yang kita lihat tidak menyenangkan (nilai yang jelek salah satunya, hehe…) But, having a vision is everything. Dan saya bersyukur dapat melihat dunia.

For I can still move freely
Untuk sepasang tangan dan kaki yang lengkap dan dapat digerakan sebagai mana mestinya.

For I can feel hungry and thirsty
Karena lapar dan haus membuat kita bisa merasakan kenyang dan rasa makanan yang lebih enak.

For I can speak, sing, and eat
Can you imagine living with a nasogastric tube? Kamu tidak akan bisa merasakan rasa dari makanan yang kamu makan. Can you imagine living without a voice, and only can sing in your heart? Be grateful.

For not living in pain
There are people out there who living with cancer and can’t enjoy their life because of their pain. There are people out there who depend on morphine to release them from pain. And there are people out there begging to end their life to be free from pain.

For my brain still remembering many things
Sekalipun nggak membuat saya jadi yang terpandai di kelas. Atau paling jago dalam menghapal. Saya bersyukur karena banyak orang di luar sana yang bahkan tidak mampu mengingat nama orang-orang terdekatnya; apa yang baru saja mereka lakukan; siapa yang mereka cintai. Bersyukurlah kalau hari ini kamu masih bisa mengingat momen-momen berharga dalam hidupmu.

For I can still go to toilet properly
Jangan sebut saya jorok, karena bisa BAB dan BAK dengan teratur adalah salah satu kenikmatan dunia yang harus kita syukuri. Believe me. Ask this to them who depend on a catheter or suction to do both of these things.


Sunday, February 19, 2012

#ForYoungerMe About Your Goodbyes

Dear, the ten year old me

Aku tahu keadaan sedang sangat tidak menyenangkan bagimu. Kamu benci harus pindah sekolah di pertengahan tahun ajaran seperti ini. Kamu kesal karena harus meninggalkan teman-teman di sekolah lamamu. Sekolahmu yang sekarang lebih besar dan bagus—mereka bilang sekolah ini adalah salah satu yang terbaik. Tapi kamu tidak peduli itu, kamu lebih suka berada di sekolah yang jelek namun dikelilingi oleh teman-teman terbaikmu. Di sekolahmu yang baru, semua sudah saling mengenal, dan kamu tidak lebih dari sekadar anak baru yang pendiam. Benarkan? Sifat kita membuat kita membenci perpisahan. Percayalah, sampai hari ini aku masih selalu membencinya. Kita tidak akan pernah menyukai pindah ke lingkungan yang baru dan beradaptasi dari awal.

Keadaan tidak semakin baik dengan nilai-nilaimu yang turun drastis. Kalau di sekolah lamamu kamu adalah juara kelas, kamu bukan apa-apa di sekolah yang baru. Hampir semua nilaimu merah, terutama pelajaran matematika. Standar di sekolah barumu memang jauh lebih tinggi. Tapi tenang saja, hal ini tidak akan bertahan lama. Aku tahu kamu hebat, dan sebentar lagi kamu akan menyadarinya. Nilai-nilai jelek ini hanyalah awal, tunggu hingga kamu mulai bisa menyesuaikan diri. Segalanya akan lebih mudah bagimu, dan kamu akan kembali seperti dulu, meski tidak menjadi juara kelas.

Akan ada masa di mana kamu sangat merindukan teman-temanmu yang dulu. Saat telepon dari mereka sangat kamu nantikan, dan kamu akan berbicara panjang lebar menceritakan hari-harimu. Dengan keadaanmu yang sekarang, dan rasa kangenmu pada teman-temanmu, aku tahu kamu sedang membenci sekolah.

Tapi, seperti yang orang-orang bilang kalau badai pasti berlalu. Kamu akan segera melihat sisi baik dari semua ini. Perpindahanmu adalah sebuah awal dari hari-hari yang luar biasa menyenangkan. Di kelas satu SMP kamu akan bertemu dengan sahabatmu. Kalian akan banyak menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita menyenangkan dan menyebalkan, berbagi sakit hati dan tawa. Sampai sekarang dia masih sahabat terbaikmu, dan kamu belum menemukan orang yang dapat diajak kerja sama sebaik dia.

Bukan hanya itu, masih banyak hal-hal seru yang akan kamu alami. Dan kamu akan menghabiskannya bersama teman-temanmu. Kamu akan merasakan asiknya kemping, menginap bersama teman-temanmu di Puncak, liburan ke Carita, bahkan masa hectic-mu mempersiapkan UAN akan menjadi sangat menyenangkan karena kalian melaluinya bersama. Semua menyenangkan dan tidak bisa kutuliskan dalam kata-kata. Kamu harus mengalaminya sendiri.

Tentu saja kamu masih akan mengalami banyak perpisahan. Namun, pesanku, be strong and live every moment to the most, karena kamu akan sangat merindukannya ketika semua harus berakhir.

Dari, dirimu sembilan tahun lagi yang masih membenci perpisahan.

Saturday, February 18, 2012

Joshua 1:5b

picturetakenfrom:spiritualinspiration.tumblr.com

I saw this picture when I was blog walking as usual, and for some reasons it feels heart-warming. Maybe cause lately it’s been super hectic. Many things going on my mind: mid block exam, proposal seminar that I have to attend, my own proposal for final task (I just heard there is this new regulation that our final task have to be published on scientific journal—what a life!), and as if those haven’t enough, let me introduce you to the giant: SOCA. This SOCA thing is a test at the end of every grade, and I really hate it. Not only because it makes me to study a lot, it is depressing cause I have to do a presentation ALONE. I never like to do a public speaking, especially in front of two doctors.

Well, enough for the complaints. When I saw the verse, it reminds me a lot. I am pretty sure that I tend to hang on myself lately. I am worrying a lot of things; how good can I score?; Will my proposal go well?; Can I pass SOCA?; and so on. I also start doubting myself. Can I do good enough? Am I in the right track? Thank God I know the answer right now: just hang on HIM, cause HE never leave me alone.  

Friday, February 17, 2012

Stronger


I’m standing here
White shirts, grey skirts, they are every where
And suddenly the picture of us came across
You with guitar on your back
Me with glasses and a bunch of books
Do you remember?
They called us a joke

When prince charming met the bore

But here we were
Ignoring the mocks
Defying the rule of caste
Proofing that we were equal
Denying that I am a zilch to you

Remember our first kiss?
School backyard, 5 pm
You told me that I am your universe
A princess trapped in a body of nerd
Should I believe?
Is fairy tale come true?
All I know was you were there
Real and touchable and warm
And that’s enough

Back to the present
Seeing them with backpacks
I hope I could turn back time
Dear, the fifteen year old me
There is no such thing as sweet words
Or a passionate kiss
And all he ever told you were deceits
To show the world that you are a fool
And prove that he was the champ

For I was a loser
But I’ll prove you were wrong
All I need now is a little revenge
To remind you that we are different
Look what an ugly duckling can change into
And a trump can collapse into
Life is just a fair stage
And for the pain you gave me
I have no regrets, cause it made me stronger

Tuesday, February 14, 2012

Happy Valentine


picturetakenfrom:web.stagram.com

¡Feliz Dia de San Valentin!

And I spend it without a boyfriend—menyedihkan, haha… But, I simply enjoy the atmosphere anyway. Buat saya Valentine itu identik dengan hal-hal manis. Selalu ada saja kejadian-kejadian kecil yang mampu membuat saya tertarik. Mulai dari pagi tadi, saat salah satu teman kampus mendapat bunga dari entah siapa; teman dekat saya yang sedang jatuh cinta dan bingung sendiri mau ngasih cokelat; chocolate truffle saya yang gagal; sampai sekuntum mawar yang terselip di tas seorang pekerja kantoran yang tidak sengaja saya lihat saat pulang sore tadi, saya sampai membayangkan akan seperti apa ekspresi Si Cewek saat menerima bunga tersebut.

Mungkin banyak juga yang beranggapan kalau Valentine itu terlalu menye-menye, atau nggak perlulah dirayain sampai sebegitunya, toh kasih sayang itu kan seharusnya bisa ditunjukkan kapan saja. Saya sendiri bukan orang yang suka dengan hal-hal mendayu-dayu macam ngasih coklat atau bunga, But still, I can’t help smiling to myself when I saw sweet things like that. Sekali pun saya setuju banget bahwa nggak perlu hari spesial untuk menunjukkan kita sayang sama seseorang, tapi saya sendiri nggak menentang mereka yang merayakannya dengan cara-cara romantis. Bagaimana pun Valentine adalah sebuah momen yang mengingatkan kita untuk mengungkapkan kasih sayang kita. Sama seperti hari AIDS sedunia yang mengingatkan kita bahwa ada saudara-saudara kita yang mengidap HIV/AIDS; adanya hari tersebut bukan berarti kita hanya memperhatikan mereka pada hari AIDS sedunia saja kan?

So, whatever it is, just enjoy this Valentine happily :D

Monday, February 13, 2012

Zero

Love Story Through a Window


picturetakenfrom:weheartit.com


Belakangan ini, kalau tidak sedang menyetir, saya lebih suka mengamati jalan yang saya lalui daripada tidur di mobil. Ternyata, lama kelamaan saya jadi ketagihan dengan aktivitas tersebut. Ada banyak yang bisa saya amati di jalan, saya jadi tahu sepotong kehidupan yang tidak pernah saya hidupi. Salah satu pemandangan yang sempat membuat saya takjub akan saya sharingkan di sini.
 
Waktu itu saya tengah dalam perjalanan menuju tempat retreat, kebetulan bus yang saya tumpangi terkena oneway, sehingga harus berhenti kurang lebih 30 menit. Daripada bosan, saya mulai memperhatikan orang yang lalu lalang di pinggir tol tempat saya berhenti. Ada para pedagang, pengemis, dan juga orang-orang yang turun dari mobil karena jengah menunggu. Lalu mata saya menangkap sepasang suami istri paruh baya yang sedang berjalan. Dengan dituntun Sang Suami, Si Istri berjalan tertatih-tatih. Nampaknya kaki wanita tersebut terasa sakit. Tak lama kemudian ia jatuh terduduk karena tak kuat lagi berjalan. Sang Suami menatapnya prihatin, lalu berjongkok di sebelah istrinya. Pelan-pelan, ia mulai memijat kaki istrinya. Kejadian tersebut kurang lebih berlangsung selama lima menit. Kemudian mereka berdua bangun dan meneruskan perjalanan mereka, tentu saja dengan Sang Istri dalam gandengan Sang Suami.
 
Melihat kejadian tersebut saya berpikir, beruntung sekali ya ibu itu. Suaminya begitu sabar dan setia ketika ia sedang dalam kesulitan. Enak sekali kalau ada seseorang yang begitu memperhatikan kita dalam hidup. Tapi kemudian saya sadar, ternyata kita juga mempunyai pelindung yang tidak pernah lelah menjaga dan menuntun kita. Siapa lagi kalau bukan Tuhan Yesus? Ia setia menopang kita saat kita jatuh, bahkan menggendong kita saat kita tak sanggup berjalan. Sama, bahkan lebih daripada bapak tadi, ia rela menuntun kita yang sering kali terseok-seok oleh permasalahan dalam hidup. Jadi, kita harus merasa bahagia dan bangga punya Bapa yang care banget sama kita.
This article has been edited and published at WarungSateKamu