Thursday, January 31, 2013

Still


I remember reading The Purpose Driven Life by Rick Warren, and something sounds like: God speaks to you everyday and it is a good thing if you can share it, came up from the book. Saya nggak ingat kalimat pastinya kayak gimana sih, tapi intinya seperti itu. Sejak membaca kalimat itu, setiap malam saat renungan, saya jadi mulai membiasakan diri untuk berusaha mencari tahu apa yang Tuhan bicarakan pada saya selama sehari penuh. Entah itu lewat renungan yang saya baca, kata-kata orang di sekeliling saya, masalah, atau pun peristiwa sehari-hari yang kadang luput dari perhatian saya. Mungkin bisa dibilang seperti semacam refleksi. Dan kalau saya sedang rajin, saya juga men-sharingkan apa yang Tuhan katakan pada saya lewat blog ini.

Minggu lalu, saat TePung (Temu Pengurus), kebetulan temanya adalah tentang mendengar suara Tuhan. Rasanya kayak ditegur, mengingat belakangan ini saya mulai absen membiasakan diri untuk berefleksi pada malam hari.

Dan hari ini, teguran itu rasanya semakin nyata saat saya membaca tulisan di blog ini. It’s like God is drawing me close to Him again, it’s like He is asking for my attention to His voice. And I am grateful for one thing tonight: that He still speaks to me. Gently. 

Thursday, January 24, 2013

A Hide and Seek with God

picturetakenfrom:weheartit.com

Several days ago I watched my father, my little sister, and my little brother played a hide and seek. It was quite fun though I didn’t join them. It reminded me about my childhood, when I used to do the hide and seek with my sisters and cousins. I still remember the thrill, the tension as I seek for a hiding place while the other one are counting. The heartbeats that pound through my ribcage as I wait for the other to find me.

As I watched them played, I thought, may be this hide and seek game represents my relationship with God. Sometimes I run away from Him, it doesn’t mean that I stop praying or read His words, it’s just sometimes I feel that I loose my intimacy with Him. And as I do the hiding part, He always looking for me.

Sometimes I hide far away, searching for the best place to hide—the best place to be alone. Sometimes I hide nearby, but stubbornly cover myself from Him. But hiding always gives me fear, like a child that worries to be found, I feel uneasy while hiding from Him. And when I can’t contain my fear and anxiety anymore, I’ll give up, I’ll quit my hiding place and cry for Him. But the best part of this hide and seek with God is, usually He will find me first. I know He will, cause He is the best seeker ever. 

Tuesday, January 22, 2013

A Flood


Setelah banjir besar yang melanda Jakarta beberapa hari kemarin surut, banyak banget sampah yang berserakan di jalan. Bahkan, di daerah yang dekat dengan sungai, jalanan sampai tertutup lumpur. Melihat ini saya jadi berpikir, mungkin banjir itu ibarat masalah sehari-hari kita ya. Begitu banjir surut—masalah kita selesai, kita seakan dipaparkan akan segala kesalahan-kesalahan kita, seperti banjir yang menyisakan sampah-sampah.

Beberapa orang mulai membersihkan sampah tersebut, membuangnya ke tempat yang tepat. Namun sebagian lagi cukup keras kepala dengan membuangnya kembali ke sungai, dan pada akhirnya lagi-lagi akan menyumbat dan menjadi penyebab banjir selanjutnya. Orang-orang yang terakhir ini mungkin juga menggambarkan saya dan teman-teman, yang bukannya membuang dosa-dosa kita pada Kristus, tapi malah membiarkannya tetap menjadi sumbat yang nantinya akan menjadi sumber masalah yang sama bahkan mungkin lebih buruk.

Jadi, masih mau ‘buang sampah’ sembarangan lagi?

Monday, January 21, 2013

Sel 203


Hari ini genap 23 tahun aku menghirup udara di bumi.

Mereka bilang hidup adalah perayaan. Maka untuk setiap tahun yang berhasil kamu lewati, kamu harus merayakannya.

Tapi selebrasi hanyalah sementara. Begitu juga dengan kado. Aku tidak ingin mobil seperti yang teman-teman sebayaku mimpikan, tidak ingin perhiasan yang selangit harganya, maupun gaun desainer kelas dunia. Aku tidak ingin itu semua, karena hal-hal paling berharga di dunia ini bukanlah barang.

Tentu saja ada hal yang aku inginkan. Kalau ini adalah hari lahirmu, kamu pasti memiliki harapan, bukan?

Aku menatap dinding kosong di hadapanku. Membayangkan sebentuk wajah yang begitu akrab.

Aku merindukan Ibu. Ibu dengan kerut-kerut samar di sudut matanya. Ibu yang selalu melihatku dengan sorot teduh, namun berganti luka terakhir kali aku melihatnya.

Ibu ingat hari ini?

Pintu jeruji di depanku terbuka. Seorang petugas berseragam masuk.

“Kamu kedatangan tamu”.

Kami berjalan melalui keremangan koridor, lalu berbelok di ujung.

Di hadapanku tersusun beberapa meja. Sinar matahari menembus masuk, menyinari debu-debu yang berterbangan.

Namun semua detil itu tidaklah penting. Mataku tertuju pada sebuah kue dengan lilin kecil yang menyala. Di belakangnya aku mendapati harapan terbesarku. Ia terlihat jauh lebih tua, dengan keriput dan uban yang semakin nyata.

Aku tergugu menatapnya. “Ibu memaafkanmu, Sayang”.

Sunday, January 20, 2013

Untitled 5


*Klik label The Untitled di bawah postingan ini untuk membaca cerita sebelumnya ;)

Denza berbaring di atas tempat tidurnya malam itu. Lagu Fix You-nya Cold Play samar-samar terdengar dari player-nya. Hari yang berat… dan aneh. Tangannya mengocok-ngocok kotak yang diterimanya di Kaftee & Bun sore tadi. Dari bunyi benda yang menabrak dinding kotak di dalamnya, Denza memperkirakan isinya tidak besar. Bagaimana mungkin sebuah kotak dapat menghilang begitu saja dan muncul di hadapannya delapan bulan kemudian? Kenapa bukan Jan yang membawanya? Siapa sih pria berkaca mata hitam yang dimaksud pelayan tadi? Kenapa hadiah dari Jan dapat sampai ke tangannya? Apa Jan baik-baik saja? Semua pertanyaan itu mengalahkan rasa penasaran Denza terhadap isi kotak tersebut.
Denza menghela napas berat. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar di otaknya dalam beberapa bulan terakhir ini. Teralu banyak hal-hal di luar nalar manusia yang terjadi dalam hidupnya. Ia sendiri kagum dengan bagaimana ia menghadapi hal ini, dengan bagaimana ia masih dapat mengikuti setiap mata kuliah—mengerjakan setiap kuis dan ujian, dalam keadaan seperti ini. Heran dengan bagaimana ia masih dapat berpikir jernih ketika naik kendaraan umum dari dan ke kampus atau ketika ia harus memutuskan kelas mana yang akan diambilnya semester ini.
Merah muda. Denza menarik pita yang membungkus kotak tersebut. Cewek banget, begitu Jan selalu mengomentari warna favoritnya, nggak kayak elo yang keras kepala dan hidup banget. ‘Keras kepala’ dan ‘hidup banget’. itu yang selalu Jan bilang tentang dirinya. Cara pendeskripsian yang aneh memang, tapi Denza suka dengan pendapat itu. Jan pernah bilang sifat keras kepalanya itu kadang annoying banget, tapi pada saat tertentu ia bisa berhasil karena sifat itu—kegigihan dan semangat pantang menyerah yang dimilikinya.
Perlahan Denza membuka tutup kotak tersebut. Hal pertama yang dijumpainya adalah sebuah kartu mungil dengan tulisan tangan Jan di atasnya: Happy Birthday Denza! Denza menatap tulisan acak-acakan itu sejenak, mendadak ia kangen menghina tulisan sahabatnya itu. Jan selalu marah kalau ia bilang tulisannya seperti cakar bebek. Ini tuh relief, susah dibaca tapi punya arti, begitu Jan selalu membantah komentar Denza.
Denza melipat kembali kartu tersebut kemudian mengeluarkan isi dari kotak hadiahnya. Sebuah kalung berbandul bulan sabit. Denza tersenyum tipis.
“Hujan, Jan,” Denza menatap tirai air dari tempatnya berdiri. Ia dan Jan baru saja selesai makan malam di warung pecel lele Bu Maru. Tadi saat tiba, Jan terpaksa memarkir mobil agak jauh karena tempat di sekitar warung sudah penuh, akibatnya kini mereka terjebak di dalam warung yang penuh sesak.
“Berteduh di sini aja dulu,” kata Jan santai,”Besok juga nggak ada ulangan kan?”
“Iya sih, tapi gue belum ngerjain PR matematikanya Bu Bea. Besok kan jamnya jam pelajaran pertama,” desah Denza, tapi kemudian matanya berbinar riang,”Atau besok pagi gue nyalin punya lo aja ya? Ya, ya, ya? Elo baik deh, Jan…”
“Huh, you wish,” Jan menjitak kepala Denza, membuat sahabatnya itu cemberut.
“Pelit banget sih”.
“Usaha dong”.
“Tapi kan hujan. Kalau nggak gue pasti kerjain sendiri kok”.
Jan melepas jaket baseballnya. “Ya udah, kalau gitu hajar aja yuk!”
“Demi gue ngerjain PR sendiri, elo ngajak gue hujan-hujanan?” Denza melotot.
“Udah. Jangan manja, ah. Parkirannya juga nggak jauh-jauh amat kok, kalau lari sambil tudungan pakai jaket pasti nggak terlalu basah”.
Denza menatap Jan dengan pandangan memelas, namun sahabatnya itu malah balik menatapnya galak. Denza melengos pasrah. “You’re so mean, Jan,” ia akhirnya terpaksa menurut dan bergabung dengan Jan di bawah jaket baseballnya.
Denza menggerutu kecil karena kakinya terkena lumpur di sana-sini saat akhirnya mereka tiba di mobil. Jan hanya tertawa kecil sambil menyalakan mesin.
“Bulannya nggak ada,” gumam Denza dalam perjalanan.
“Cuma ketutup awan,” Jan menanggapi.
Denza mengangguk. “Padahal hari ini bentuk bulan sabitnya pasti sempurna.”
“Elo masih aja merhatiin fase-fase bulan ya?” Jan mengangkat sebelah alisnya. Ia ingat pertama kali Denza tergila-gila pada bulan adalah saat kelas 6 SD, saat kelas mereka ditugaskan mencatat serta menggambar bentuk bulan selama sebulan penuh.
“Cantik sih,” Denza menjawab enteng,”Bulan emang nggak segagah matahari, nggak punya sinar sendiri. Tapi bulan selalu ada, even in a day light you can see it. Selalu bersinar lembut, selalu stands out di langit malam”.
“Like a guardian?”
“Like a guardian,” Denza menyetujui.

Tok-tok-tok. Kepala Ibu menyembul dari balik pintu.
“Masuk, Bu,” Denza tersenyum.
“Hadiah?” tanya Ibu saat melihat kotak yang dipegang Denza,”Dari siapa?”
Jan. Denza ingin menjawab, tapi hari ini ia sudah cukup lelah dengan segala sesuatu tentang cowok itu,”Temen, Bu”.
“Teman apa teman?” Ibu tersenyum sambil menatapnya penuh selidik. Denza sadar, belakangan ini Ibu jadi lebih mau tahu banget tentang kehidupannya. Terutama sejak insiden menghilangnya Jan, Ibu jadi lebih concern sama keadaannya. Denza bisa maklum sih, semua orangtua pasti khawatir kalau tahu anaknya delusional, tapi yang membuat Denza gerah adalah Ibu jadi sering mendesaknya untuk cepat-cepat cari pacar. Biar bisa ngelupain Jan-Jan nggak jelas itu, kata Ibu. Kalau Ibu sudah menyinggung hal seperti itu, emosi Denza langsung tersentil dan pembicaraan mereka pasti berujung dengan adu mulut. Selama ini ia berusaha mengerti orang-orang di sekelilingnya yang sama sekali tidak memiliki memori tentang Jan sama sekali, tapi dilain waktu ia jadi cepat kesal karena merasa orang-orang tidak berusaha mengerti dirinya; tidak menghargai Jan; menganggap bahwa Jan sama sekali tidak penting.
“Teman kok, Bu,” Denza tersenyum hambar menanggapi, kemudian ia mengalihkan pembicaraan,”Ayah Ibu besok jadi ke Solo?”
Ibu mengangguk sambil membelai kepala anak sematawayangnya itu, ”Dan kayaknya harus tinggal di sana lebih lama, kira-kira dua minggu. Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?”
“Tenang aja, Bu. Denza kan udah gede. Lagian kan masih ada Mbak Inah yang bantu jaga rumah.”
Ibu menatap kedua mata Denza lama, hingga membuat Denza risih. Ia ingin menghindari tatapan Ibu yang seperti ini—ia selalu ingin lari dari tatapan Ibu yang seakan-akan mengatakan bahwa ia tidak baik-baik saja, bahwa anaknya itu bermasalah. “Ibu…” Denza mengusap punggung tangan Ibu,”Percaya dong ama Denza”.
Ibu tersenyum, lalu mengecup dahinya singkat,”Selamat malam, Denza”.
“Malam, Bu,” Sepeninggal Ibu, Denza menghela napas keras. Percaya. Satu kata itu belakangan ini menjadi menjadi semakin samar baginya, semakin jauh, semakin tidak berarti. Ia harus mengemis kepercayaan pada orang terdekatnya, termasuk Nadin dan Ibu.  Harus meyakinkan mereka bahwa otaknya masih waras dan mampu menopangnya menjalani kehidupan sehari-hari sementara sosok Jan yang tidak nyata masih menguasai alam pikirannya.
Denza memakai kalung pemberian Jan. The guardian. Ia percaya Jan pernah ada, masih ada. Ia yakin Jan tidak menghilang, hanya berada di suatu tempat yang tidak terjangkau olehnya. Ia ingin percaya bahwa saat ini Jan hanya seperti fase bulan 0, saat di mana ia tidak terlihat, atau seperti pada saat langit mendung. Orang-orang melupakannya, tapi sebagian lagi—atau ia sendiri, tetap tahu kalau ia ada. Selalu ada. Di suatu tempat yang tak terlihat, mengawasi semuanya dari jauh, menjaganya dengan sorot lembut yang selalu menjadi miliknya.
Malam kian larut, dan Denza tertidur dengan seribu pikiran tentang Jan yang berseliweran di kepalanya. Ia terlalu lelah hingga tak menyadari udara kosong di hadapannya terbelah, menimbulkan sebuah ruang dimensi.
Seorang pria dengan setelan dan kaca mata hitam melangkah keluar dari lubang tersebut. Ia memandang Denza sejenak, mengamati setiap lekuk wajah miliknya. Sekali lihat saja ia tahu gadis ini tidak bahagia, dan sayangnya tugasnya adalah membuat hal tersebut semakin buruk. Membuatnya gadis itu menanggung beban yang lebih berat lagi.
“Maaf,” suara dalam milik pria tersebut memecah kesunyian, matanya menunjukkan sorot kebapakan dari balik kacamata hitamnya,”Denza”. Ia menyuntikkan sedasi pada lipatan siku Denza, membuatnya berjengit sedikit, namun tidak terbangun. Kemudian pria itu mengangkat Denza yang sudah tak sadarkan diri dan membawanya melewati gerbang dimensi yang hampir tertutup.