Tuesday, September 25, 2012

Bruises


Seorang laki-laki berlari-lari menuju stasiun mengejar kereta api yang sudah siap mau berangkat. Sambil lari, ia berdoa, "Ya, Tuhan, tambahkanlah kekuatanku, supaya aku sampai ke stasiun sebelum kereta berangkat."
 Tiba-tiba ia tersandung dan jatuh. Sambil memandang ke langit, ia mengeluh, "Tetapi, ya, Tuhan, aku tidak minta didorong!"

Ketemu jokes ini waktu lagi nyari-nyari bahan untuk warta Minggu di gereja. Pertamanya saya tertawa, tapi ternyata setelah dipikir-pikir lagi, humor ini nancep juga ya rasanya.

Sering banget kita berdoa minta ini itu, minta dikasih kekuatan, kesabaran, dan lain-lain. Tapi, ketika Tuhan memberikan dorongan yang sedikit lebih keras dibanding dugaan kita, we end up complaining to Him. Marah-marah karena hidup kita mendadak jadi ‘gedubrakan’.

Saya sendiri sedang merasa messed up banget beberapa minggu ini. Kayaknya ada aja masalah dan kekhawatiran-kekhawatiran yang mengganggu. Mulai dari merasa gagal, kewajiban yang bertumpuk, nyakitin orang lain tanpa sengaja, dan… masih banyak lagi tekanan yang nggak cuma membuat lelah fisik tapi juga batin. Intinya, saya sampai pada suatu titik di mana saya hampir memutuskan untuk nyerah, nggak peduli, bodo amat orang mau beranggapan apa tentang saya. Saya capek. Dan saya lari. Saya menjadikan teman-teman SMA saya sebagai pelarian. Karena bersama mereka saya bisa haha-hihi sepuasnya, melupakan masalah yang sedang saya hadapi, berharap waktu berhenti berputar, menjadi diri saya yang baik-baik aja. Saya tahu lari nggak menyelesaikan masalah, tapi toh saya tetap nggak peduli.

Tapi malam ini setelah membaca humor di atas entah kenapa saya jadi teringat doa pagi saya beberapa minggu lalu. Pagi itu saya minta pada Tuhan bahwa saya ingin semakin bertumbuh di dalam Tuhan. And it works, mungkin ini jawaban Tuhan untuk doa saya. Ketika saya ingin semakin bertumbuh, Ia memberikan masalah yang dapat membentuk saya. Dan quote satu ini mendadak muncul di benak saya: Trials are the soil in which faith grows. Omong kosong kalau seseorang bisa bertumbuh tanpa ditempa lebih dulu. Bohong kalau seseorang bisa lebih kuat tanpa dihajar dan babak belur lebih dulu. Dan… pada akhirnya saya sadar, apa yang sedang saya alami sekarang akan menjadikan saya lebih baik nantinya. Semoga.

Sunday, September 23, 2012

Post-it !


Rahel menatap lautan kertas post-it yang tertempel di hadapannya. Sudah hampir setengah jam ia duduk tanpa melakukan apa pun di depan meja belajar. Buku biologi yang terbuka lebar dibiarkannya begitu saja, semangat untuk membaca baris demi baris kalimat yang digarisnya dengan stabilo warna-warni sudah menguap sejak tadi.

Rahel membaca setiap tulisan dalam post-it itu satu persatu. Mulai dari catatan bahan ulangan, rumus, jadwal les dan rapat OSIS, deadline tugas, sampai yang nggak penting seperti quotes dan doodles yang dibuatnya di sela-sela jam pelajaran, serta lirik-lirik lagu ciptaannya yang selalu muncul saat otaknya jenuh seperti saat ini.

Rahel menghembuskan napas keras. Sebuah kertas post-it yang sengaja ditempelnya agak jauh dari kumpulan post-it lain menangkap perhatiannya. Tulisan pada kertas itu berbeda dari yang lainnya—acak-acakan dan hampir tidak terbaca. Tapi Rahel sudah tahu isinya tanpa harus membacanya lagi, ia sudah hapal isinya lantaran terus menerus melihatnya selama hampir seminggu ini:

On Ground. Sabtu 29 September. Pk 19.30. Gonna be awesome!

Semuanya berawal dari keisengannya Senin kemarin, sepulang rapat OSIS. Tiba-tiba saja ia tergoda untuk masuk sebentar ke ruang musik. Dan tanpa ia sadari, ia sudah mengeluarkan sebuah gitar akustik dari lemari dan memetiknya pelan. Sebuah melodi yang sudah sejak jam pelajaran fisika tadi terngiang-ngiang di kepalanya, sebuah ide untuk lagu barunya.

“Bagus,” sebuah suara dalam mengejutkannya. Rahel menoleh, mendapati Erga, teman sekelasnya bersandar di pintu dengan kedua tangan di saku celana.

“Sejak kapan elo nguping?” nada Rahel terdengar ketus tanpa sengaja. Baru kali ini ada orang yang mendengar lagu ciptaannya. Bahkan baru kali ini ada orang selain Mama dan Papa yang mendengarnya bermain gitar.

“Cukup untuk tau elo jago,” Erga nyengir, lalu duduk di belakang drum. “Ada kertas?”

Rahel menggeleng sambil mengerutkan kening. “Post-it boleh?”

Post-it will do,” Erga tersenyum, lalu menerima kertas post-it yang memang selalu dibawa Rahel ke mana-mana. Dengan cekatan ia menuliskan beberapa kalimat di sana, lalu memberikannya pada Rahel.

“On Ground?” Rahel membaca tulisan yang tertera. Ia pernah sekali diajak Yoris sepupunya ke sana. Sebuah kafe yang menampilkan band-band independen setiap malamnya, kalau beruntung pengunjung bisa mendapat kesempatan mendengar musik-musik yang luar biasa.

“Sabtu ini gue line-up di sana. You’re welcome to join if you wish,” Erga tersenyum hangat,”Jangan lupa bawa gitar lo”.

Rahel terdiam sejenak. “Elo serius? Gue?”

“Kaget?”

“Gue nggak sekompeten itu. Gue nggak jago,” Rahel menggeleng, selama ini main gitar cuma jadi guilty pleasure-nya—pelariannya kalau ia sudah jenuh dengan tugas dan segala macam urusan organisasi. Nggak pernah kepikir sama sekali untuk mengembangkan hobinya yang satu itu.

“Jangan merendah,” cibir Erga. “Sayang banget kalau kemampuan sebagus itu disia-siain. You’ll never know what you’ll become right?”


Pikiran Rahel kembali ke saat ini. Elo kan nggak tahu elo bakal jadi apa nantinya. Selama ini ia pikir profesi cuma itu-itu aja: dokter, pengusaha, arsitek, desainer, karyawan. Nggak pernah terlintas dalam benaknya kalau ia bisa aja banting setir berkarya di dunia seni. Yah, untuk saat ini ia memang belum memutuskan untuk mencari makan di bidang itu sih. Tapi, teringat penuturan Erga beberapa hari lalu, ia jadi tergelitik untuk menjajal kemampuannya di On Ground. Toh, nggak ada salahnya kan meninggalkan sebentar urusan akademik demi mengasah minatnya? Siapa tahu, ia bisa jadi musisi nantinya!

Tuesday, September 18, 2012

20



Happy birthday to me!

Dua puluh. Tua banget ya ampun. Tapi rasanya keterlaluan ya kalau nggak bersyukur. Setiap saya mau ngeluh tentang betapa cepat waktu berlalu, saya selalu ingat saudara saya yang seumuran dengan saya tapi nggak sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-20 bulan lalu.

So, Thank God for these twenty years you’ve given to me. For all of those laughs and tears I’ve experienced and I will experience. For all of those people You’ve put in my life. Thank you for molding me to be who I am today.

Hari ini teman sekampus saya bertanya, ‘Apa nih yang spesial dari ulang tahun ke-20?’. ‘Tambah tua,’ jawab saya spontan. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ulang tahun kali ini cukup menarik buat saya, karena tahun ini jadi tahun pertama saya menghapus tanggal ulang tahun dari Facebook. Awalnya sih karena iseng aja, tapi ternyata reaksinya lucu juga ya. Ada yang salah ngucapin satu hari sebelumnya, ngasih kado sebelum harinya, protes kenapa saya nggak menaruh tanggal ulang tahun saya di FB, nggak enak karena lupa, sampai takut salah tanggal karena ulang tahun saya dan sahabat saya berdekatan jadi takut tertukar. Ternyata peran FB dalam menjadi reminder ulang tahun itu sangat besar ya, hahaha…

Yang jelas sih ucapan tahun ini lebih sedikit dari tahun lalu. Tapi yang membuat saya senang adalah berarti tahun ini saya nggak dapat ucapan selamat ulang tahun yang cuma basa-basi, Yang isinya “HBD, WYATB, GBU!”

Once again, happy birthday day to me!

Let the word of Christ richly dwell within you, with all wisdom teaching and admonishing one another with psalms and hymns and spiritual songs, singing with thankfulness in your hearts to God.—Colossians 3:16

Sunday, September 16, 2012

I miss...


I miss sitting in a bus, in a long trip I don’t know how far away I would go. I miss sitting in a bus, enjoying a monotone view from the window as we pass. I miss sitting in a bus, with a good book that I can’t stop to flip ‘till the very end. I miss sitting in bus, doing nothing, just me and some random thoughts about life. I miss sitting in bus, looking back from where I stand now. I miss sitting in a bus, forgetting that clock is ticking and problems happen. I miss sitting in a bus, enjoying the moment when the earth stand still. I miss sitting in a bus, taking photograph of a moving object. I miss sitting in a bus, admiring the works of God, smile, and say… life’s good.

picturetakenfrom:pinterest.com

Be Still


Beberapa waktu lalu saya pernah nge-post tentang perubahan. Tentang bagaimana teman-teman SMA saya berubah dengan cara yang menakjubkan. Kemarin, saya kembali berkumpul dengan beberapa dari mereka. Dan dari rumah, saya sudah memutuskan untuk memperhatikan apa yang belum berubah dari mereka.

Pada akhirnya, saya lega masih mengenal mereka. Ada bagian dari diri mereka yang masih di situ, nggak berubah. Ada sifat dan kebiasaan mereka yang masih saya kenal betul, yang membuat saya merasa ‘pulang’. Karakter yang selalu saya rindukan ketika mereka jauh. Mungkin mereka berubah, tapi mereka masih tetap teman-teman yang saya kenal dulu. Mereka masih orang-orang yang membuat saya tertawa dan tersenyum dengan cara yang sama. Mereka masih orang-orang yang bisa saya ajak untuk berbagi. Mereka masih menjadi tempat untuk saya menjadi diri saya sendiri.

Saya bersyukur mengenal mereka sejak dulu, saya bersyukur pernah berproses bersama mereka. Karena saya selalu yakin satu hal: Kalau teman-teman kuliah mu yang sekarang tahu siapa dirimu, teman-teman SMA atau SMP mu tahu bagaimana kamu menjadi dirimu yang sekarang.

Glad to have you all! Be still…