Thursday, October 19, 2017

Hidup Taat, Sebuah Peregangan Iman ala Tuhan


Ketika kita sedang lelah mendaki, mungkin tak jarang kita mendongak, dan melirik iri mereka yang sudah meraih puncak. Lalu muncul pertanyaan, "Untuk apa memikul  salib dan mengikut Dia, jika hidup mereka-mereka yang tidak melakukannya terlihat lebih menyenangkan?"

Baru-baru ini saya kembali menekuni pilates setelah sempat hengkang selama hampir satu tahun. Badan rasanya remuk redam, padahal gerakan-gerakan pilates mayoritas adalah peregangan dan gerakan-gerakan dinamis yang tidak terlalu heboh. Rasanya seperti kembali ke hari-hari pertama dulu, saat saya baru mengikuti kelas ini. Kata Mama, kalau ikut pilates tuh kayak langsung ketahuan semua jelek-jeleknya badan kita. Padahal sehari-hari kita merasa tidak ada yang salah dengan tubuh kita, rasanya sama-sama saja seperti orang lain; namun, begitu ikut pilates dan bertemu instruktur, baru deh ketahuan bahwa ternyata banyak sekali postur atau posisi tubuh kita yang ngaco.

Sejak ikut pilates saya jadi lebih ‘aware’ dengan postur tubuh saya, dan menyadari bahwa ternyata nggak gampang mengubah ‘posisi standar’ tubuh kita yang sudah salah selama bertahun-tahun. Butuh perjuangan yang tidak sebentar dan tidak mudah hingga tubuh kita mampu ‘mengingat’ posisi tubuh yang benar. Butuh latihan yang menyakitkan dan kesabaran ekstra untuk memperbaiki postur dan melenturkan tubuh yang terlanjur kaku.

Mungkin hidup ini juga demikian. Tak jarang kita berpikir, si ‘A ‘yang jauh dari Kristus tapi kok hidupnya ‘fine-fine’ aja, bahkan malah terlihat lebih santai dan tanpa beban. Jadi apa bedanya hidup dengan dan tanpa Kristus?

Kalau secara selintas kita lihat, seringkali hidup orang yang dekat dengan Kristus dengan orang yang tidak percaya rasanya sama-sama saja. Orang yang tidak kenal Kristus juga bisa sukses, bisa bahagia, bisa hidup mewah dan melimpah. Tapi, bila dilihat lebih dekat dan mendetil, tentu kita akan dapat melihat dan merasakan perbedaannya.

Sama seperti gerakan-gerakan pilates yang kebanyakan tidak ‘high impact’ namun sanggup membuat badan pegal-pegal. Hidup kita juga mungkin lebih sering ‘ditarik’ dan ‘diregang’ Tuhan melalui hal-hal kecil. Ia membentuk kita melalui kebiasaan-kebiasaan kecil—masalah sehari-hari, yang tanpa sadar mampu membentuk dan mempertahankan ‘postur’ iman dan karakter kita. Mungkin kalau dilihat sekilas tak berbeda dengan mereka yang hidup tanpa Kristus, tapi kalau diuji, kamu akan merasakan sendiri bedanya.

Jadi, kalau kita sempat berpikir dan melirik iri pada mereka yang hidupnya terlihat enak tanpa Kristus, buanglah jauh-jauh pikiran itu. Memikul salib memang bukanlah perkara mudah, bahkan tak jarang menyakitkan, tapi dengan demikianlah Allah membentuk kita. Menjadikan kita menjadi lebih kuat dan berkualitas dari yang lain.


Selamat menjadi berbeda!

Tuesday, October 17, 2017

Pecundang yang Menang dan Pemenang yang Kalah

Kalau mau ditarik mundur, rasanya konsep menang-kalah sudah begitu melekat dengan diri kita sejak kecil. Sejak kita belajar bersosialisasi dan berteman, sejak kita mulai bermain petak jongkok dan galasin bersama kawan di halaman rumah; sejak kita mengenal basket, sepak bola, dan olahraga lainnya; dan tentu saja sejak kita duduk di bangku sekolah dan berlomba-lomba meraih peringkat tertinggi.

Kita begitu akrab dengan konsep menang kalah ini. Yang duduk di ranking 10 besar dianggap berhasil, sementara sisanya gagal; yang berhasil menang lomba dipuji-puji dan dibanggakan, sementara sisanya hanyalah pecundang; begitu seterusnya. Dan sedihnya, hingga kita dewasa, kita begitu terbawa dengan konsep menang kalah yang seringkali hanya merupakan kamuflase semata.

Kita jadi terbiasa mengukur orang dari apa yang mereka miliki, seberapa sering mereka jalan-jalan keluar negeri, apa jabatannya di kantor, mobil apa yang dikendarainya, siapa pasangan hidupnya, tas merk apa yang dipakainya, sudah menikah atau belum, sudah punya anak atau belum, sudah mapan atau belum, dan seterusnya. Bahkan parahnya, kita seringkali jadi menghakimi dan membenci diri kita hanya karena konsep ‘menang-kalah’ atau ‘sukses-gagal’ yang keliru ini. Padahal menang kalah bukan sekadar angka, bukan sekadar prestasi, bukan sekadar jumlah uang yang bisa diukur dan dihitung, dan tentu saja bukan sekadar pencapaian hidup yang gemilang dan berlimpah.

Tidak percaya?

Tengok saja Bapak Mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini sedang menjalani masa tahanannya. Kekalahannya dalam proses peradilan memang membuatnya harus menjalani hidup di balik jeruji, namun apakah ia layak disebut sebagai seorang pecundang?

Menang atau kalah, sukses atau gagal, tidaklah sesederhana menghitung jumlah gaji, menakar jabatan, atau berlomba agar terlihat bahagia. Pada akhirnya kualitas kita ditentukan oleh karakter dan sikap hati. Sejatinya, seorang pemenang adalah mereka yang walau terlihat kalah oleh dunia, tetap menjaga iman dan integritasnya dalam hidup. Jadi, jika sekarang kamu sedang merasa kalah atau tak berhasil, jika kamu sedang merasa tertinggal, atau merasa hidupmu tak bergerak, jangan kecil hati. Ingatlah dalam sebuah permainan selalu ada mereka-mereka yang mengalah untuk menang, selalu ada mereka-mereka yang tak dijagokan namun bermain sportif, dan selalu ada mereka yang mengalah demi si anak bawang ;)


Selamat menjadi pemenang!

picjumbo.com