Thursday, May 31, 2012

Celebrate


Senyum Mala langsung mengembang saat kakinya melangkah keluar gerbang sekolah. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati sejuknya angin yang menyentuh kulit.

“Kapan ya terakhir kali Jakarta sesejuk ini?” gumamnya sambil menengadahkan kepala ke langit. Gumpalan awan kelabu berarak di atasnya,”Mendung, tapi sama sekali nggak pengap”.

“Kok elo bisa sih?” Sona yang sejak tadi berjalan di sebelahnya akhirnya buka mulut.

“Apa?” alis Mala bertaut, namun ia sama sekali belum bisa menyembunyikan senyumnya.

“Seperti sekarang ini… Menikmati keadaan,” jawab Sona.

Mala jadi bingung ditanya seperti itu.

“Emangnya elo nggak stress apa? Sebentar lagi kan kita ulangan umum, bahannya banyak banget. Anak-anak yang lain juga makin hardcore belajarnya. Elo nggak kuatir nggak masuk sepuluh besar?” lanjut Sona saat sahabatnya itu tak kunjung menjawab.

“Ini juga lagi usaha kan? Buktinya sekarang kita jalan ke tempat les nya Pak Aryo,” Mala menanggapi. Belakangan ini Sona dan beberapa teman sekelasnya jadi panikan banget. Yah... Mala bisa maklum sih, bagi beberapa orang tua murid masa-masa sebelum ulangan umum adalah waktu yang paling krusial untuk menentukan ranking anaknya, makanya sebagian teman sekelasnya jadi stress karena tekanan orang tua mereka, termasuk Sona.

“Tapi elo kelihatannya santai banget,” balas Sona, sedikit banyak ia iri dengan orang tua Mala yang sama sekali nggak ambil pusing soal peringkat anaknya di kelas. Yang penting nilai nggak dibawah standar, berapa pun nggak jadi masalah.

“Elo inget pertama kali kita pengen masuk sekolah ini?” Mala malah bertanya.

“Mana mungkin lupa? Perjuangan banget tuh,” Sona mengangguk,”Gue sampai nginep di rumah lo demi belajar bareng”.

Mala menyetujui,”So, here we are. Kita akhirnya masuk sini, pakai seragam yang sejak dulu kita idolain. Shouldn’t we at least celebrate it?”

Sona masih tidak mengerti kemana pembicaraan mereka mengarah.

“Kita sama-sama tahu masuk sini nggak gampang. Butuh pengorbanan yang nggak sedikit. We are qualified, Son. From now on, this is a battle of lions, and we should be proud to be part of it. Give yourself a pat on shouldera time to breath.”

“Coba orang tua gue punya pemikiran yang sama kayak elo ya,” Sona menanggapi.

Tell them,” Mala tersenyum.

No way,” Sona menggeleng cepat

“Elo belum pernah nyoba kan? Bilang sama mereka kalau elo ingin menikmati waktu lo di sekolah ini—hasil kerja keras lo sendiri. Nggak ngoyo bukan berarti nggak berusaha memberikan yang terbaik kan?”
picturetakenfrom:weheartit.com

Thursday, May 24, 2012

Sea, and Nine Years After It


Hari ini, sembilan tahun yang lalu, masih segar dalam ingatanku segalanya tentang kita. Aku masih dapat mencium aroma laut dan dan mengecap asinnya udara hari itu. Aku masih dapat mendengar deburan ombak yang sesekali menyapu bersih apa pun yang terdapat di pinggir pantai. Aku masih merekam hangatnya mentari siang itu, birunya langit, putihnya pasir, aku masih memutar-mutar memori tentang kita.

“Nggak terasa ya, sebentar lagi kita kuliah,” kamu duduk di sebelahku, ikut memandang garis datar yang memisahkan laut dengan cakrawala.

“Kuliah, dapet kerja, nikah, punya anak…” aku melanjutkan, sambil memejamkan mata, menikmati hembusan angin yang terasa lengket di kulit.

Kamu ikut tersenyum,”It’s just like a blink of an eye, you know? Our life…”

Aku menggeleng,”Like a speed of light. Gue bahkan nggak tahu untuk apa semua ini. Masuk Otago; taking med school; being a physician, a great surgeon, lalu apa? Cari duit? Jadi istri orang? Jadi ibu? Then what? Apa yang sebenarnya sedang gue kejar? What is my main purpose? My ultimate one?

Kamu hanya diam mendengar ocehanku, aku tahu kamu juga memikirkannya. Lalu aku menatap Higa dan Mei yang tengah bermain di laut. Kita semua memikirkannya, sekalipun beberapa menutupinya dengan keceriaan liburan kelulusan sekolah.

“Kalau lo apa? Apa tujuan hidup lo?” Aku memiringkan kepala, menikmati wajahmu yang nampak berpikir keras.

Kamu menatap langit sambil membiarkan kedua sikumu bertumpu pada pasir. “Entahlah. Mungkin kuliah, cari kerja, jadi kaya, dan hidup bahagia selamanya sama orang yang gue cintai”.

Jantungku berdegup cepat saat mendengar bagian akhir kalimatmu.

“Reiii!” Teriakan Mei dari jauh dengan cepat mengembalikanku pada kenyataan pahit. Kamu melambai kepadanya. Sorot teduh itu… tidak bisakah kalau kamu menujukannya untukku?

Happily ever after itu cuma ada di dongeng tahu?” aku menanggapi.

Tawamu berderai,”Iya, tapi hidup bahagia nggak. It simply takes your loved ones to be happy, to hang on in the worst of your life”.

“Kayak Mei maksud lo?” Aku memberanikan diri bertanya.

“Semoga,” lagi-lagi kamu menatapnya dengan penuh kelembutan. “Gue mau bilang nanti malem”.

Aku merasakan sekujur tubuhku kaku. “Oh ya?” Aku memaksakan diri untuk terdengar tenang, memberikan dukungan selayaknya seorang sahabat,”Wah, good luck ya! Jangan lupa traktirannya kalau ja—”

“Keeey!” Mei menarik tanganku,”Main air yuk! Nggak bosen apa duduk di sini terus? Can’t you hear the ocean’s calling?”

Aku tersenyum datar sambil menggeleng,”Nggak ah, nanti aja gue nyusul. Rei, elo aja gih, main sana!”

“Ayo, Rei!” Mei mengedikkan kepalanya, sebelum akhirnya kembali ke laut. Kamu menyusulnya tanpa berpikir dua kali.

“Yakin nggak mau?” kamu menoleh ke belakang.

Aku menggeleng.

“Elo patah hati,” sebuah suara mengejutkanku. Kini gantian Higa yang duduk di sebelahku.

Aku menunduk mengamati pasir yang mengotori kakiku,”Rei mau bilang malem ini”.

“Gue tahu,” Higa berkata enteng, kecut,”Gue juga sakit hati tau?”

Aku menatapnya, lalu ingat kalau Mei adalah cinta pertamanya sampai hari ini.

“Pernah nggak elo terpikir buat bilang yang sebenarnya ama Rei?”

“Bilang apa?” alisku bertaut.

“Ya, bilang kalau elo suka dia. Siapa tahu dengan begitu dia nggak jadi nembak Mei”.

“Kayak elo, yang udah nyatain perasaan ke Mei dan ditolak?” tanyaku.

“Seenggaknya, gue udah lega”.

“Mei itu sahabat gue. Rei juga. Elo juga. We’re just like family, dan gue memilih mempertahankan yang udah ada. I’m leaving shortly anyway,” Aku tersenyum getir, menutup pembicaraan, lalu mengajak Higa menyusul yang lain sebelum matahari semakin tinggi.

“Key?” Sebuah suara lemah mengembalikanku pada kenyataan.

“Rei, how do you feel?” Aku mendekat ke tempat tidur, keadaan mu sudah lebih baik dari lima jam yang lalu, saat kamu dan Mei di bawa ke UGD pasca kecelakaan lalu lintas.

“Mei?”

Aku menggeleng,“Maaf”.

Aku menunggu reaksimu. Tapi, kamu tetap tenang, seolah sudah mengetahui bahwa hal ini akan terjadi.

“Rei…” Aku menyentuh lenganmu.

There is no happily ever after, Doc. You’re right”.

No. But you can still be happy as long as you have someone who loves you”.

Who?

Me”.

picturetakenfrom:pinterest.com

Friday, May 18, 2012

I Grown Old-Fashioned

picturetakenfrom:pinterest.com


“Kamu tahu nggak kira-kira kalau mau nyumbang buku ke mana ya?” | ”Ehm, ke mana ya? Emangnya kita mau nyumbang buku, Ma? | “Iya, buku-buku cerita waktu kamu masih kecil” | “Banyak?” | “Semobil ada kali”

Percakapannya nggak persis seperti itu sih, tapi yah, kira-kira itu inti pembicaraan saya dan Mama beberapa pagi yang lalu. Mungkin nggak sampai semobil juga, Mama aja yang terlalu berlebihan, tapi saya tahu jumlah buku cerita saya memang banyak banget.

“Untuk mereka yang di pedalaman pasti berguna banget”.

Waktu mendengar kalimat itu dari Mama saya merasa sangat beruntung. Bahagia.

Jangankan dibandingkan dengan teman-teman di wilayah yang sulit dijangkau pendidikan—tempat di mana buku-buku sulit didistribusikan, saya bahkan merasa jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan anak-anak kota zaman sekarang yang kebanyakan tumbuh bersama gadget. Saya bersyukur waktu saya kecil dulu, teknologi belum secanggih sekarang hingga saya dapat tumbuh bersama buku. Bersama legenda macam Sangkuriang dan Roro Jonggrang; bersama dongeng seperti The Steadfast Tin Soldier, Thumbellina, dan The Ugling Duckling-nya Hans Christian Andersen—sampai sekarang buku tebal kumpulan dongeng beliau masih terpajang manis di lemari buku saya; dan tentu saja, saya senang pernah mendengar cerita sebelum tidur tentang Yunus, Musa, dan tokoh Alkitab lain dari Mama—Oh ya, saya masih ingat salah satu buku cerita favorit saya adalah seri petualangan Alice di negeri Alkitab.

Glad to know that I am addicted to books since I was a kid. Nggak seperti kebanyakan anak kecil zaman sekarang, atau contoh nyatanya, adik saya sendiri yang lebih sering main game di iPad atau nonton YouTube. Bukannya saya menentang kemajuan teknologi, it sure does incredibly useful. Tapi entah kenapa saya lebih senang melihat anak-anak main bareng dengan teman-temannya atau membaca dongeng daripada main gadget. Rasanya lebih positif dan membangun aja. Dan menurut saya, hal ini jadi PR juga ya buat orang tua zaman sekarang. Anyway, I am grateful grown old-fashioned. J

Monday, May 7, 2012

BINER


Aku tenggelam dalam dunia biner
Dalam sapa-sapa singkat penuh basa-basi
Dalam senyum dan simpati palsu
Dalam makian yang tak berurat malu

Aku tenggelam dalam dunia biner
Tempat topeng-topeng mewujud
Tempat aku, kamu, dan sandiwara kita
Tempat lakon-lakon drama berpentas

picturetakenfrom:weheartit.com