Tuesday, June 19, 2012

Broken


picturetakenfrom:pinterest.com

Have you ever been broken?

People break. We do hurt. Like a kid learns how to walk, we learn how to live. We got cuts. Scratches. Some hurt so much we can’t bear it. The others, we don’t even know they exist.

The wounds. They heal. Drought as the time passes. Some leave us with a scar. A mark to remind us our fights. Something that tells we are stronger.

The sores we have back then, make us who we are. The hurts we stand now, make our future.

We will always be shattered. We broke. But we are mended. 

Saturday, June 16, 2012

YEAAAY!


Finally, it’s over!! The exams things.. And I’m so ready for HOLIDAAAAY!!! Seneng banget akhirnya lepas dari segala ujian dan terutama SOCA yang nguras waktu hampir setengah tahun buat persiapannya, dan dua minggu sebelum hari-H bener-bener jadi super hectic. Dan seperti tahun lalu, saya dapat kasus yang saya nggak pelajariL But, the main point is: I am FREE!! Ha!

This is a time to celebrate. Liburan kali ini berarti ke Eropa selama setengah bulan, dan habis itu ada Pekan Remaja di gereja. It’s gonna be fun! Tapi nggak cuma itu aja, saya suka liburan karena liburan berarti juga bertemu teman lama, catch up  sama sahabat, and be high school again!

I am sooooo happy right now!

Cheers for all of us
Stay happy!

Wednesday, June 13, 2012

Curious

picturetakenfrom:pinterest.com


Some says curiosity will trouble you
I agree with the other who says the opposite
It keeps you alive
The interest makes you move forward
To look for more
To dig deeper
To open a new door
To taste different flavor
It feed your soul, your heart, and your mind
You’ll keep going until you find the answer
At some point you’ll have no regret for doing it
And all you feel is satisfied
For me, curiosity saves me

Pagi Kuning Keemasan


picturetakenfrom:pinterest.com
Aku terbangun oleh sinar keemasan yang menyeruak menembus kelopak mataku. Angin sepoi yang terasa asin menyapa saat aku berusaha membuka mata. Suara air di kejauhan membawa kesadaranku kembali pada tempat di mana aku berada.

“Pagi,” sebuah suara serak menyapaku, bersamaan dengan aroma kopi yang mengepul dari cangkir yang disuguhkannya padaku.

No,” aku mendorongnya pelan.

Ia tersenyum maklum,”Aku lupa. Kamu bukan penggemar kopi”.

Aku tidak mengacuhkannya, melainkan melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka. Pakaianku masih sama seperti semalam—serba hitam. Mataku sembab, mengingatkanku pada alasan mengapa aku tertidur begitu lelap.

“Aku keluar sebentar,” pintaku seraya menuju pintu utama villa.

Di mana ini? Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam sambil mencelupkan kakiku ke air laut yang jernih. Siluet jam gadang di Bukit Tinggi menghajar memoriku, rasa hangat dari tubuh seorang anak kecil tiba-tiba menjalari tanganku. Aku mengatupkan rahang keras-keras. Ini bukan saatnya untuk menjadi lemah.

Mataku menangkap mercusuar yang berdiri gagah di kejauhan, tertimpa oleh cahaya matahari pagi yang nampak cantik.

“Mercusuar itu tidak ada gunanya di siang seperti ini,” rupanya Yanos menyusulku,”Selamat datang di Pulau Lengkuas, ngomong-ngomong”.

Pulau Lengkuas rupanya kali ini. Tempat orang ini membawaku bersembunyi, sebelum akhirnya melakukan hal yang sama kembali berulang-ulang.

“Tempat yang terlalu indah untuk pembunuh bayaran seperti aku, eh?” suaraku terdengar tenang.

“Hadiah yang pantas untuk kerja kerasmu,” ia membalasku dengan ketenangan yang sama, seolah pembicaraan kami sekasual membicarakan ramalan cuaca hari ini.

“Aku ingin pulang,” aku tahu tidak ada gunanya mengatakan ini.

“Kamu tahu, hari masih pagi, bahkan belum mencapai tengah hari. Masih butuh waktu hingga mercusuar itu bisa menuntunmu pulang,” Kali ini Yanos mengatakannya dengan penuh penekanan, mengingatkanku pada harga yang harus ku bayar apabila mencoba lari.

“Nikmati, sisa pagimu yang tinggal sedikit, kita berangkat sebentar lagi,” Laki-laki dengan luka bakar di wajahnya itu berbalik. Membiarkanku merekam momen damai yang sangat langka bagiku.

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


Kamu percaya pada peri?

Waktu kecil aku begitu tergila-gila pada cerita Peter Pan. Ralat, sampai sekarang pun masih. Aku selalu membayangkan seperti apa rasanya mandi serbuk peri, terbang melintasi London, menyentuh awan, dan yang paling ingin aku rasakan: mendarat di atas jarum jam Big Ben; menari di sana tepat saat loncengnya berdentang. Pasti menakjubkan.

“Oi,” sebuah kaleng minuman dingin menempel di pipiku, mengembalikanku ke Bukit Tinggi yang sedang terik-teriknya.

“Thanks,” aku menerima pemberiannya.

“Bagaimana?” suara dalam dan serius lawan bicaraku membuatku menegang, serentak kewaspadaan yang tadi sempat luruh kembali memagariku.

“Kenapa harus siang hari seperti ini?” Aku menatap jam gadang di hadapanku, keluarga atau pasangan yang tengah menikmati ruang terbuka di sekitarnya; para pedagang yang sedang mencari nafkah; anak-anak yang berlarian sambil meniup gelembung sabun. Lalu aku kembali mengingat tujuan kami. Ototku langsung lemas. Tegakah aku melakukannya kali ini? Di tempat semenyenangkan ini? Dan terutama di tempat yang terlalu mirip dengan jam terbesar di Inggris—kenangan masa kecil yang selalu menjadi alasanku untuk pulang menemuinya.

“Kita tahu target hanya datang di jam seperti ini,” Yanos, rekanku menjawab, lalu memberiku kode untuk segera bergerak.

Aku mengikutinya masuk ke dalam jam yang sejak tadi kuamati. Kami menaiki anak-anak tangga secepat mungkin namun dengan ketenangan yang nyaris tak dapat dipercaya. Aku menikmati bagian dalam jam itu, bagaimanapun jam ini terlalu mirip dengan Big Ben—mereka bilang mesin jam ini sama dengan yang di London, membuatku tidak dapat mencegah bayangan liar yang berebut tempat di otakku. Membuatku kembali mengingat alasan utama aku rela melakukan semua ini.

Yanos kembali memberiku kode saat kami tiba di bagian utama menara, tempat kami bisa melihat jarum jam bergerak menunjuk angka. Tapi kami tidak sendiri. Di sana, kurang dari dua meter jauhnya, berdiri seorang anak laki-laki yang harus menanggung penderitaan akibat keegoisanku.

Yanos memberi isyarat lagi, kali ini aku tidak bisa membantah. Ia memaksaku bergerak.

Aku menarik napas dalam, dan dengan kecepatan tinggi aku menghampirinya. Ia tidak menyadari sampai aku berhasil membekap mulutnya. “Maaf,” bisikku, sambil menusukkan jarum suntik ke pembuluh darah lehernya. Tubuh anak itu melemah, sampai akhirnya aku harus menopang seluruh beratnya. “Maaf,” Aku memeluk anak itu, dan untuk pertama kalinya selama aku melakukan ini, air mata menegurku.

picturetakenfrom:gogel-sonay.blogspot.com

Friday, June 8, 2012

picturetakenfrom:pinterest.com

"Kita mencuil kenangan
Sama-sama mengais dari apa yang tersisa
Berusaha mengecap manis yang hampir habis
Dan semua harapan bodoh itu
Kita tahu tidak akan terwujud"

Wednesday, June 6, 2012

Big Picture

picturetakenfrom:weheartit.com


We tend to loose the big picture.

Complaining about the piled-up tasks, never-end exams. Feeling dumb for having a bad score. Yet we forget we can go to school.

Whining about how hard our life, about we crack under the pressure, about we can’t stand still anymore. Yet we forget we have a life.

Never satisfied with our weights, our body curves, our heights. Disappointed whenever we see our reflections. Yet we forget we still breath.

Grumbling about how annoying our parents are, frustrated with our siblings, wish we born into a better family. Yet we forget we already have one.


Some of what we have now are privileges to others.

People miss the big pictures. We fail to see the biggest part.
That’s all.

Tuesday, June 5, 2012

HOME


picturetakenfrom:pinterest.com

“Indah kan?” kamu menoleh seraya tersenyum puas.

Aku hanya mengangguk sambil menikmati langit yang bersalut awan putih. Kulitku merasakan lembabnya rerumputan tempat kita berbaring.

“Kapan terakhir kali kita seperti ini?” aku menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi bergelut dalam otak.

Kamu berpikir sejenak, aku berani bertaruh kamu juga lupa. Saking lamanya. Terlalu lama.

“Sudah menemukan apa yang kamu cari, Tuan Petualang?” aku tidak dapat menyembunyikan nada sinis pada dua kata terakhirku sekali pun ingin.

“Kamu marah?” kamu terdengar khawatir.

Aku menarik napas dalam-dalam. Hari secerah ini bukankah akan sayang sekali jika harus dihabiskan dengan marah-marah?

“Hei,” kamu menyandarkan kepala ke pundakku.

Aroma shampoomu yang menguar membuatku terbuai. Aku rindu. “Kenapa aku harus bertahan menunggumu?”

“Cinta?” kamu tertawa kecil.

“Memangnya dengan cinta semua bisa diatasi? Apa cinta bisa membuatmu sabar? Membuatmu mengerti? Apa cinta sehebat itu?”

“Lalu apa yang membuatmu bertahan sampai saat ini?” kamu balik bertanya.

“Rasa takut? Aku takut jika suatu hari aku bangun dan menyadari bahwa kamu tidak akan kembali. Aku takut kehilangan, maka aku terus menunggu untuk membuktikan aku salah”.

“Jangan takut kalau begitu”.

“Kenapa? Apa yang membuatku yakin kamu akan terus ada?” desakku. Aku jengah dengan segala basa-basi yang terus berulang ini,”Kamu akan pergi lagi, berkelana entah kemana, dan aku akan sendiri lagi”.

“Ini pekerjaanku”.

“Aku tahu. Aku berusaha mengerti”.

“Kamu tahu? Ketika aku sampai di sebuah tempat dan menemui tempat yang luar biasa indah seperti ini, aku selalu berharap kamu ada bersamaku. Aku selalu berharap agar kita dapat menyaksikan hal-hal ajaib tersebut bersama”.

Aku memutar bola mata. “Apa ini salah satu cara untuk merayu ku? Kalau iya, sama sekali tidak berhasil”.

Kamu tertawa lagi. Kesal rasanya melihat mood mu yang begitu ringan hari ini, sementara aku membawa berbagai luapan emosi yang tertahan selama ini.

“Bagaimana kamu bisa begitu santai? Apa aku tidak lagi penting? Apa kita tidak ada artinya lagi?” Aku nyaris meledak.

“Justru sebaliknya”.

Keningku berkerut.

“Jangan khawatir. Kita akan baik-baik saja. Bukankah aku bilang jangan takut?”

“Kenapa?”

Kamu bangkit dan menutupi langit di hadapanku dengan wajahmu. Sorotmu tegas, seperti saat pertama kali kita berkenalan. Lalu aku mendengar sebuah kalimat itu dari mulutmu,“Karena kamu adalah tempatku untuk pulang. Selalu. Sejauh apa pun aku pergi”.