Sunday, October 18, 2015

Coming Soon: Memoria

Jadi Rega menghilang begitu saja? Tidak ada surat? Tidak ada barang yang ia tinggalkan? Tidak ada tanda-tanda? Bahkan tidak ada memori tentang Rega dalam ingatan orang-orang di sekelilingmu? Tak ada foto sama sekali?” tanya dokter Wina.
“Ya,” aku mengonfirmasi.
“Apa teorimu tentang hal ini?” Ia menyeruput teh hangatnya dengan congkak. Dia tahu, dia sudah menang.
Aku tak menjawab. Apa yang bisa kukatakan?
“Apakah ini masuk akal?”
Aku menggelengkan kepala, menggigit bagian bawah bibirku. Aku enggan menatap wajahnya yang sombong itu.
“Maira.” Dokter Wina mengambil napas dalam-dalam. “Langkah awal dari penyembuhan adalah penerimaan. Kamu harus mengakui dan menerima bahwa kamu...” dia mencari kata-kata. Wajahnya tampak sangat mengibaku, membuatku mual. “Kamu butuh pertolongan.”
Emosiku menggelegak. Harus berapa kali aku meyakinkan orang-orang di sekitarku bahwa Rega benar-benar nyata?! Harus dengan cara apa lagi aku membuat mereka percaya?!
Dokter Wina mendekatkan tangannya pada pundakku—seperti yang dulu sering dilakukan Rega saat menenangkanku. Aku tak sudi. Kutampar tangan itu kuat-kuat sebelum sempat mendarat pada tubuhku.
Aku bangkit dari sofa, lalu keluar dengan membanting pintu. Ini adalah terakhir kalinya aku membiarkan diriku terkurung dalam ruangan itu. Tak peduli kata Ibu, tak peduli kata Nadin. Persetan dengan semua ini.
***


A glimpse of my upcoming book, “MEMORIA”. Nantikan di toko buku – toko buku terdekat ya! :)




Sunday, October 4, 2015

tiga detik.

Love is a big story consists of thousands tiny precious moments.—Arlo

“Jatuh cinta lo?” Devan menoleh dan mendapati Arlo melirik ponselnya yang sejak tadi ia pegang.

Arlo tersenyum penuh arti saat bergabung dengan Devan di ruang tamu kost. “Siapa namanya?” Arlo melirik ponsel Devan lagi yang masih menampilkan gambar yang sama—potret seorang gadis berambut hitam sebahu yang diambil dari samping.

“Leona,” Devan menjawab, nama yang beberapa hari belakangan ini selalu memenuhi kepalanya hingga ia merasa butuh melakukan sesuatu agar tidak gila.

“Cantik, Bro,” Komentar Arlo sambil memindahkan saluran televisi yang sejak tadi tidak ditonton oleh adik kelasnya yang lebih muda tiga tahun darinya itu. “Udah seberapa deket lo?”

Devan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. “Ng—”

Man.” Arlo menatap Devan lurus-lurus,”Jangan bilang kalian sama sekali belom deket?”

Devan hanya bisa nyengir sebagai jawaban. “Dia bahkan belom tahu nama gue, Bang”.

Oh, come on, make a move dong, Denovan Wiridja,” Arlo meninju bahu Devan ringan. “Mau sampai kapan elo bengong doang ngeliatin tuh foto? Puas lo pacaran sama iPhone?”

“Iya, tapi, Bang—” Devan lagi-lagi menggaruk tengkuknya, dalam hati menertawai dirinya yang begitu pengecut. Bagaimana mau kenalan, ia bahkan tidak berani menyapa Leona saat mereka berpapasan di koridor sekolah.

First move is always the hardest, Bro,” Arlo seakan mengetahui pikiran Devan. “Baby step is okay”.

“Elo kenal Lila, pacar gue, kan?” Lanjut Arlo.

Devan mengangguk, ia pernah mengobrol beberapa kali dengan gadis itu saat Arlo membawanya ke sini.

“Tiga detik,” Arlo mengacungkan ketiga jarinya di udara. “Itu adalah lamanya waktu Lila melirik gue pertama kali. Cuma tiga detik, Bro. Tapi itu adalah tiga detik paling gila yang bisa menjungkir balikkan hati gue. Jantung gue rasanya mau copot. Gue nggak pernah tau kalau jantung gue bisa berdetak secepat dan sekencang itu cuma gara-gara satu cewek. Lila dengan rambut panjangnya yang selalu dikuncir kuda, matanya yang besar, bibirnya yang sedang tersenyum. Bibirnya. Damn, it was the best three seconds in my entire life”. Arlo tersenyum sendiri mengenang hari itu. “Cuma dilirik doang, Bro. Cuma tiga detik. Tapi kalau itu adalah cewek yang lo suka, man, senengnya ngalahin rasa seneng kalau klub bola favorit lo menang piala tujuh tahun berturut-turut”.

Devan tertawa mendengar cerita Arlo.


“Sejak hari itu gue jadi makin semangat ngejar Lila. Gue selalu berusaha menarik perhatian Lila, entah itu ngobrol kencang-kencang sama temen gue, main gitar di kelas, atau bikin keributan kecil. Semua karena gue ingin merasakan tiga detik – tiga detik lainnya diperhatikan Lila. Lalu perlahan tiga detik itu jadi tiga puluh detik, tiga puluh detik jadi satu menit, satu menit jadi satu jam, sampai akhirnya kami akrab dan gue punya keberanian buat nembak Lila. It’s been three years, but these three years started in three seconds.” Arlo tersenyum lalu menepuk bahu Devan. “Jadi, Bro, ciptain tiga detik lo sendiri, dan lihat sendiri gimana tiga detik tergila dalam hidup lo bisa bikin lo ngelakuin hal-hal gila lainnya untuk ngedapetin Leona”.

picturetakenfrom:pinterest.com


Saturday, October 3, 2015

an ode for you.

Aku menatap jari-jariku yang menari lincah di atas deretan senar vertikal. Aku tidak berkonsentrasi pada laguku—nada apa yang harus kumainkan setelah nada sebelumnya, aku tidak berkonsentrasi pada permainan harpaku. Memainkan lagu ini sudah menjadi otomatis sejak aku melatihnya gila-gilaan. Aku ingin permainanku sempurna di atas panggung ini, saat ini, momen yang paling kunanti-nantikan seumur hidupku. Momen di mana panggung ini adalah milikku sendiri. Musik ini adalah jiwaku. I want it to be perfect. But, the thing is, it can’t be perfect without your presence.

Mataku mulai terasa panas. Bukannya berkonsentrasi pada permainanku, aku malah mati-matian berkonsentrasi agar air mataku tidak mengalir. Tepat satu minggu lalu, di panggung ini, saat aku sedang melatih laguku, tepat ketika laguku berakhir, kiamatku dimulai.

“Si…” Raka menghampiriku, suaranya lebih rendah dari biasanya. Aku dapat melihat matanya memerah. “Oma—”

Aku tidak ingat jelas apa yang Raka ucapkan saat itu, detiknya berikutnya yang aku ingat adalah saat aku menghambur masuk melalui pintu IGD seperti orang kesetanan.

No, no, no, no, no. Please don’t let her die. God, please don’t let her die. Seperti mantra, kalimat itu terus kuulang sepanjang perjalanan sementara Raka menyetir dengan kecepatan penuh di sebelahku.

God, please.

Aku menyibak tirai dengan keras. Di sana ia terbaring. Begitu tenang, begitu diam, sementara isak tangis keluarga yang lain memenuhi gendang telingaku. Tanpa memedulikan beberapa perawat yang tengah membereskan peralatan resusitasi, aku menyerbu masuk.  Aku memeluk tubuhnya sambil merasakan hangat yang perlahan mulai menghilang. “Oma…”

Raka mengajakku duduk di sebuah bangku di rumah sakit, sementara keluarga yang lain bergantian melihat Oma. “Oma janji mau datang ke konser tunggal aku,” Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulutku setelah aku lelah menangis meraung-raung. Satu janji yang sejak tadi terus menerus memenuhi otakku, satu-satunya janji yang tidak akan pernah bisa ia tepati.

Raka hanya diam di sebelahku. Aku tahu ia juga kehilangan. Raka telah mengenal Oma jauh sebelum kami berpacaran—saat status kami masih sepasang sahabat. Oma selalu menyambut hangat Raka jika aku mengajaknya ke rumah, bahkan Raka bilang Oma adalah orang yang mendorongnya untuk menembakku.

She is the closest person to a mother that I have, Ka,” aku kembali terisak. Raka menaruh tangannya di kepalaku dan membelaiku lembut. Sejak kedua orangtuaku bercerai, Oma menggantikan peran ibu dalam hidupku. Ia yang mengantarku di hari pertamaku masuk sekolah. Ia yang membujukku untuk makan saat aku sakit. Ia yang berlari-lari dengan payung menjemputku saat hari hujan dan aku lupa membawa payung. Ia yang dengan sabar mebacakan cerita untukku hingga aku terlelap. Ia yang pertama kali aku ceritakan saat aku pertama kali jatuh cinta, ia juga yang memelukku saat aku menangis berhari-hari karena patah hati. Dan Oma juga satu-satunya orang selain Raka yang selalu mendukungku bermain harpa. Ia yang membelaku di depan Papa saat Papa memaksaku mengambil kedokteran sementara aku memilih sekolah musik. Ia juga yang membuatku tidak menyerah dan terus bermain harpa walau akhirnya aku harus mengalah pada Papa.

Air mataku akhirnya jatuh. Menimbulkan kilatan bening pada senar yang kupetik. Aku memejamkan mata. Harusnya Oma ada di sini, berada di antara ratusan pasang mata yang menatapku bermain saat ini. Mendengarku bermain. Aku bahkan belum bilang padanya bahwa aku akan bermain di konser tunggalku sendiri, aku ingin hari ini menjadi kejutan untuknya. Ia pasti akan sangat bangga padaku.

I can picture her sitting over there in the crowd, smiling at me, whispering, ‘Well done, Sisi’.

Instead,
Here I am, playing for her up above, whispering in my heart,

’Well done, Oma. You did great. Thank you for being a great mother for me’.

picturetakenfrom:pinterest.com