Thursday, July 10, 2014

handle with care


Heart, the strongest of human’s parts yet the weakest of them. Throw it, punch it, hurt it, wound it, and yet you’ll find it stand still. But even the strongest heart, breaks. Even the bravest heart, looses it’s confidence. Even the toughest heart, shed it’s tears in the middle of the night. Cause there is a limit for everything. A border that can’t be crossed. But a glimpse of love will keep it safe. Hold it from a free fall. Keep it sane.

Keep it sane.

Keep it.

Sane.

Tuesday, July 1, 2014

cantik.


“Cantik… Cantik… Can-tik”.

Naia tidak menoleh sampai buku yang sedang dibacanya diambil paksa oleh sesorang.

“Hei, Cantik,” seorang anak laki-laki tersenyum lebar di hadapannya. Darren? Naia berusaha mengingat-ingat. Baru seminggu ia berada di sekolah baru, ia belum hafal betul nama teman-teman sekelasnya.

“Maaf, lo salah orang,” Naia kembali merebut buku bacaannya dari tangan Darren. “Nama gue bukan Cantik. Dan elo nggak boleh berisik di perpustakaan”.

“Nalissya Adriana. Naia, kan?” Tutur Darren setengah berbisik, namun nadanya tetap penuh percaya diri. “Elo cantik”.

Naia menurunkan buku yang sejak tadi ia angkat hingga menutupi wajahnya. Kalau saja ia seperti gadis kebanyakan, ia pasti sudah melengos pergi mendengar gombalan macam ini. “Elo aneh,” kening Naia berkerut.

“Nggak pernah ada yang bilang lo cantik?” Darren memiringkan kepalanya. Senyum boyishnya yang jenaka sedikit membuat Naia salah tingkah.

“Cuma orang aneh yang bilang kalau cewek yang punya luka bakar di muka itu cantik,” Emosi Naia mendadak tersentil karena Darren membuatnya mengatakan hal yang paling dibencinya. Darren mengingatkannya pada luka bakar yang memanjang di sepanjang pipi kirinya. Luka karena kecelakaan dua tahun lalu, luka yang membuat sebagian besar hidupnya jungkir balik.

“Elo cantik,” sahut Darren masih tidak mau kalah.


*


“Hei, cantik”.

“Panggil gue Naia. Gue nggak cantik,” Naia memutar bola matanya saat seseorang duduk di sebelahnya. Darren.

Hari itu jam istirahat kedua, dan ia memilih duduk di lantai teratas sekolahnya, menikmati semilir angin yang berhembus.

“Tumben nggak ke perpus hari ini,” Darren mengacuhkan ucapan Naia barusan.

“Gue males ketemu orang yang tiap hari nyusulin gue ke perpus dan manggil gue cantik”.

“Elo emang cantik”.

Darren, please—“

“Gue nyanyiin lagu ya,” potong Darren lalu mulai memetik gitar yang sejak tadi dibawanya.

“Berhenti.” Ucap Naia tajam,”Gue benci orang yang suka main gitar”.

Darren menghentikan permainannya. “Oh ya? Kenapa?”

“Benci aja,” jawab Naia dingin.

“Ah,” Darren mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum lebar,”Gue tahu! Mantan lo suka main gitar, ya?”

Naia tidak menjawab, namun tangannya refleks meraba bekas luka diwajahnya.

“Dan kalian putus gara-gara itu?” Darren yang menyadari gestur Naia membungkukan tubuhnya, berusaha mencari kedua mata gadis itu.

“Boleh pegang?” tanya Darren.

“Apa?” Naia mengangkat wajahnya.

“Gue mau coba sentuh,” Darren meletakkan tangannya kira-kira lima senti dari pipi kiri Naia. “Boleh?”

Untuk sejenak Naia ragu, namun akhirnya ia mengangguk.

“Elo nggak malu temenan sama gue?” Naia memejamkan mata, merasakan hanganya telapak tangan Darren di wajahnya. Ibu jari laki-laki itu mengusap lembut bekas lukanya. Aneh, bukannya merasa risih, Naia justru ingin lebih lama seperti ini.

That’s cheap,” Darren tidak menjawab pertanyaan Naia. “Mutusin elo hanya karena hal sepele kayak gini. Lo berhak dapet laki-laki yang lebih baik”.

Well, luka bakar di wajah seorang anak perempuan bukan hal yang sepele, Darren,” Naia membuka matanya, lalu tersenyum pahit. “I hate myself for years. Bahkan sampai sekarang.”

“Kalau gitu, berhenti membenci diri lo dari sekarang,” Darren menatap Naia sungguh-sungguh. “Everybody have a scar anyway, punya lo cuma kelihatan lebih jelas aja. Dan, ehm—“ Darren berdeham sambil menggaruk tengkuknya,”Your scar makes you look sexy—and tough, I mean”.

“Darren!” Naia mau tak mau tergelak melihat ekspresi jenaka yang bermain di wajah lawan bicaranya. “Elo gombal banget sih!”

“Gue nggak gombal,” Darren tersenyum tulus. “Seriously, you look beautiful with your mark, Adriana”.

Naia menggigit bagian bawah bibirnya. Ia tidak tahu harus merespon apa. Wajahnya memanas dan ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke tempat lain selain wajah Darren.

“Gue mainin satu lagu ya,” Darren berdeham, berusaha memecah kecanggungan yang tercipta.

“Udah gue bilang, gue benci cowok yang main gitar”.

“Gue akan bikin lo suka lagi kalau gitu,” sahut Darren tidak mau kalah.

And you will fall in love again, Adriana.
Yes, you will.


picturetakenfrom:pinterest.com