Friday, February 27, 2015

kapan?

Pagi itu adalah pagi yang cukup sibuk di kamar operasi. Beberapa operasi berjalan bersamaan, para dokter dan perawat hilir mudik, semua sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Saya sedang berada di ruang pemulihan saat seorang nenek berusia tujuh puluh lima tahun dibawa ke ruang pulih. Ia baru saja menyelesaikan operasi tulang lututnya. Untuk wanita seusia dirinya yang baru saja melewati operasi besar, ia terlihat sangat segar. Nenek itu menyapa dengan ceria perawat-perawat yang membantunya memakai baju.

“Nenek semangat banget,” begitu salah seorang perawat mengomentarinya.

“Iya dong, kan ada Tuhan Yesus, jadi harus semangat,” begitu Nenek itu menjawab sambil tersenyum.

Saya sedang berada di sisi lain ruangan saat satu kalimat sederhana itu terlontar.

Begitu sederhana.
Namun membuat saya bertanya dalam hati.


Kapan terakhir kali kamu menjadikan Yesus sumber semangatmu?


picturetakenfrom:pinterest.com

Saturday, February 14, 2015

kencan pertama

Aku terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kamarku. Rupanya aku lupa menutup tirai semalam. Masih pukul tujuh pagi, aku melirik ponsel, lalu menatap langit-langit kamarku.

Masih terlalu pagi untuk bangun di hari Sabtu, dan… hari kasih sayang.

Valentine.

Aku menghembuskan napas berat. Seharusnya hari ini jadi hari yang menyenangkan dan tentu saja romantis.

Seharusnya.
Jika aku masih bersamanya.

Hatiku terasa perih. Satu bulan sejak kami memutuskan untuk berhenti, namun rasa sakit itu masih tetap ada. Kenangan akan momen-momen yang pernah kami lewati bersama masih kerap hadir dalam mimpi-mimpiku. Suaranya masih sering menghantuiku. Aku bahkan masih dapat menghirup aromanya pada waktu-waktu tertentu.

Semua udah berakhir, Liandra. Aku mengingatkan diriku sendiri sebelum air mata mulai memenuhi sudut mataku.

Sebuah ketukan di pintu kamar mengejutkanku.

“Pagi, Putri cantik!” Sebuah suara yang dalam dan berat menyapaku riang, wajahnya menyembul dari balik pintu. Aku tak dapat menahan senyum melihatnya. Ia selalu mampu mengusir awan-awan kelabu yang berarak di atasku. “Ayo, siap-siap, jangan tidur terus. Hari ini kita kencan!”

“Kencan?” Aku bangkit dari posisi tidurku.

“Iya, kencan. Hari ini hari valentine, kan? Atau kamu sudah punya teman kencan lain?” Wajahnya berubah muram saat mengucapkan pertanyaan terakhir.

Aku menggeleng cepat.

“Oke, kalau begitu, lima belas menit lagi kita berangkat,” Ia kemudian menutup pintu kamarku.

Lima belas menit?! Aku buru-buru membuka lemari, mencari pakaian paling cantik yang dapat kukenakan di hari secerah ini. Pilihanku jatuh pada terusan selutut bermotif bunga-bunga yang manis.

*

Tiga puluh menit kemudian kami sudah duduk di sebuah restoran sambil menikmati sarapan kami. Aku suka restoran ini. Hampir seluruh sisi restoran ini terbuat dari kaca, membuat sinar matahari pagi menjadi satu-satunya sumber cahaya di sini. Bagian interiornya yang didominasi oleh kayu membuat tempat ini terkesan nyaman.

“Kamu cantik,” Pujinya.

Aku tersenyum lebar.

“Dira pasti menyesal udah mutusin kamu”.

Aku tertawa.

“Kamu kapok jatuh cinta?” Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari mulutnya. Topik seperti ini tidak pernah keluar dalam pembicaraan kami.

Aku berpikir sejenak. Aku tidak tahu. “Mungkin bukan kapok, tapi belum siap untuk memulai yang baru”.

Ia tersenyum lembut. Senyum yang selalu mampu menenangkanku. Bersamanya aku selalu merasa aman, bersamanya aku selalu merasa dapat menceritakan apa pun. Ia mengangguk paham. “Jangan pernah takut untuk jatuh cinta, Liandra. Tapi ingat, saat kamu jatuh cinta, kamu menjadi rapuh, dan saat itu, kamu harus siap untuk terluka. Mencintai seseorang itu menyenangkan, tapi kamu juga harus siap untuk hal-hal tidak menyenangkan yang menyertainya, kamu harus siap untuk berkorban, bahkan kamu harus siap untuk merasa sakit”.

Aku mengangguk. “Aku cuma nggak nyangka rasanya sesakit ini”.

Sosok di hadapanku tertawa renyah. “Time heals, Liandra. Suatu hari nanti kamu akan siap untuk memulai kisah yang baru. Dan sementara itu, sampai kamu siap, ada Ayah di sini”.

Aku tersenyum menatapnya. Betapa beruntungnya aku memilikinya, orang yang selalu mendukungku, membiarkanku mencoba, dan menangkapku saat aku jatuh.

“Terima kasih, Ayah”.

Aku tidak akan melupakan hari ini.

Kencan pertamaku dengan Ayah. 

picturetakenfrom:pinterest.com

Monday, February 9, 2015

prettier.

Every little girl loves her long hair. It makes her feel like a princess. I remember when I was little; my mother took me to cut my hair, and I came home crying because the stylist cut my hair a little too short. Several days ago, I took my little sister to cut her hair. She had this thick and very long hair she loves very much, so she only want to cut it a little to make it neat. Alas, the hair stylist made it too short for her. It is not that short actually, any person will call it long hair, but my sister was used to with her super long hair so she felt that her hair is too short now. She almost cried. She told me that she wouldn’t cut her hair for a very long time. It remained me to the little me back then.

She was sad and disappointed, but hours later, when we got back home, she started to look at the mirror frequently. She looked happy when she saw her reflection with her new hairstyle. Then, she began to ask me to do a selfie with her. I smiled. At least, she began to think that she was prettier.

Doesn’t this kind of thing resemble us as a Christian? We live, and develop some habits; some of it may lead us to sin. Then when God ask us to trim it, we get insecure. We feel something is missing. We aren’t used to live without our bad habit or our sin. We used to hide behind it. But as the time goes by, we slowly realize that living without those sins are much… lighter. We begin to love it. It makes us feels prettier.


The bad habits or sins may come back. Trap us again and again. But there is always time for God to cut it. Making us feel uncomfortable through the whole process. We may cry, get mad, disappointed, or even… give up. But hey, there is no gain without pain. Just like every woman willing to suffer a little to make her more beautiful, the same thing goes for us, the Christian. It would hurt a little bit, but you’ll look prettier. Pretty soon.

picturetakenfrom:pinterest.com

Sunday, February 8, 2015

sugar coated

“Wih, calon mertua lo masuk majalah nih, Za!” Ardo menepuk bahu Dirza dari belakang, membuat Ardel yang sejak tadi makan dengan tenangnya di sebelah Dirza ikutang menoleh. Suara Ardo sanggup mengalahkan riuhnya suasana kantin siang itu.

Ardel hampir saja tersedak nasi goreng yang tengah dinikmatinya, buru-buru ia meneguk es teh manisnya, lalu merebut majalah yang baru saja hendak diambil oleh Dirza.

“Kamu kenapa sih?” Dirza menatap Ardel heran. Ardel tidak peduli. “Bukannya ayah kamu udah sering masuk media ya?”

“Iya, tapi—” Ardel membaca artikel yang tertulis di majalah itu sekilas, lalu melihat foto keluarganya yang terpampang manis di sana. Ia menghela napas lega.

“Tapi?” Desak Dirza. Akhir-akhir ini reaksi pacarnya itu sering terlihat aneh.

Ardel menggeleng sambil tersenyum kecut, lalu mengembalikan majalah tersebut pada Dirza. Ia membaca isinya.

Ardel melirik foto keluarganya yang tercetak di halaman majalah. Dirinya bersama Ayah dan Ibu, mereka tersenyum menatap kamera. Dengan posisi ayahnya yang memegang jabatan penting di kursi pemerintahan, ibunya yang memiliki agenda sosialita segudang, dan Ardel yang bersekolah di salah satu sekolah unggulan, maka tak heran jika mereka menjadi potret keluarga yang sempurna. Sungguh sebuah keluarga kecil yang bahagia. Setidaknya itu yang ada di pikiran orang-orang.

Pengen deh, punya keluarga kayak lo, Del,” Begitu teman-temannya selalu berkata. Kalimat yang mungkin sebentar lagi akan berganti menjadi,”Lo nggak malu ya punya keluarga kayak gitu?” Ardel menelan ludah. Tenggorokannya tercekat, selera makannya mendadak hilang.

“Kamu kenapa, sih?” Dirza kembali menatapnya dalam-dalam. “Belakangan ini kalau ada apa-apa soal bokap atau keluarga lo, lo jadi mendadak freak out”.

“Nggak apa-apa kok,” Ardel memaksakan tawanya. Dirza terlalu mengenalnya. Persahabatan ayahnya dan ayah Dirza membuat mereka saling mengenal bahkan sebelum mereka dapat mengingat. Dan hal itu pula yang membuat hidup keduanya sudah diplot sejak lahir. ‘Dirza-Ardel’, pasangan yang sanggup membuat semua mata melirik iri. Bagaimana tidak, coba bayangkan kehidupan macam apa yang akan dimiliki pasangan dari anak pejabat dan pemilik perusahaan consulting multi-nasional.

Kadang Ardel gerah dengan semua ini. Ia jengah dengan sorotan media di hidupnya. Hidup seperti ini membuat hari-harinya bermata dua. Ia punya kehidupan yang manis dan menarik, yang dipoles sedemikan rupa untuk menjadi konsumsi media; namun di sisi lain ia sadar hidupnya tidak sesempurna itu. Jauh dari sempurna bahkan. Dan ia merasa, kehidupannya di sisi itu—yang tersembunyi rapat dari lensa kamera, perlahan runtuh.

Ardel tidak dapat menebak sampai kapan reputasi ayahnya akan bertahan setelah sebulan lalu keluarganya tiba-tiba didatangi oleh petugas pemberatasan korupsi. Lalu sejak saat itu, terbongkarlah segala kebusukan ayahnya, dan seberapa besar uang yang telah dicuri ayahnya hingga ia dan ibunya dapat hidup semewah sekarang.

Tinggal menunggu waktu hingga akhirnya teman-teman Ardel termasuk Dirza mengetahui kebenaran memalukan ini. Tinggal menghitung hari sampai akhirnya teman-teman perempuannya sadar bahwa ia tidak lagi bisa keep up  dengan koleksi fashion terbaru dan ikutan mingle di tempat hip terbaru. Ia kini tinggal menunggu, sampai seluruh lapisan gula-gula yang selama ini menutupi hidupnya lepas satu per satu.

Ardel tahu ia harus menjadi berani, dan untuk itu ia akan memulainya hari ini. “Hei, Za”.

“Ya?”

“Kita udahan aja, ya,” Ardel kira ia akan menangis saat mengatakannya, namun di luar dugaan, ada lebih banyak rasa lega yang memenuhi hatinya ketimbang sedih.

“Maksud kamu?” Dirza menatapnya tak mengerti.

“Aku rasa kita tetap bersama karena sama-sama takut nggak menemukan yang lebih baik di luar sana. Aku dan kamu, we are just together since we don’t know when. People think that we are perfect being together, while deep down inside we know that the sparks has died; there isn’t even any sparks from the beginning. We are just… happened.

Dirza terdiam, namun Ardel tahu ia benar. Ia tahu Dirza juga sependapat dengannya.

“Jadi kita udahan?” Dirza menegaskan, tepat saat itu bel tanda istirahat berakhir berbunyi.


“Ya, kita udahan,” Ardel bangkit dari duduknya. Langkahnya terasa lebih ringan saat ia berjalan kembali ke kelas. Seakan selapis topeng yang menutupi wajahnya kini terangkat. Ia akan mengurainya pelan-pelan, membuka penutup manis kehidupannya lapis demi lapis, memperlihatkan wajah asli kehidupan Ardelia Winata pada orang-orang. Ia tidak peduli dengan tanggapan mereka. Ia hanya ingin hidupnya menjadi lebih jujur dan ringan.

picturetakenfrom:pinterest.com

Monday, February 2, 2015

let His name be lifted up

It’s amazing, when God wants you to do something, He’ll do anything, I mean anything.

Kejadiannya sekitar satu bulan yang lalu, ketika seorang teman mengajak saya untuk menulis tentang kekristenan di web miliknya. Dalam situasi normal mungkin saya akan segera mengiyakan tawaran tersebut. Menulis? Itu adalah hal yang akan saya lakukan tanpa berpikir dua kali. Namun, entah mengapa waktu itu saya menangguhkan tawaran itu. Entah mengapa waktu itu saya merasa ragu. Takut. Saya takut pemahaman saya tentang kekristenan tidak seberapa dibandingkan orang lain. Saya takut pengalaman saya dengan Tuhan tidak sebesar dan se’wah’ pengalaman orang lain. Dan karena itu saya takut tulisan saya akan terkesan dangkal.

Ketika saya akhirnya mengiyakan tawaran tersebut saya masih merasa ragu, sampai suatu malam, entah mengapa saya tiba-tiba ingin membuka akun twitter saya yang sudah lama sekali tidak saya buka. Dan saya menemukan sebuah tweet yang ditujukan pada saya, begini penggalan isinya:

@cthurmanita: Missing @priscilstevanni’s writing makes me re-reading all short stories in her blog…

Saya tidak mengenal Carla, tapi tweet-nya hari itu benar-benar membangkitkan semangat saya. Rasanya benar-benar melebihi apa pun saat mengetahui ada orang yang benar-benar menyukai dan menghargai tulisan saya. (Thank you Carla, from the deepest of my heart!) Malam itu saya menceritakan semua kekhawatiran saya pada seseorang, tentang tawaran menulis yang saya terima—dan sudah saya setujui meskipun ragu-ragu, tentang alasan dibalik keragu-raguan saya, tentang tweet yang baru saja saya terima. Dan orang tersebut bilang seperti ini,”Kalau menurut aku, sih, Cil, bukan seberapa bagus tulisan yang membuat tulisan itu menjadi berkat atau nggak, tapi seberapa siap hati orang yang membacanya”.

Lalu malam itu saya saat teduh dan berdoa. Dan, renungan malam itu membuat saya semakin luluh—I could feel He’s speaking to me. Judulnya ‘Storyteller’, intinya mengajak kita sebagai anak Tuhan untuk nggak diam aja saat sudah mengalami Tuhan dalam kehidupan kita, tapi juga membagikannya untuk orang lain. 

Malam itu saya nggak bisa bilang ‘nggak’ lagi. It’s my calling to write. Perkara apakah tulisan saya bisa menjadi berkat atau tidak, saya berserah—setelah berusaha menulis sebaik mungkin tentunya :)