Friday, December 23, 2016

don't run. bear it a little longer.

Beberapa waktu lalu, editor saya tiba-tiba menghubungi saya. Kami bertukar kabar, ia menceritakan proyek yang sedang digarapnya. Lalu, entah darimana ia memberitahu saya kabar kerjasama editing-nya dengan seorang komikus yang kebetulan saya kenal pula.

The editorial last time didn’t work out, btw,” Begitu ucapnya. “Mostly people just run away when they start the editing process”.

Tentu saja saya menyayangkannya, saya pikir karya komikus itu akan menjadi lebih baik jika digarap oleh editor yang memang sudah banyak makan asam garam.

You really should give yourself a pat on the back for working hard on Memoria and everything else,” ia melanjutkan.

Saya tersenyum tipis waktu itu. Diluar rasa kecewa saya, rasanya saya dapat memahami apa yang dirasakan komikus itu.

“Aku rasa editing memang proses paling tidak menyenangkan dalam menulis, ya,” balas saya.

Karya saya memang belum sebanyak penulis-penulis lain di luar sana. Namun, lewat karya yang masih sangat minim itu saya paham bahwa sesungguh proses terberat dalam menulis bukanlah mencari judul, atau mencari pembuka yang dapat memaku pembaca di tempat duduknya, bukan pula menciptakan plot twist dan ending yang mantap, melainkan sebuah proses bernama editing.

Editing sucks.

Karena pada tahap ini kamu bekerja dengan orang lain, tidak hanya egois menuruti keinginanmu sendiri. Karena pada tahap ini, semua kerja keras yang sudah kamu bangun selama berbulan-bulan—atau bahkan bertahun-tahun, dapat luruh seketika saat editormu bilang ‘ini kurang pas’, ‘masih jelek’, ‘it doesn’t quite right’, atau, ‘maybe we can change that’.  Sering rasanya ingin berteriak, ‘What?! Of course ‘no!’, BIG NO!’

Bayangkan saja, saat saya memberikan draft naskah ke penerbit, saya tentu sudah memastikan bahwa naskah itu adalah draft terbaik saya. Lalu tiba-tiba seseorang datang, mengkritik, memaparkan semua kesalahan saya, mengatakan bahwa rasanya banyak yang harus diberbaiki. Percayalah, pada tahap ini rasanya seluruh keyakinan dan kepercayaan dirimu akan rontok satu per satu. Dan diluar rasa kesal dan marah, kamu akan mempertanyakan dirimu kembali.

Tidak hanya dalam dunia menulis kok, saya rasa kita pun mengalami hal serupa dalam kehidupan sehari-hari. Coba bayangkan ketika kamu melakukan sesuatu yang sudah kamu anggap benar, lalu tiba-tiba datang seseorang mengatakan bahwa perbuatanmu salah dan harus diperbaiki. Apa yang kamu rasakan? Harga dirimu tentu seperti diobrak-abrik, bukan? Malu, kesal, marah, itu wajar. Tapi, percayalah, jika kamu tidak lari sekalipun harga dirimu terluka hebat; jika kamu mau mencoba mendengar, merendahkan hati sejenak, menganalisa kembali, memastikan bahwa kamu benar-benar salah dan memperbaikinya, kamu akan berasa beruntung pada akhirnya. Karena proses editing juga seperti itu.

Setelah ribuan kritik yang menghujam kepercayaan diri saya, ketika saya selesai menghasilkan sebuah karya, saya melihat sebuah karya yang jauh lebih indah—karya yang saya yakin tidak akan mampu saya buat sendiri tanpa bantuan editor. Dan pada akhirnya, saya bersyukur karena tidak lari seperti kebanyakan orang. Selain karena akhirnya karya saya dapat dinikmati banyak orang, ada pengalaman dan pengetahuan yang tidak akan terbeli dengan uang ketika saya memilih duduk, dikritik, dan memperbaiki pekerjaan saya.

It may be hard beyond measure, but don’t run, bare it a little longer, it will be worth in the end!

picturetakenfrom:picjumbo.com