Saturday, October 29, 2011

Late Posting

I know it's a little bit late to post this now.

I got some money from this short story. Not much, but there is such a happiness when you know there were people appreciating your work. So, here it is, a story that I post to pedemunegeri.com during independence day. This story was inspired by children at Kampus Diakonia Modern. Enjoy:)


#Pede17an cerpen-- Rumah Merdeka

Aku masih ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di lantai dingin itu. Saat senyum-senyum kecil menyambutku. Saat mata-mata ingin tahu menatapku dari kepala hingga kaki. Mereka begitu bersemangat, bergitu bersahabat, aku dapat merasakan aura sehangat matahari terpancar dari mereka.

Tapi, tidak. Bahkan jika mereka memelukku pun aku tidak akan luluh. Aku hanya ingin meringkuk di pojokan. Menunduk dalam-dalam. Melipat tubuhku sekecil mungkin hingga tak terlihat. Aku ingin meratap, ingin menangis, ingin mengutuki nasibku yang ditinggal Ibu tadi pagi.

Masih segar dalam ingatanku, suara ban yang berdecit keras, jeritan ibu, histeria orang-orang yang tengah melintas, gelas plastik yang terlempar, dan suara koin-koin yang berdenting menumbuk tanah. Yang kulihat selanjutnya adalah tubuh lunglai ibu yang bersimbah darah. Untuk sedetik yang terasa seperti setahun aku membencinya karena menjadikanku sebatang kara.
*
Sebuah coffee shop di Paris, Perancis.

Aku menghirup uap caramel latte di depanku sebelum menyesapnya dalam-dalam. Sore yang lembab di ibukota, aku dapat melihat orang dengan jas hujan atau payung berlalu lalang melalui jendela di sebelahku.

"Nina," laki-laki yang sejak tadi kutunggu akhirnya datang juga. Ia langsung mengambil tempat di hadapanku.

"Hai," aku tersenyum menyambutnya. Ia santai seperti biasa, dengan rambut yang sedikit berantakan dan senyum kekanakan di wajahnya.

"Udah lama?" tanyanya kasual dalam bahasa Indonesia. Sebagai sesama pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negeri orang, kami lebih suka berbincang dalam bahasa pertiwi. Lebih 'ngena' begitu menurut Juna.

Aku menggeleng. "Baru aja". Ia memanggil seorang pelayan lalu memesan espresso favoritnya.

"Akhirnya... Besok ya?" Ia kembali menatapku. Tatapan yang sama yang selalu memikatku sejak pertama kali bertemu. Sorot tajam yang menenangkan.

Aku mendesah sambil tersenyum tipis. "Ya. Tiga tahun terasa cepat sekali, terutama jika kamu melakukan hal yang disukai". Juna mengangguk setuju.
Tiga tahun... Tak pernah lagi kuinjakkan kaki di tanah air. Setiap hari kusangkal keinginanku untuk berpulang karena birokrasi akademi.

"Dan tempat pertama yang akan kamu kunjungi adalah tempat itu kan? Apa namanya? Rumah Merdeka?"

"Rumah Merdeka," aku mengangguk bersemangat. Rumah singgah yang mengubah hidupku. Tempat yang menerimaku dalam keadaan terburuk dalam hidupku. Selama delapan tahun di dalamnya, aku akhirnya menemukan diriku, passionku dalam dunia literatur. Dari sana aku mencecap pendidikan meski tidak formal, dari sana pula aku belajar bahasa Perancis yang kini menjadi nadiku. Aku beruntung sekali, tak pernah ku bayangkan sosokku yang kecil kumuh dulu, kini dapat duduk di sebuah kafe mewah jauh dari tanah kelahiranku. Kata Bunda Marni, pengasuhku di Rumah Damai, semua ini anugerah dan hasil kerja kerasku yang tak pernah berhenti belajar. Tapi bagiku, ini adalah hasil pengorbanan Ibu. Tanpa kejadian naas itu, aku tidak mungkin di sini sekarang, dengan gelar sarjana pada namaku. Jika Ibu masih ada, mungkin aku akan tetap mengamen di jalan, atau paling bagus, jadi penjual koran.

Sekalipun kini aku hidup mapan, jangan kira aku pernah bersyukur atas perginya Ibu. Kamu tidak akan dapat membayangkan sakit hatiku ditinggal Ibu. Setiap sebuah kelas selesai di Rumah Merdeka, aku selalu berharap dapat naik ke pangkuan Ibu dan menceritakan apa saja yang sudah kupelajari. Aku ingin dia tahu aku baik-baik saja, aku senang, cukup makan, dan kini aku cerdas. Aku kini tahu mengapa roda mobil dapat berputar, mengapa ada siang dan malam, mengapa langit dapat menangis, tapi Ibu tidak pernah ada untuk mendengarku. Aku ingin Ibu menyaksikan dan menemaniku bertumbuh, Aku ingin ia menasihatiku di hari pertama aku menstruasi, Aku ingin ia mengecupku di hari ulang tahunku yang ketujuh belas, aku ingin ia memelukku di hari aku mendapat beasiswa, aku ingin dia ada... di seluruh momen kehidupanku.

"Kamu akan mengunjungi makam ibu mu?" Juna tahu segalanya tentang ku. Tentang hidupku yang keras dulu di bawah himpitan kemiskinan, tentang Ibu yang memberikan nyawanya dan membebaskan ku dari semua belenggu itu.

"Ya. Ibu memang hanya peminta-minta, tapi dia telah memberikanku hidup yang luar biasa. Aku bisa sekolah tinggi, bertemu denganmu, dan mendapat pekerjaan yang layak. Aku berani bertaruh bahwa Ibu tidak pernah sedetik pun membayangkannya ketika membesarkanku".

Juna tersenyum lembut,"Kemerdekaan... Memang butuh pengorbanan ya?"

Aku menyetujuinya. "Aku yakin, masih banyak anak-anak sepertiku berkeliaran di jalanan Indonesia. Mereka yang memiliki potensi namun masih terjerat kemiskinan. Mereka yang hidup merdeka namun masih tidak berdaya. Aku harap, semua bisa berubah kelak".

"Bukankah untuk itu kamu pulang?" Juna mengingatkan,"Untuk meneruskan jejak Rumah Merdeka dengan caramu sendiri? Untuk memberi kebebasan memilih bagi anak-anak seperti mu? Pergilah, aku akan menyusulmu secepatnya".

Smile For Little Things In LIFE


picturetakenfrom: biografitanpaarti.blogspot.com

Apa arti kebahagiaan bagimu?

Saya sering sekali kagum dengan anak-anak jalan yang masih bisa tertawa dengan segala keterbatasan mereka. Kalau saya bisa bahagia dengan segelas coklat hangat dan sebuah novel bagus di penghujung hari, mereka sudah bisa bahagia dengan selembar baju compang-camping yang menempel di tubuh mereka. Mereka bahagia tidur tanpa alas, sementara saya mengeluh jika AC di kamar saya rusak meski saya masih memiliki ranjang yang empuk. Mereka bisa bahagia dengan makan sekali sehari, sementara saya lebih sering protes jika makanan di rumah tidak enak.

Gosh, I feel so low. Saya tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Mereka bisa tersenyum dan bersyukur pada kondisi terburuk mereka, sedangkan saya harus mendapat hal-hal baik terlebih dulu untuk bisa bersyukur. Dari mereka saya belajar satu hal, kebahagiaan bukanlah soal materi.
Happiness is simply about looking beyond imperfections.


Behind The Scene


Kadang kita hanya bisa berada di balik layar tanpa bisa menikmati hasil jerih payah kita, namun ingatlah untuk tetap melakukan yang terbaik

Sunday, October 9, 2011

Serve Him. Serve Him Not.


Totally stressed and busy this week, and it will continue ‘till the end of this month. Ini adalah konsekuensi dari pilihan saya—jadi mahasiswi fakultas kedokteran. Ngomong-ngomong soal sibuk. Sibuk sering kali jadi alasan banyak orang untuk tidak melayani ya... Sibuk dengan kerjaan, sebentar lagi mau ujian, lagi banyak tugas, dan sebagainya. Saya juga sering kali diperhadapkan dengan pilihan seperti ini. Lagi stres-stresnya ujian, tapi ada rapat. Lagi banyak tugas, tapi harus datang briefing atau diajak KK (Kelompok Kecil). Ingin rasanya mengatakan tidak pada segala kegiatan kerohanian tersebut. Tapi, saya bersyukur selalu diperhadapkan pada pertanyaan yang sama dalam hati:
Sebenarnya, apa sih tujuan hidupmu? Apa memberikan waktu bagi Tuhan kalah penting dengan ujian atau tugas?
Thank God, until today the question makes me think a lot. Saya jadi sering kali bela-belain pergi ke gereja entah untuk rapat, briefing, latihan, atau KK, walaupun banyak tugas dan ujian menanti. Menariknya, setiap kali saya menyediakan waktu untuk-Nya, selalu ada hal baik terjadi. Misalnya, kalau saya sedang banyak tugas dan ada keperluan ke gereja sehingga saya terpaksa meninggalkan tugas saya dulu, entah kenapa rasanya selalu saja ada waktu lebih yang cukup bagi saya untuk menyelesaikan tugas sepulang dari gereja. Padahal, tadinya saya sudah bingung sekali bagaimana menyelesaikannya. Pernah juga saat saya sedang sibuk mempersiapkan ujian praktik dan lisan, saya masih harus ikut rapat retreat di gereja. Sepulangnya saya dari kampus, saya sampai menangis karena merasa tidak bisa dalam ujian, apalagi saya sempat dimarahi oleh seorang dokter. Tapi, saya bersyukur sekali saat tahu bahwa saya lulus. Hari itu jadi hari yang paling menyenangkan buat saya, dan saya sadar satu hal: 
Make Him your first priority, and you’ll never get disappointed.
Mengutamakan Dia adalah satu hal, namun membengkalaikan tugas adalah hal lain lagi. Jadi, bukan berarti kita tidak boleh mengatakan tidak pada pelayanan yang ditawarkan pada kita. Kita bukan manusia super yang dapat melakukan segala hal kan? Bukan juga berarti kalau kita sibuk dengan kegiatan gereja kita jadi menyepelekan tanggung jawab kita yang lain. Working your ass off for those works is still a must! Contohnya, kalau kita tahu kita sering melayani di gereja, ya cobalah untuk menyicil tugas dan ujian sesering mungkin. Intinya, buktikan kalau kita sanggup memaksimalkan diri kita dalam keduanya—pelayanan dan tanggung jawab kita di luar gereja. Remember, we study to serve Him too, right? Happy serving!