Monday, June 30, 2014

a beautiful curse


“Bi! Bi! Bian!”

Bianca terkesiap. Ia menoleh cepat. Suara itu.

“Nolan?” Bianca selalu suka cara Nolan memanggil namanya.

“Hai, Bi,” sosok Nolan perlahan muncul dalam kegelapan. “Apa kabar?” Laki-laki dengan polo shirt hitam polos dan celana bermuda itu nyengir lebar, seolah tidak menyadari tatapan horror Bianca.

“Kamu—“ Bianca berusaha menggapai Nolan dengan tangannya yang bergetar. Nolan tidak seharusnya ada di sini, walau ia senang luar biasa mendapati Nolan berdiri tegak di depannya.

“Nolan?” Bianca menelan ludah, air matanya mendadak menyesaki pelupuk matanya. Ia menarik kembali tangannya, berusaha menahan agar tangisannya tidak semakin keras. Kedua lututnya terasa lemas.

“Hei,” Nolan menyentuh bahu Bianca saat gadis itu meluruh ke tanah. “Bianca, aku di sini”.

Usapan halus Nolan di punggungnya dan kecupan ringan cowok itu di kening Bianca membuat tangisnya semakin menjadi. Bianca ingin mendorong sosok itu, Ia tahu membiarkan Nolan memperlakukannya semanis—dan sehangat ini justru akan membuatnya semakin sakit nantinya.

“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Bianca menghapus air matanya yang tidak dapat berhenti mengalir.

“Untuk menemuimu,” Nolan berbisik di telinga Bianca sambil memeluknya. “I miss you, Bi”

Tenggorokan Bianca tercekat, hatinya terasa ngilu.

“Kamu kurusan,” Nolan melepaskan pelukannya dan memperhatikan Bianca dari jarak yang lebih jauh. “Makan yang banyak, jangan bikin aku khawatir”.

“Kamu udah nggak pernah ngingetin aku buat makan lagi,” Bi berusaha tertawa, tapi yang keluar hanyalah isakan.

I’m sorry, Bi,” Nolan kembali menarik Bianca ke dalam pelukannya, mengelus kepala gadis itu selama yang ia bisa. “Aku benar-benar minta maaf. Maaf karena nggak bisa lagi berada di samping kamu.”

“Kamu tahu, setiap hari aku masih bisa ngebayangin suara kamu manggil nama aku. Aku masih bisa ngerasain pelukan kamu, aku masih bisa ngerasain gandengan kamu di tangan aku, aku masih bisa ngebayangin sentuhan kami di kepala aku, aku—“ Bi tidak sanggup melanjutkan.

“Maaf, Bi,” Nolan membenamkan kepalanya pada bahu Bi. Hal terakhir yang diinginkannya adalah membuat Bianca menangis karena dirinya. “Maaf. Maaf.”

I even can smell you in the middle of the night,” tutur Bianca dengan napas naik turun.

Sorry, for making it hard for you, Bi,” bisik Nolan. “Aku harap aku bisa selalu di samping kamu, tapi kalau kamu mau, kamu boleh—“

“Aku nggak mau ngelupain kamu, Nolan!” Bianca menarik tubuhnya hingga tatapan mereka beradu.

“Dengar dulu sampai selesai, Bi,” Nolan mencubit kecil pipi Bianca. “Aku nggak minta kamu ngelupain aku. Tapi aku mau kamu tahu, kalau kamu—I mean, if you find someone else in the middle of your journey, it’s okay for me. I love you, Bi. Always”.

“Nolan…” Bianca memeluk tubuh laki-laki itu sekali lagi, berusaha merasakan hangat yang biasa melingkupinya. Namun tubuh itu semakin lama semakin dingin, membuat hati Bianca seakan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum es.

“Hei, Bi,” Nolan mengecup pipi Bianca ringan. “It’s okay to cry as much as you like, but don’t forget to be happy after it. See you again, someday up there in heaven, Bi. Aku bakal nunggu kamu. Janji.”



Nolan? Bianca membuka kedua matanya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Matahari belum memancarkan sinarnya di luar sana.

Air mata Bianca tiba-tiba saja bergulir tanpa henti membasahi kedua belah pipinya. Until we meet again, Nolan. Lihat aku dari atas sana ya, it will be hard like hell to continue living without you, but I promise I’ll be happy. I will.

picturetakenfrom:pinterest.com




I guess it is both a blessing and a curse to be able to love someone deeply. –Bianca



Saturday, June 14, 2014

fall apart


Kita sewujud pelaut yang tak berhenti bernavigasi, mencari arah, mencari tanda, hanya terkadang badai datang tanpa arah dan pertanda.


Pria itu terduduk lemas di kursinya. Kakinya yang terlihat kokoh sedikit gemetar. Raut mukanya yang keras berubah gentar. Ia menatap nanar wanita berjas putih di depannya.

“Lepra?” aku membaca gerak bibirnya, suaranya hanya serupa napas yang tercekat karena menahan air mata.

“Penyakit Bapak bisa sembuh,” wanita berkacamata di hadapannya berusaha menenangkan,”Sangat bisa jika diobati dengan benar”.

Pria itu menggeleng keras, seakan kalimat tadi tidak pernah terlontar dari mulut sang dokter, seakan lepra adalah hukuman mati. Setetes air mata bergulir mengikuti garis pipinya yang mulai berkerut. Ia cepat-cepat menyekanya, sekilas aku dapat melihat urat-urat besar yang saling menyilang di sana sebelum ia kembali menyembunyikan kedua tangannya di atas meja.  Entah sudah berapa banyak keringat yang ia cucurkan untuk menghidupi keluarganya, entah sudah berapa banyak beban yang harus dipikulnya.

Samar-samar Bapak itu melirik ke sebelah kanannya, ke arah seorang pria berkacamata dan berkemeja kotak-kotak yang mengantarnya datang. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih muda daripada Si Bapak. Baru kali ini aku melihat seorang majikan datang mengantar anak buahnya. Bapak ini pastilah seorang hamba yang setia dan pekerja keras.

“Menular, Dok?” sang majikan berdeham, pelan-pelan ia menggeser duduknya ke kanan, menjauhi Bapak itu. Aku melihat Si Bapak hanya bergeming di tempatnya, mungkin sedang sibuk mempertahankan dunianya yang perlahan runtuh, mungkin sedang membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang asing ketika orang-orang di sekitarnya satu per satu akan menjauhinya, mungkin sedang sibuk memikirkan bagaimana nasib keluargnya jika majikan di sebelahnya ini nanti memecatnya.



Jakarta, 10 Juni 2014

Saturday, June 7, 2014

peti hati


“Jadi?”

“Jadi apa?” Winza mengangkat kepalanya menatap Vica. Ia menutup catatan biologi yang sejak tadi ditekuninya.

Vica menghela napas panjang, tau sejak tadi ocehannya sama sekali tidak didengarkan oleh sahabatnya—sama seperti lagu entah apa yang sedang diputar di Kaftee & Bun saat ini. “Jadi kalau dia akhirnya nembak lo, lo terima apa nggak?” Vica bertanya dengan lambat dan tegas.

Winza mengalihkan pandangannya ke jendela yang menghadap jalanan. Di luar, rintik-rintik hujan mulai turun, beberapa pejalan kaki mengenakan payung, sementara yang lain berlari-lari kecil berlomba dengan hujan yang semakin deras. Ia berharap dapat berbaur dengan hujan saat ini, ia lebih memilih basah daripada harus menghadapi pertanyaan Vica.

“Win…” Vica tahu betul gestur sahabatnya itu. Winza paling anti dengan pertanyaan macam ini—pertanyaan apa pun yang menyangkut cowok, tapi sebagai sahabat—orang yang paling tahu latar belakang Winza, Vica merasa punya tanggung jawab untuk membantu sahabatnya itu.

“Boleh kita nggak ngomongin ini?” Winza bertanya lurus-lurus.

“Mau sampai kapan kita nggak ngomongin ini?” Vica memberanikan diri menatap Winza. Ia tahu membicarakan topik ini akan membuka luka lama sahabatnya, tapi  ia juga tahu, satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka Winza adalah dengan membukanya, lalu mengobatinya pelan-pelan walaupun perih.

Winza mengangkat bahu. “Selamanya kalau perlu”.

Vica menggigit bagian bawah bibirnya. Ngilu rasanya mendengar nada sedingin dan segetir itu keluar dari mulut sahabatnya.

“Arya orang baik,” Vica tidak tahu harus berkata apalagi. “Elo tahu kan gue nggak akan bilang begini kalau gue nggak benar-benar yakin dia nggak akan nyakitin lo?”

“Gue tahu Arya baik,” Winza tersenyum sambil mengaduk ice hazelnut chocolate-nya. “Baik banget”.

“Dan elo suka dia,” Vica berkata hati-hati.

“Gue nggak membuka hati gue untuk siapa pun,” Winza menjawab dengan nada yang tidak ingin dibantah. “Nggak untuk Arya atau orang lain. Nggak sekarang atau nanti”.

“Win, elo nggak bisa menutup hati lo terus-terusan,” Vica menatap kedua mata sahabatnya dalam-dalam.

“Gue nggak mau sakit hati, Vic, elo tahu itu,” tutur Winza dengan pandangan menerawang. “Bertahun-tahun gue nemenin nyokap untuk sembuh dari sakit hatinya, bertahun-tahun gue di samping dia untuk berjuang hidup sendiri, bertahun-tahun gue denger dia nangis di tengah malam, elo pikir gue akan bisa mempercayakan hati gue untuk orang lain? Jatuh cinta bikin orang rapuh, Vic. Elo juga gitu kan? Ingat waktu elo putus sama Erik? Lebih baik gue nggak jatuh cinta daripada harus sakit hati.”

Vica terdiam sejenak. “Gue cuma pengen liat lo bahagia, Win. Dan kalau elo pikir elo bisa bahagia dengan menyimpan hati lo rapat-rapat, elo salah besar. Mungkin memang elo nggak akan sakit hati. Tapi walau hati lo disimpan di kotak yang paling rapat sekali pun, di tempat yang tanpa udara, hati lo akan berubah dimakan waktu. To love is indeed to be vulnerable, Win. Manusia jatuh cinta, lalu sakit hati dan terluka, tapi setidaknya luka itu bisa sembuh. Elo berhak dicintai, Win, dan gue pengen elo ngerasain itu. Hati lo berhak dimiliki oleh seseorang, bukan hanya disimpan di tempat yang tidak bisa dijangkau siapa-siapa. Elo—“

“Vic…” Winza memotong ucapan sahabatnya. “The thing is, I’m not ready to be vulnerable”.

Not yet”.

the beauty of being lost


Some people believe calling someone spiritually lost is a put-down. But it’s not. It’s actually a great compliment to be called spiritually lost. There’s a difference between losing something and misplacing something. If I misplace something, it means it wasn’t important to me. But if I lose it, it’s valuable enough for me to try to find it. You misplace a bobby pin; you lose your glasses.

People are only lost if they’re worth finding. Think of it this way: The value of a masterpiece doesn’t go down when it’s lost; it goes up.

Human beings lose a lot when they aren’t connected to God. We lose our direction, God’s protection, our potential, our happiness, and our future home in Heaven — just to name a few. But there’s one thing we don’t lose: our value.

God loved you enough to send his very best — Jesus.

You matter so much to God that he underwent a rescue mission to come get you. He came to Earth as a little baby so that one day he could die on a wooden cross for your sin.

-Rick Warren