Friday, September 27, 2013

LIV

Dua bulan lalu—Bandara

Take care, Liv! Jaga diri di sana, jangan keluyuran sama orang asing. Jangan suka telat makan—gue kan susah kalau mau ngingetin lo. Jangan keseringan begadang—“

“Res?” Olivia mengangkat kedua alisnya, bibirnya membentuk sebuah senyum kekanakan. Ares menghentikan ocehan panjang lebarnya. “I know, I am a big girl. Elo bahkan lebih cerewet daripada Mama.” Liv melirik ke belakang, mama dan papanya sedang duduk di sebuah coffee shop, memberi ruang bagi dirinya, Ares, dan Eva, untuk saling mengucapkan salam perpisahan.

“Cariin gue bule Belanda ya, Liv,” Eva nyengir. “Elo juga belajar yang bener di sana, biar cepet selesai S2 lo.”

“Iya, iya,” Liv tertawa kecil, berusaha keras untuk tidak menangis, ia bahkan sudah merindukan kedua sahabatnya ini. “Eh, udah ya. Gue mesti check-in sekarang. Don’t miss me, Res, Va. Really, really love you guys”.


*

Hari ini—Rumah Sakit

“Dia nggak pernah terbang ke Belanda, kan?” Ares mengintip melalui kaca yang terdapat pada pintu kamar rumah sakit. Liv terbaring di dalamnya. Ia hampir tidak dapat mengenali gadis itu lagi, tubuhnya jauh lebih kurus, wajahnya pucat dan tirus, tatapan matanya kosong, selang-selang yang menembus tubuhnya membuat Liv lebih terlihat mati daripada hidup, sama sekali bukan Liv yang dikenalnya selama lima belas tahun. Ares baru tahu dua bulan bisa mengubah seseorang sedemikian drastis.

She didn’t even apply to the university,” jawab Eva. “Ambil S2 seni di Belanda cuma karangan Liv. Cara dia untuk menghindar dari lo sementara ia harus kemo”.

“Dan elo sama sekali nggak ngasih tahu gue tentang semua ini?” rahang Ares mengeras, rasanya ia ingin menghajar apa pun yang ada di sekitarnya saat ini, termasuk Eva, sahabatnya sendiri.

“Liv yang nggak mau elo tahu, Res”.

She has a tumor in her brain, Va. Kenapa gue nggak boleh tahu?! We’ve been together for fifteen years! I understand her more than she understands herself! Gue bahkan—“ Ares memejamkan mata, berusaha meredam emosinya.

You know I love her, Va,” bisik Ares dengan napas naik turun.

“Itu alasannya,” jawab Eva, “Liv tahu, Res. Dia tahu tentang perasaan lo sama dia. Dia tahu semuanya makanya dia nggak pernah merespon elo. Liv tahu elo nggak akan tega melihat dia seperti ini sekarang, Liv tahu bahwa perpisahan kalian akan semakin menyakitkan kalau kalian pacaran. She has been protecting you this whole time, Res”.

“Lalu kenapa sekarang lo ngasih tahu gue?”

“Karena gue tahu dia sebenarnya butuh elo, Res. I know Liv is a fighter. But she can’t fight this alone. Dan satu-satunya orang yang—“

“Liv!” tatapan Ares pada jendela berubah horror. Ia melihat Liv menegakkan tubuhnya, menyambar baskom yang terletak di sebelah tempat tidurnya dan memuntahkan isi perutnya ke sana. 

"Liv," Ares menyerbu masuk dengan panik. Liv masih terus memuntahkan cairan kuning dari lambungnya sementara Ares memijat-mijat tengkuknya. Merasakan tubuh Liv yang ringkih seperti ini membuatnya miris, ia harus menahan bahu Liv agar gadis itu tidak terdorong oleh pijatannya. “It’s okay, Liv. It’s okay.” Ares mengambil karet rambut yang terletak di meja dan mengikat rambut Liv ke belakang. Rambut itu masih sama halusnya seperti yang terakhir diingatnya, namun sekarang terasa lebih tipis.

“Pasti Eva yang nyuruh lo ke sini,” Liv mendorong baskom muntahannya menjauh. “Sebelum lo ngomel gue mau minta maaf karena nggak ngasih tahu lo. I know the chemo will be excruciating until one point I’ll beg to die. Dan gue nggak mau elo ngelihat gue dalam kondisi seperti itu. I know you won’t stand it.”

I know I can’t. But you can’t stand this by yourself too, Liv. So, let me help you. Let us go through this together like we always do.” Ares membantu Liv berbaring dan memakaikan selimutnya.

Liv menatap Ares lama. Sedih karena akhirnya orang yang paling dicintainya harus ikut menderita. Lega karena satu-satunya sumber kekuatannya kini ada di sebelahnya. “Gue takut, Res. Takut banget,” bisik Liv.

I know,” Ares menyibak poni Liv yang menutupi matanya. “But I’m here now”.

picturetakenfrom:weheartit.com

Thursday, September 26, 2013

unloving talk


Girls’ weaknesses?

Satu. Emosi dan segala hal yang melibatkan perasaan.
Dua. Gosip.

I’ll talk about the latter.
Jadi beberapa malam lalu waktu lagi makan malam, salah seorang teman saya mengeluh karena siangnya ia melihat dua orang teman yang menertawakan teman kami yang lain. Bukannya selama ini saya nggak tahu, kejadian ini sering banget terjadi. Sama siapa aja. Oleh siapa aja. But everyone keeps quiet. Pretends like it’s normal. Including me.

“Kadang sampai nggak nyangka deh, masa hal-hal remeh aja sampai diomongin—diketawain. Rasanya nggak enak banget,” begitu teman saya berkata. This is one of the reasons I love hanging out with them. They raise my standards. Kadang saya juga suka kebawa kalau teman-teman yang lain ngegosip. But these girls remind me to keep my standard high. Gossiping is low. There is nothing you can be proud of when you talk about someone behind his/her back.

And a devotional that night said: Gossip is incredibly destructive. It is destructive to churches, families, and businesses. It is destructive to your life. It tears you up. It separates the closest of friends. It may feel good when we’re gossiping, but it’s also unloving.


Let us be a loving person.

Thursday, September 19, 2013

simplifying love


with eyes closed,
i witnessed my own pair of eyes
setting free millions of fireflies,
like leaves bidding farewell to it’s trees.

the fireflies gathered at the tips
of my fingers and planted their last kiss
before taking flight, glittering the night sky

the fireflies fled far and wide
in search for your eyes.

eyes closed for another pair of closed eyes.
conspired by nature and night.

and you thought the fireflies
that flew into your eyes formed a dream,
the one you kept guessing the meaning of.

but in time you will know,
whenever a firefly lands on petals of your cheeks
that very moment it is i whom you think of.

-@hurufkecil

boleh aku menyederhanakan cinta? aku tahu cinta bukan pecahan matematika yang bisa disederhanakan hingga bilangan terkecil, bukan kalimat-kalimat rumit dalam buku teks yang sering kubaca, bukan pula teori filsafat yang sulit dipahami. tapi, boleh aku menyerderhanakannya?

sesederhana anak-anak yang bicara tentang cinta. tidak perlu adalah istilah-istilah rumit seperti bertepuk sebelah tangan, pemberi harapan palsu, atau galau karena cinta. memangnya kenapa dengan semua itu? bukankah semua bahasa itu hanyalah manifestasi eros yang meminta pamrih? manufaktur dari rasa cinta yang minta dibalas? tidak bisakah kita bicara sederhana tentang cinta? sesederhana menikmati rasanya mencintai dan dicintai.

sesederhana menikmati rasanya jatuh cinta. sesederhana mensyukuri ada orang yang mencintaimu. sesederhana merasa senang saat melihat orang yang kita cinta bahagia, sesederhana rasa malu-malu saat berbincang dengannya. sesederhana menikmati suara jantungmu yang keluar irama, sesederhana membayangkannya sebelum tidur. sesederhana itu saja. bisa?

Wednesday, September 18, 2013

21


Sudah dua tahun ini setiap ulang tahun saya selalu ingat akan seseorang. Seseorang yang pernah ada dalam hidup saya, tapi sudah tidak dapat saya temui lagi sekarang—sekeras apa pun usaha saya untuk mencarinya. Seseorang yang ulang tahunnya hanya lebih dulu satu bulan dari saya. Seseorang yang seharusnya tahun ini juga berusia sama dengan saya. Seseorang yang pernah saya ceritakan di sini.

Entah saya atau dia yang harus bersyukur. Saya, karena masih dapat hidup dan berusaha menggapai hal-hal yang ingin saya raih. Atau dia, karena di tengah masa mudanya—di tengah keputusannya menjadi seorang hamba, ia dipanggil oleh Bapa.

Saya tidak pernah benar-benar mengenalnya. Ia hanya pernah berkunjung beberapa kali ke rumah, kami hanya sempat bermain bersama beberapa kali saat kecil. Tapi, entah kenapa ia adalah orang yang paling saya ingat di setiap hari ulang tahun saya. Mungkin karena kami seumuran, mungkin karena kehadiran saya mengingatkan keluarganya akan dirinya. Mungkin…

Tapi, yang jelas ia adalah orang yang mengingatkan saya untuk banyak-banyak bersyukur untuk satu tahun lagi yang boleh saya lalui. Ia adalah orang yang mengingatkan saya untuk mengejar mimpi saya selagi bisa. Ia adalah orang yang mengajarkan saya untuk menghargai hidup, menggunakannya sebaik-baiknya, dan menjadikannya berarti.

21.
Kalau melihat diri saya satu tahun lalu, tahun ini saya banyak sekali belajar sabar. Belajar menerima. Belajar menikmati apa yang saya punya. Belajar untuk tidak iri. Belum sempurna memang, tapi saya tahu saya lebih baik dari tahun lalu.

Tahun lalu saya belum punya buku sendiri, tahun ini saya bisa satu langkah lebih dekat dengan mimpi saya. Masih banyak sekali kurangnya memang, tapi saya tahu saya tidak diam saja untuk mengejar impian saya.

Lalu hari ini seorang teman bilang ,”Kamu banyak banget mintanya, ya?” Iya. Saya punya banyak harapan dan doa. Bukan sekadar untuk jadi lebih baik dari tahun lalu, tapi juga untuk membuang apa yang perlu dibuang.

Tapi diantara semua harapan dan doa dan perubahan yang telah saya alami. Saya bersyukur untuk hari ini. 


Saturday, September 14, 2013

sweet, sweet words


Kalau hari-hari saya belakangan ini bisa dirangkum dalam satu kalimat, ini yang akan saya tulis: I want to put my windbreaker on, can you please just tell me when the storm has passed?

Tapi seperti biasa, Father Jesus never leave me :”) Like He knows the best how to comfort me. Tadi lagi iseng-iseng aja buka email, terus baca devotional hari ini dan isinya langsung berhasil bikin mata berkaca-kaca. Isinya begini:

“Most of us spend our entire lives trying to earn acceptance. We want to earn it from our parents, peers, partners in life, people we respect ourselves, and even people we envy. The desire to be accepted drives us to do all kinds of things. It can influence the kind of clothes you wear, the kind of car you drive, the kind of house you buy, even the career you choose.

We love the feeling of being accepted.

Being chosen does tremendous things for your self-esteem. 1 Peter 4:9 says, “You are a chosen people” (NIV). That ought to raise your self-esteem! Christ has accepted you — not based on your performance, something that you earned, or something that you deserve. God simply says, “I chose you.”

You may have accepted Jesus into your life, but have you ever realized that Christ has accepted you? You don't have to earn it; you don't have to prove yourself.

“Even if my mother and father abandon me, the LORD will take care of me” (Psalm 27:10 GW). The fact is, some of you had parents whom you could never please. No matter what you did, it wasn't good enough. If you got C’s, they wanted B's. If you got B's, they wanted A's. If you got A's, they wanted straight A's.

The tragedy is that some of you today are still trying to prove yourself to your parents. You're still trying to earn their acceptance, but, in all likelihood, you're not going to get their approval if they haven't given it to you by now, because that's their problem. The good news is this: You don't need it to be happy! There are 6 billion people in the world. If two people don't like you, who cares? As a part of God’s family, you have been accepted by God!”

Saya nggak mau bahas tentang isi devotional-nya, sebagian besar dari kalian juga mungkin biasa aja bacanya. Yang mau saya bilang ya itu, Tuhan tahu banget gimana cara ngomong ke anak-anakNya di saat anak-anakNya lagi butuh.

Terus barusan seorang teman yang lagi ngobrol di LINE tiba-tiba bilang: “Santai aja lah”. Saya memang lagi khawatir berlebihan akhir-akhir ini. Tentang apa? Ada deh, haha… Tapi pas baca kalimat teman saya ini, kayak lagi diingetin,”Tenang aja lagi, Cil. Chill. Relax. Everything is going to be alright”. He might not mean it too much when he wrote it, but it really means a lot to me.

Malam ini benar-benar kayak lagi diingetin,”You are never be alone, Cil. There always be Me—a Father who understands you. A Father who listens.”

Thank you for once again reminding me, Father. Because I forget a lot :”)