Aku memandang keluar jendela café. Jalanan dengan nuansa oranye musim gugur masih menjadi
favoritku.
“Hei, maaf lama,” terdengar suara seseorang yang sangat ku kenal, ia mengecup cepat pipiku lalu duduk di hadapanku.
“Kamu selalu terlambat akhir-akhir ini,” komentarku sambil
menyeruput hot chocolate yang sudah
mulai dingin.
“Maaf, lagu baru,” ia tersenyum tipis menunjuk biola yang ia
letakkan di lantai.
Ya, ya, ya. Kamu dan musikmu. Entah kenapa aku selalu merasa
cemburu dengan biola yang hampir 24 jam selalu bersamamu itu. “Belum selesai
juga? Kamu sudah mengerjakannya dari dua bulan yang lalu”.
“Yang ini spesial, Sayang,” ia menyentuh tanganku lembut dan
mengelusnya,“Untukmu”.
“Bukankah semua lagu yang kau ciptakan adalah untukku?”
“Ya. Tapi yang ini adalah yang paling spesial. Aku ingin
lagu ini sempurna”.
“Aku tidak mengerti musik,” jawabku, apa gunanya membuat
musik yang terlalu rumit kalau tidak dapat kumengerti?
“Kamu tidak perlu mengertinya. Aku ingin kamu merasakannya,”
ia menjawab dengan tatapan yang sanggup membuatku terhanyut.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” katanya lagi.
“Kemana?”
“Mendengarkan laguku,” ia menjawab sambil tersenyum lembut.
“Sudah jadi?”
Ia mengangguk.
*
“Mulai dari sini kamu tidak boleh melihat,” ia mengajakku
turun dari mobil lalu menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang. Aku
dapat merasakan napas hangatnya menggelitik tengkukku.
“Hati-hati,” ia berkata lembut saat aku mulai melangkah. Aku
dapat merasakan boots-ku menginjak
dedaunan kering.
Dengan sabar ia menuntunku dan aku mengikuti arahannya, kami
terus bergerak maju hingga sayup-sayup aku dapat mendengar alunan melodi yang
indah. Tentu saja bukan dia yang sedang memainkan biolanya, lagipula lagu ini
terdengar berasal dari beberapa biola.
Saat suara itu semakin jelas ia memintaku berhenti. Aku
membuka mataku dan melihat sepuluh anak kecil tengah menggesek biola mereka.
Menghasilkan untaian nadanya yang begitu indah untuk didengar.
“Bagus sekali,” desahku,”Ini lagu yang selama ini kau
kerjakan?”
Ia mengangguk.
“Kamu mau memintaku memberikan judul lagi?” aku bertanya,
sambil berusaha berpikir judul apa yang kira-kira tepat untuk lagu secantik
ini.
Ia menggeleng,”Aku sudah punya judulnya”.
“Oh ya? Apa?”
“Marry me,”
suaranya terdengar dalam dan lembut.
Aku terdiam sebelum akhirnya berkomentar,”Judul yang bagus”.
Ia kemudian berlutut di hadapanku, dan mengeluarkan sebuah
kotak beludru merah marun. “Menikahlah denganku”.
Sambungan dari FF: Ini Bukan Judul Terakhir
aaaa romantis :)
ReplyDelete