Wednesday, August 21, 2013

Reflection Day 18: Spotlight Thief


Yesterday is the eighteenth day I wrote my reflection. Jadi, saya dan beberapa teman gereja mengadakan kesepakatan untuk saat teduh setiap hari. Kalau ada satu orang yang bolong saat teduh satu kali, maka semua anggota lain harus membayar sebesar Rp 5.000,00 rupiah. Jujur, buat saya nggak terlalu susah sih untuk rutin saat teduh, soalnya memang selama ini saat teduh saya jarang bolong. It’s a habit, I guess. Tapi, satu hal baru yang saya dapat dari kesepakatan ini adalah refleksinya. Kalau biasa refleksi saya cuma sekadar lalu atau bahkan cuma baca doang tanpa merenungkan isinya, sekarang karena harus menulis refleksi tiap hari, saya jadi spare waktu lebih untuk berefleksi. Sisi bagus lainnya adalah, jurnal saya jadi ada isinya, hehe.. (berhubung saya paling nggak bisa tahan kalau liat jurnal lucu-lucu, tapi habis beli nggak tahu harus diisi apa, soalnya saya sebenarnya udah punya jurnal yang biasa saya bawa kemana-mana untuk nulis ide-ide yang muncul kapan aja)

Balik ke poin utama saya menulis ini, saya ingin share apa yang saya dapat dari saat teduh semalam. Udah beberapa hari ini renungan yang saya baca membahas kitab Kisah Para Rasul, terutama bagian saat Paulus diadili di hadapan Agripa dan akhirnya harus di bawa ke pengadilan Roma. Di tengah perjalanan menuju Roma, kapal yang ditumpangi Paulus diterjang badai. Para awak kapal yang ketakutan buru-buru menyiapkan sekoci untuk menyelamatkan diri, tapi Paulus berkata bahwa mereka harus tetap bersama-sama jika ingin selamat. Maka, para prajurit yang ada di kapal itu memotong tali sekoci agar tidak ada awak yang dapat melarikan diri (Kis 27: 27-38). Dalam bacaan ini ada empat kelompok yang menjadi sorotan utama dalam kapal. Ada para pelaut yang begitu mengenal lautan dan berpengalaman dalam menghadapi badai, ada prajurit yang menjaga ketertiban seluruh penumpang, ada kepala pasukan yang menjadi ketua dan mengarahkan jalannya kapal, dan yang terakhir para tawanan. Paulus dalam hal ini masuk dalam golongan yang terakhir.

Walaupun Paulus hanya seorang tawanan, tapi lihat apa yang Tuhan lakukan atas dirinya. Paulus diberi kuasa. Kuasa untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Tuhan tidak memakai para pelaut yang sudah begitu berpengalaman menghadapi kerasnya lautan, Ia juga tidak memakai prajurit maupun kepala pasukan yang memiliki jabatan lebih tinggi. Tuhan memakai seorang tawanan—seorang Paulus untuk menyatakan kuasaNya.

Coba lihat diri kita. Seberapa sering kita memperhitungkan posisi yang kita miliki? Seberapa sering kita meremehkan posisi yang lebih rendah? Dari contoh yang kecil aja, pelayanan di gereja misalnya. Jangan-jangan kita nggak mau pelayanan kalau nggak berdiri di depan, jadi PL, singer, atau pemusik. Jangan-jangan pelayanan kita ogah-ogahan saat kita harus berada di belakang layar. Semoga nggak ya. Karena kalau iya berarti kita sudah salah fokus. Pelayanan dan hidup kita bukan lagi berfokus pada Tuhan tapi malah berfokus pada diri kita sendiri. Remember, it’s not about you. It’s not about you at all.

We live to glorify the King. Nggak peduli apa pun posisi kita—di posisi paling rendah sekali pun, Tuhan bisa memakai kita. Makanya, bukan posisi atau jabatan yang paling penting, melainkan nama Tuhan yang dipermuliakan. Ketika berada di bawah, ingat bahwa Tuhan tetap berkarya atas kita. Dan, ketika di atas, remember to not steal His spotlight! To God be the glory!


picturetakenfrom:privatecollection

Saturday, August 17, 2013

The Waiting Game


Mia memandang pantulan dirinya dalam cermin. Average—kalau nggak bisa dibilang di bawah standar, ia menyimpulkan. Tingginya 157 cm dan berat tubuhnya ideal—masih dalam skala BMI normal, walau ia sering mengeluhkan tumpukan lemak di lengannya. Kulitnya kecoklatan akibat terlalu sering naik angkutan umum. Rambut hitamnya terurai sampai ke punggung namun teksturnya yang sedikit kasar dan sulit diatur kerap membuatnya jengkel. Wajahnya bulat, matanya terlalu besar, ia selalu merasa wajahnya tidak proporsional.

“Gue sejelek itu ya?” Ia bergumam di sela alunan lagu Gravity-nya Sara Bareilles yang mengisi seantero kamar.

“Lo nggak jelek,” Giska—sahabatnya yang sedang asik tengkurap di ranjang miliknya menjawab asal. Tangannya sibuk membalik halaman majalah LYFE edisi terbaru.

“Terus kenapa dia milih cewek itu dibanding gue???” Mia bertanya kesal sambil menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, tepat di sebelah Giska hingga cewek itu merasa terganggu.

Giska menyodorkan sekotak tissue pada sahabatnya, kalau-kalau Mia siap untuk menangis ronde lima.

“Nggak usah,” Mia mendorong kotak tersebut menjauh,”Gue capek nangis”.

“Lupain aja cowok kayak gitu,” Giska menanggapi.

“Kayaknya emang gue yang nggak pantes buat dia deh. Iya, kan Gis? Jujur deh sama gue, lo nggak perlu bohong. Pertama gue nggak cantik—“

“Mi—“

“Kedua, badan gue nggak tinggi dan langsing. Ketiga, otak gue pas-pasan banget—“

“Mi—“

“Gue juga nggak bisa dandan. Gue nggak ka—“

“Mia!” Giska memotong gemas. “Berhenti jelek-jelekin diri lo sendiri”.

“Ya habis gue sebel, Gis. Sepuluh bulan.” Mia menunjukkan kesepuluh jarinya di depan wajah Giska. “Selama sepuluh bulan dia ngedeketin gue. SMS atau LINE atau Whatsapp tiap hari. Nanyain kabar dan lain-lain. Cuma untuk jadian sama cewek lain, terus putus, balik ngedeketin gue lagi, jadian sama cewek lain, putus, dan sekarang ngedeketin gue lagi.” Nada Mia naik seoktaf.

“Cowok kayak gitu mah jelas-jelas harus dibuang jauh-jauh,” Giska menatap sahabatnya.

“Tapi gue sayang sama dia, Gis,” Mia mengigit bagian bawah bibirnya. “Gue jatuh cinta”.

“Menurut penelitian, hormon jatuh cinta mencapai puncaknya satu sampai dua tahun. Setelah itu kadarnya bakal menurun, makanya hubungan cewek dan cowok nggak bisa cuma berlandaskan kata ‘jatuh cinta’,” Giska menaikkan kacamatanya,”Lagian, bisa aja elo nggak jatuh cinta. Elo cuma senang dikasih perhatian sama dia.”

“Tapi kalau gitu maksud semua perhatiannya selama ini apa dong? Salah gue dimana sih?”

“Elo nggak salah dimana-mana,” jawab Giska tenang.

“Iya, gue nggak salah dimana-mana. Muka sama otak gue kan udah nggak bisa diapa-apain lagi,” jawab Mia sinis.

“Ralat,” Giska menatap Mia tegas. “Salah lo satu. Lo nggak sayang sama diri sendiri. Lo nggak bisa berharap seseorang sayang sama lo kalau lo sendiri nggak sayang sama diri lo. Terima diri lo apa adanya, Mi. Kalau bukan lo yang ngelakuin itu, siapa lagi?”

Mia terdiam.

“Elo nggak jelek. Pikiran lo bahwa lo jelek yang bikin elo nggak menarik di mata orang lain. Kalau lo sendiri udah nggak percaya diri, gimana orang bisa ngeliat daya tarik lo?”

Mia menghela napas panjang. “Jadi menurut lo mending gue lupain aja dia?”

“Cowok kayak gitu nggak pantes buat lo. Elo layak dapat seseorang yang ngeliat lo melebihi fisik lo—melebihi hal-hal yang biasa dilihat dunia. Suatu saat gue yakin kok akan ada orang yang mengasihi lo dengan tulus. You’re worth the wait”.

“Jadi lupain nih?”

“Lupain. Hapus contact-nya. Dan nggak usah bahas-bahas dia lagi. A godly woman deserves a godly man, Mi. Masalahnya cuma kita bisa sabar buat nunggu waktunya Tuhan apa nggak”.

pada sebuah perjalanan


Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada terlambat mencintai—James.


Bus kopaja yang ku tumpangi siang itu tampak lengang dengan hanya beberapa penumpang di dalamnya. Di bagian belakang terdapat sepasang kakek nenek yang duduk bersisian dengan Sang Nenek yang tertidur di bahu suaminya. Di dekat pintu duduk seorang ibu dan bayinya yang tengah merengek. Di bagian depan, seorang wanita paruh baya membawa banyak kantong penuh belanjaan dan menempati dua bangku sekaligus.

Aku menaiki bus dan memilih tempat di sebelah jendela. Bus kemudian melaju, menembus padat lalu lintas dan debu ibu kota. Tidak beberapa lama kemudian, bus kembali berhenti, seseorang duduk di sebelahku.

“Hai,” sapanya ramah. Pria berusia dua puluhan dengan kaos putih dan celana bermuda itu tersenyum. Penampilannya yang rapi dan bersih tampak kontras dengan lingkungan di sekitarnya.

“Bunganya cantik,” ia menunjuk lili di pangkuanku ketika aku tak kunjung merespon. “Buat pacar?”

“Bukan”. Aku tersenyum hambar sambil menggeleng,”Belum”.

“Belum?” ia tersenyum jenaka. “Belum pacaran tapi sudah kasih bunga?”

Aku menerawang jauh sebelum akhirnya menjawab. “Kalau nggak bisa lewat kata-kata, lewat perbuatan cukup, kan?”

Ia mengangguk. “Tapi kalau memang sayang seharusnya bilang aja.”

“Andai hidup sesederhana itu, ya,” aku menanggapi, entah kenapa rautnya berubah muram saat mendengar jawabanku. Seperti ada awan mendung yang menggelayut di sana.

“Lalu, apa yang membuat kamu tidak bisa bilang?” ia bertanya.

“Kalau aku tidak mau jawab, boleh?” aku tersenyum tipis.

Ia mengangguk. “Jangan sampai terlambat,” bisiknya,”Nggak ada yang lebih menyakitkan daripada terlambat mencintai”.

Aku menoleh menatapnya. Air mukanya tampak lelah, seperti menanggung beban yang berat terlalu lama. “Kamu pernah terlambat mengatakan cinta?” tanyaku.

Ia menghela napas panjang. “Kira-kira seperti itu”.

“Kenapa?”

Ia tidak menjawab.

“Dia pergi ke luar negri? Sudah punya pacar lain?” tebakku, entah mengapa aku jadi penasaran. Lalu, kemudian tenggorokanku tercekat. “Ia… Sudah meninggal?” bisikku.

Laki-laki itu tertawa. Aku lega dapat membuatnya tertawa. “Salah semua”.

“Lalu, kenapa?”

“Kalau aku tidak mau jawab, boleh?” ia mengerling jenaka. Aku tidak bisa mendebatnya. “Yang jelas aku sudah tidak bisa mengatakan aku menyayanginya lagi sekali pun aku mau. Aku bahkan tidak bisa menjaganya lagi”.

Aku berusaha memikirkan berbagai kemungkinan, sampai akhirnya bus berhenti di tempat tujuanku. “Aku harus turun di sini,” pamitku, ia membiarkanku lewat.

“Kalau orang yang mau kamu beri bunga itu nggak bisa mengatakan cinta padamu. Kamu boleh cari yang lain loh, Kiara,” serunya sebelum kakiku menjejak aspal.

Aku berbalik. “Kamu… Tadi bilang apa?”

Kakiku hendak menaiki kembali tangga bus, namun kenek yang bertugas meneriakiku dan supir bus tersebut memacu kendaraannya.

“Jamie?” bisikku tak percaya. Kakiku berlari mengejar bus tersebut. “Jamie!” Beberapa penumpang menoleh dan mengiraku gila. “Jamie, Jamie, Jamie!” Aku mengejar dengan segenap kekuatan yang kumiliki, namun tentu saja kendaraan itu lebih cepat dari kakiku.

Aku meluruh ke tanah saat bus tersebut akhirnya lenyap dari pandangan. Air mata turun begitu saja membasahi pipiku. Aku berada sedekat itu dengannya dan tidak menyadarinya.



Aku terdiam menatap sepetak tanah di hadapanku. Satu tahun lalu tanah ini belum ditutupi rumput hijau yang membuatnya tampak apik seperti sekarang.

“Jamie, aku rasa aku baru saja bertemu denganmu”. Aku meletakkan lili putih di atas nisannya. “Terima kasih karena tidak pernah melupakanku”.

Wednesday, August 14, 2013

To Suffer, Then Obey


Masalah. Siapa sih yang nggak punya? Bahkan banyak dari kita yang sering berkata,”Duh, masalah gue seabrek banget”, “Kenapa nggak ada habisnya sih masalah? Selesai satu, ada lagi yang lain”. Ada beragam masalah, beragam juga responnya. Ada yang ngeluh, ada yang cepat putus asa, ada yang jadi sedih terus-terusan, ada yang jadi makin dekat sama Tuhan, tapi banyak juga yang jadi jauh.

Renungan saya semalam membahas tentang Ibrani 5:8. “Although he was a son, he learned obedience through what he suffered.” Even Jesus suffered. But through His sufferings, He learned to obey. Yesus menggunakan penderitaannya untuk belajar taat.

TAAT. Belakangan ini saya juga lagi belajar banget untuk taat. As we grow up, our challenge to obey, isn’t mere ‘to cheat or not to cheat in class’, it isn’t mere ‘to violate the traffic light or not’ either. As we grow, the obstacles will be more difficult, until it comes to obey in your sufferings.

I realize when difficulties come, I start to compromise things. Saya tahu apa yang baik—apa yang seharusnya saya lakukan, apa yang Tuhan mau saya lakukan, tapi sering banget saya berkompromi. “Tapi Tuhan, kondisi saya kan lagi begini—lagi banyak masalah, masih harus taat juga?” atau “Tuhan, dia aja begitu, masa saya harus begini?”. Masalah sering kali jadi alasan untuk nggak taat. Masalah jadi alasan untuk nggak saat teduh, untuk nggak ngobrol sama Tuhan. Bahkan, mungkin kita pernah mendengar ada yang berkata,”Gue lagi kecewa sama Tuhan” atau,”Gue lagi jauh nih sama Tuhan”. Masalah, jadi alasan kita untuk kecewa terhadap Tuhan. Dan gawatnya, sering kali kita merasa hal tersebut adalah hal yang wajar. It’s okay to withdraw from God once in a while, especially when you’re sick of your problems. Don’t you realize? When you think that’s normal, you let satan win.

Max Lucado on his book “Tells me Those Secrets” wrote in a chapter named The Secret of Victory, a story of “The Song of the King”.

Three knights are given a quest by the prince that the first knight to journey through the dangerous forest of Hemlock and arrive at the king’s castle will be granted the hand of the princess. The Hopenots infest the forest and attack travelers who foolishly pass through their domain. The only way to find their way through the forest is to listen for the king’s tune played on a flute three times a day. This will lead them in the right direction. Only one other person knows the tune, and that is the prince giving them the quest. Each knight is allowed to choose one companion to go with them. One knight is strong, one is fast, and the last is smart. The problem is… the Hopenots imitate. So the knight that will complete the quest must be able to know the king’s song completely and follow it. False flutes might blow but he would be able to recognize the one, true song. Temptation might play a pretty tune, so we must truly know God’s song so we will follow it.

To know God’s song means to follow Jesus.  When Jesus suffered, what did He do? He learned to obey. Your suffering is your battlefield to learn to obey. Taat yang nggak pakai tapi-tapian. Taat yang nggak peduli kondisi hati kita sedang bagaimana. Taat ditengah penderitaan. To suffer, then to obey.