Friday, January 20, 2012

Inilah Aku Tanpamu

“Pokoknya kita nggak usah ketemuan dulu!”

“Ya udah, paling nanti juga kamu duluan yang nyari aku,” Gema melengos dan meninggalkan Runa di koridor sekolah.

“Huh! Nggak akan!”Teriak Runa pada punggung yang semakin menjauh itu.

*

Ini sudah hari ke delapan sejak mereka bertengkar. Boro-boro menegur, keduanya bahkan menghindari kontak mata jika bertemu.


“Mau sampai kapan berantemnya, Non?” Seria sahabat Runa duduk di sebelahnya. Suasana kelas saat istirahat siang itu cukup ramai. Di sudut belakang Gema sedang asik bercanda dengan teman-temannya.

“Kalian sekelas loh. Nggak capek apa saling menghindar gitu?” tanya Seria lagi.

Runa mengamati Gema dari sudut matanya. Jujur, ia tidak pernah bisa benar-benar melepaskan perhatian dari cowok itu. Ia terbiasa dengan Gema di sampingnya. Ia ingin menemuinya, meminta maaf. Tapi, demi gengsinya ia tidak akan membiarkan ucapan Gema tempo hari jadi kenyataan. Ia tidak akan menghampiri cowok itu duluan.

Kok Gema kelihatannya santai-santai aja sih?

“Apa gue nggak artinya ya buat dia?” Runa bergumam. Seria berkata sesuatu untuk menganggapinya, namun ia tidak mendengar jelas karena perhatiannya terlanjur tersita oleh suara tawa Gema. Ia kangen mendengar derai tawa cowok itu yang hanya untuknya. Ia kangen melakukan hal-hal konyol dengan Gema.

Di luar, guntur menyambar kencang, disusul hujan deras yang tiba-tiba. Runa jadi teringat masa-masa PDKTnya.

Waktu itu juga hujan seperti ini. Ia hendak pulang, namun lupa membawa payung. Satu-satunya yang bisa digunakan untuk melindunginya dari hujan adalah map plastik dalam genggamannya. Namun dengan hujan selebat itu, ia yakin akan tetap basah kuyup.

“Nggak bawa payung ya?” entah sejak kapan Gema ada di sebelahnya.
Runa mengangguk.
“Gue juga,” Gema nyengir. “Apa boleh buat deh. Hajar aja yuk!”
Runa masih melongo ketika Gema melepas jaket softball-nya. “Bakal tetap basah sih. Tapi lumayanlah, buat nutupin kepala”. Cowok itu kemudian melindungi kepala mereka berdua dengan jaketnya, membuat tubuh mereka tak berjarak selama perjalanan pulang.

“Kok bengong?” Seria melambaikan tangannya di depan Runa.

“Eh?” Runa tersentak,”Nggak. Gue cari udara segar dulu ya”.


Runa memandang tirai hujan dari lantai empat sekolahnya. Ini adalah tempat favoritnya dan Gema. Kalau pagi dan udara masih bersih, dari tempat ini mereka dapat melihat gunung Salak.

“Oi!” Seseorang menjitaknya pelan dari belakang.

“Gema?” Runa tersentak. Hadirnya cowok itu benar-benar seperti hujan di kemarau panjang.

Gema tersenyum lembut, senyum yang sudah lama sudah tidak dilihat Runa.

“Nih,” ia menyodorkan sebuah kotak kado. “Selamat ulang tahun. Kamu curang, milih waktu berantem yang deket hari ulang tahun kamu. Aku jadi terpaksa ngalah deh”.

Runa menerima kado itu dan membukanya. “Gelas?” ia mengeluarkan sebuah mug putih, warna favoritnya.

“Kosong,” Gema mengoreksi.

“Ha?”

“Ini aku tanpa kamu,” Gema menunjuk gelas itu. “Kosong”.

“Gema…” Harusnya aku yang bilang gitu, kamu nggak tahu betapa menderitanya aku tanpa kamu.

Gema kembali berkata sebelum Runa sempat bersuara,
”Jadi, kamu mau kan ngisi gelas aku lagi?”

Runa menatap mata Gema, lalu mengangguk. Hanya bersama Gema sebuah gelas bisa jadi lebih romantis dari bunga atau cokelat, dan hujan-hujanan bisa membuatnya berdebar. Dan Runa bersyukur hari ini ia bisa menyadari itu.

Aku bersyukur, untuk setiap waktu di mana kita saling mengisi

4 comments: