“Ya udah, paling nanti juga kamu duluan yang nyari aku,”
Gema melengos dan meninggalkan Runa di koridor sekolah.
“Huh! Nggak akan!”Teriak Runa pada punggung yang semakin
menjauh itu.
*
Ini sudah hari ke delapan sejak mereka bertengkar. Boro-boro menegur, keduanya
bahkan menghindari kontak mata jika bertemu.
“Mau sampai kapan berantemnya, Non?” Seria sahabat Runa
duduk di sebelahnya. Suasana kelas saat istirahat siang itu cukup ramai. Di
sudut belakang Gema sedang asik bercanda dengan teman-temannya.
“Kalian sekelas loh. Nggak capek apa saling menghindar
gitu?” tanya Seria lagi.
Runa mengamati Gema dari sudut matanya. Jujur, ia tidak
pernah bisa benar-benar melepaskan perhatian dari cowok itu. Ia terbiasa dengan
Gema di sampingnya. Ia ingin menemuinya, meminta maaf. Tapi, demi gengsinya ia
tidak akan membiarkan ucapan Gema tempo hari jadi kenyataan. Ia tidak akan
menghampiri cowok itu duluan.
Kok Gema kelihatannya santai-santai aja sih?
“Apa gue nggak artinya ya buat dia?” Runa bergumam. Seria
berkata sesuatu untuk menganggapinya, namun ia tidak mendengar jelas karena
perhatiannya terlanjur tersita oleh suara tawa Gema. Ia kangen mendengar derai
tawa cowok itu yang hanya untuknya. Ia kangen melakukan hal-hal konyol dengan
Gema.
Di luar, guntur menyambar kencang, disusul hujan deras yang
tiba-tiba. Runa jadi teringat masa-masa PDKTnya.
Waktu itu juga hujan seperti ini. Ia hendak pulang, namun
lupa membawa payung. Satu-satunya yang bisa digunakan untuk melindunginya dari
hujan adalah map plastik dalam genggamannya. Namun dengan hujan selebat itu, ia yakin
akan tetap basah kuyup.
“Nggak bawa payung ya?” entah sejak kapan Gema ada di
sebelahnya.
Runa mengangguk.
“Gue juga,” Gema nyengir. “Apa boleh buat deh. Hajar aja
yuk!”
Runa masih melongo ketika Gema melepas jaket softball-nya.
“Bakal tetap basah sih. Tapi lumayanlah, buat nutupin kepala”. Cowok itu
kemudian melindungi kepala mereka berdua dengan jaketnya, membuat tubuh mereka
tak berjarak selama perjalanan pulang.
“Kok bengong?” Seria melambaikan tangannya di depan Runa.
“Eh?” Runa tersentak,”Nggak. Gue cari udara segar dulu ya”.
Runa memandang tirai hujan dari lantai empat sekolahnya. Ini
adalah tempat favoritnya dan Gema. Kalau pagi dan udara masih bersih, dari
tempat ini mereka dapat melihat gunung Salak.
“Oi!” Seseorang menjitaknya pelan dari belakang.
“Gema?” Runa tersentak. Hadirnya cowok itu benar-benar
seperti hujan di kemarau panjang.
Gema tersenyum lembut, senyum yang sudah lama sudah tidak
dilihat Runa.
“Nih,” ia menyodorkan sebuah kotak kado. “Selamat ulang
tahun. Kamu curang, milih waktu berantem yang deket hari ulang tahun kamu. Aku
jadi terpaksa ngalah deh”.
Runa menerima kado itu dan membukanya. “Gelas?” ia
mengeluarkan sebuah mug putih,
warna favoritnya.
“Kosong,” Gema mengoreksi.
“Ha?”
“Ini aku tanpa kamu,” Gema menunjuk gelas itu. “Kosong”.
“Gema…” Harusnya aku yang bilang gitu, kamu nggak tahu
betapa menderitanya aku tanpa kamu.
Gema kembali berkata sebelum Runa sempat bersuara,
”Jadi, kamu mau kan ngisi gelas aku lagi?”
Runa menatap mata Gema, lalu mengangguk. Hanya bersama Gema
sebuah gelas bisa jadi lebih romantis dari bunga atau cokelat, dan hujan-hujanan
bisa membuatnya berdebar. Dan Runa bersyukur hari ini ia bisa menyadari itu.
Aku bersyukur, untuk setiap waktu di mana kita saling mengisi |
Manisnya!
ReplyDeletesweet :)
ReplyDeletekok jadi senyum-senyum sendiri nih?
ReplyDeletehihihi
so sweet banget :)
ReplyDeletesuka!