Friday, April 26, 2013

God Positioning System


It was a day off yesterday, and I decided to study with a friend. I told my mom that we’re going to go to a cafĂ© at PIK, but I didn’t mention going to Citraland (Ciputra) after lunch hour.

Around half past five at the afternoon, when my friend and I were already at Ciputra—sipping a cup of green tea blend in the midst of our theories about Dexamethasone, my phone rang. It was my mother. “Where are you?” She asked.

“Citraland,” I answered, realizing that I didn’t tell her before. “Is something wrong?”

“That’s odd,” my mother replied. She told me that my car’s GPS showed that I’m at Cilandak from two hours earlier.

I convinced her that I’m at Ciputra and maybe the tracking system was error. I was quite sure that it’s impossible for someone to take my car and brought it to Cilandak. I haven’t spend three hours there and it’d be extremely difficult to drive from Ciputra to Cilandak in less than an hour considering the traffic. But, just to reassure myself, I did check the parking lot. And thankfully, my car is still there.

I texted my mom and told her that everything’s okay. It didn’t take a long time for me to wondered, how often my mom check my GPS when I’m out on my own. I always think that my mom don’t really care about me when I am out. She rarely call me, asking my whereabouts, or just simply check me if I have eaten or not.  I always consider my mom care less than the other parents. But, maybe I’m wrong this whole time. Perhaps this is the way my mom taking care of me, by tracking my GPS and giving me time for myself or with my friends.

Then, I think, if my earthly parents care so much about me, isn’t God beyond all the attention my parents ever gave me? Sometimes we think that He isn’t around, He doesn’t really care about us and we can’t feel His presence. But He is there, watching over us, tracking every single step we take. And if something goes wrong, he’ll simply talk to us. He’ll let us hear His voice, and after that, we’ll realize that He cares all the time.

Thursday, April 25, 2013

Under the Rain Serenade


Hujan.
Lagi.

Satya menatap langit pekat di atasnya. Lobi Jakarta Prime School jadi lebih padat dari biasanya karena anak-anak berdesak-desakan menunggu jemputan. Sambil menyandang ranselnya ia berbalik ke kelas, setengah bersyukur karena rapat OSIS hari ini membuatnya tidak usah pulang di hujan sederas ini. Namun saat hendak berbalik, ekor matanya menangkap gestur seseorang.

Alika. Gadis berambut panjang sebahu itu menyodorkan payungnya pada ibu kantin yang tidak bisa pulang karena hujan. Wanita separuh baya yang terlihat renta itu menggeleng, namun Alika bersikeras menaruh payungnya di tangan ibu tersebut. Akhirnya, sambil mengucapkan terima kasih, ibu itu menerimanya dan berjalan dalam hujan.

Satya tidak begitu mengenal Alika. Gadis itu tidak pernah aktif dalam kegiatan sekolah. Satu-satunya hal yang ia tahu tentang mantan teman sekelasnya itu adalah Alika sangat cerdas. Selalu menempati posisi juara umum di sekolahnya. Sejak mereka beda kelas di tahun kedua mereka, Satya tidak pernah lagi mengobrol dengan gadis itu.

Alika memandang tirai hujan di hadapannya. Ia berdiri di sana. Seolah menikmati setiap tetes yang jatuh dari langit. Impuls, Satya membuka ranselnya.

“Ini,” Satya kini sudah berdiri di hadapan Alika, membuat gadis itu sedikit terkejut melihat payung lipat yang disodorkan padanya. “Elo mau pulang, kan?”

Alika terlihat ragu.

“Gue pulangnya masih lama,” Satya meyakinkan gadis di hadapannya,”Rapat OSIS. Nanti pas gue pulang paling juga hujannya udah berhenti. Elo pake payung gue aja”.

“Tapi—,” Alika membuka mulutnya.

“Udah,” Satya meraih tangan Alika dan memaksa gadis itu menerima payungnya. “Terima aja,” Satya tersenyum lalu berbalik pergi.

Alika terpaku di tempatnya.

Pertama, Satya menghampirinya dan berbicara padanya.

Kedua, cowok itu meminjamkan payungnya.

Mungkinkah Satya memperhatikan tindakannya saat ia meminjamkan payung untuk Bu Narsih tadi?

Alika menatap payung yang kini berada dalam genggamannya. Wajahnya terasa panas di cuaca sedingin ini. Jantungnya yang sejak tadi memompa keras mengalirkan sensasi hangat ke sekujur tubuhnya. Dan seulas senyum yang tidak bisa ditahan lagi terulas di wajahnya. Ia pikir hari ini tidak akan datang. Ia pikir momen seperti tadi hanya ada dalam khayalannya saja.

*
Satya meregangkan tubuhnya saat keluar dari kelas. Rapat OSIS dan hujan memang bukan kombinasi yang tepat. Ia menguap lebar. Sudah satu jam hujan mengguyur dan masih belum ada tanda sedikit pun akan berhenti. Payungnya sudah ia pinjamkan pada Alika, dan itu berarti ia harus menunggu hujan reda agar bisa pulang.

Langkahnya terhenti saat ia melihat sosok seorang gadis yang tertidur pulas di bangku lobi.

“Alika?” Satya menatap wajah mungil di hadapannya. Mulut gadis itu yang sedikit terbuka membuat Satya tidak dapat menahan senyumnya. Rasanya ia bisa menghabiskan waktu lama-lama menikmati pemandangan tersebut. Dalam suasana seperti ini, Alika seperti peri hujan yang sedang tertidur—lupa dengan pekerjaannya.

“Alika,” Satya mengguncang bahu gadis itu pelan.

Alika mengerjap sebentar, lalu terkejut saat mendapati wajah Satya berada begitu dekat wajahnya.

“Kok belum pulang?” Satya bertanya, lalu mengalihkan pandangannya pada payung yang berada di tangan Alika. “Payungnya rusak ya?”

Alika menggeleng. “Ehm,” gadis itu mengigit bagian bawah bibirnya. “Tadi gue pikir hujannya nggak akan berhenti secepat itu. Ternyata gue benar ya?” Alika menatap keluar,”Masih hujan. Elo nggak akan bisa pulang kalau masih hujan, kan?”

Satya tertegun sejenak, lalu tersenyum hangat. Ia meraih payung miliknya kemudian membukanya. “Kalau gitu, mau pulang bareng?”

Mata Alika melebar. “Maksud gue, elo pulang aja,” ia berkata gugup, mendadak kehilangan kalimat,”Biar gue—“

“Ayo,” Satya menarik pergelangan tangan Alika. “Mana mungkin gue ngebiarin cewek nunggu sendirian?”

Alika terdiam, namun ia menurut. Berada di bawah payung yang sama dengan Satya si ketua OSIS? Bukan, Alika mengoreksi dalam hati, dengan Satya yang diam-diam disukainya sejak dulu? Alika bahkan tidak berani memimpikan hal seperti ini.

Satya yang berada di sebelahnya tertawa kecil.

“Kenapa?” Alika bertanya pelan, takut pikirannya terbaca oleh Satya.

“Nggak,” Satya menggeleng. “Gue lagi mikir, kemana aja gue selama ini sampai nggak pernah benar-benar kenal orang kayak elo”.

Alika tersenyum kikuk. Sebagian dari dirinya berusaha mengontrol detak jantungnya yang kelewat cepat. Hari ini, di sini, di bawah payung biru dongker yang melindunginya dari hujan, Alika merasa perasaannya layak untuk diperjuangkan.

picturetakenfrom:weheartit.com

Friday, April 19, 2013

Side effect of falling in love

picturetakenfrom:weheartit.com

A friend of mine called me last night. Another heart emergency thing. And another so called love problem—moving on. It’s kind of the side effect of falling in love, I think. You let yourself pulled by the gravity of love, than you feel those little staccato in your heart. If it is the right person, you’ll be his or her. If it’s not, you’ve to let go.

Letting go doesn’t mean you loose. For me, letting go is a kind of love. Well, the hard part of loving someone. But, it proves your sincerity. It shows that you love the person, enough to see him/her find his/her own happiness.

On that phone call, my friend told me that it’s impossible to forget someone you love. True. I agree. Erasing someone you care a lot from your brain is Alzheimer’s job. But I believe, the term of moving on isn’t literally forgetting someone you love. It is an expression of letting go. To forget means to not bring him or her up, to not let your heart being controlled by the person anymore. To be happy when our loves find their own love. And, to let yourself find a new one.

Tuesday, April 16, 2013

Melempar Mimpi


Di saat kamu berada di antara dua pilihan yang sulit, percayalah, hatimu selalu mengetahui keinginannya—Jo
picturetakenfrom:weheartit.com

Kara menatap langit senja yang memayunginya. Sore seindah ini pasti akan jadi menyenangkan kalau saja kondisi hatinya tidak sepahit sekarang. "Pergi… Nggak… Pergi… Nggak…" Kara menghembuskan napas berat.

"Otago kan nggak sejauh itu, nggak sampai sehari semalam juga nyampe," ia teringat kata-kata Jo, sahabatnya, saat dirinya mengeluh bingung untuk menerima beasiswa yang didapatnya.

"Elo bodoh, Kar, kalau sampai nggak ngambil beasiswa itu. Coba pikirin berapa banyak orang yang ngantri untuk dapat kesempatan itu," Lila, teman sebangkunya, juga memberikan dukungan yang senada.

"Coba ingat-ingat lagi, kenapa awalnya kamu memutuskan untuk mengajukan beasiswa?" Kini gantian suara Ayah yang terngiang,"Kamu bilang ingin jadi orang sukses kan? Ingin belajar apa namanya itu? Chemical engineering?"

"Tapi sukses kan nggak harus jauh-jauh nyebrang samudera," begitu kata Bunda yang masih nggak yakin anak sulungnya bisa survive di negeri orang,"Di Indonesia kan juga bisa".

Kalau aku, Kara membatin, apa yang sebenarnya aku inginkan?

Benar kata Ayah, bahwa ia sangat menginginkan beasiswa itu. Otago adalah universitas impiannya sejak dulu. Belajar di negeri setenang New Zealand sudah menjadi angan-angannya sejak ia berlibur ke sana dua tahun lalu. Jurusan yang didapatnya juga sudah sesuai dengan cita-citanya. Ia juga senang setengah mati begitu mendapat email yang mengatakan bahwa ia menerima full scholarship di sana. Tapi, di saat tanggal keberangkatannya semakin dekat, ia semakin punya banyak alasan untuk tetap tinggal.

Apa ia bisa hidup sendiri di sana? Apa ia sanggup menjalani hari tanpa Jo, sahabatnya yang selama ini selalu membantunya. Apa ia rela melepas karirnya di dunia musik yang baru saja dimulai? Pergi ke Otago berarti tidak jadi menggelar resital harpa keduanya, pergi ke Otago berarti vakum di industri musik selama entah berapa lama. Selain itu, ia juga masih ingin jadi relawan untuk Alfabet, sebuah organisasi non profit milik sepupunya yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak jalanan. Tahun ini rencanaya mereka akan mengadakan tur untuk memperkenalkan organisasi tersebut.

Kara terlalu mencintai seluruh kegiatannya di Jakarta. Seluruh hidupnya terasa lengkap di sini. Chemical engineering kan nggak harus di Otago, hati kecilnya berbisik. Tapi di sana, ia pasti akan mendapat ilmu lebih. Belajar lebih mandiri, mengenal kultur dan budaya negara lain. Jadi sukarelawan kan juga nggak harus di Jakarta. Di sana ia masih bisa mencari organisasi dan bergabung di dalamnya. Di sana ia juga masih bisa main musik kalau mau.

Kara menerawang jauh ke depan, dan tanpa ia sadari, Jo sudah berdiri di sebelahnya. "Masih bingung?" tanya cowok itu.

"Kadang gue berharap gue nggak pernah apply beasiswa ke Otago. Diterima cuma bikin gue tambah bingung".

"Coba dengerin kata hati lo," Jo tersenyum.

"Hati gue bingung, Jo," Kara merasa lelah. Capek memikirkan untung dan ruginya untuk setiap pilihan yang hendak diambilnya.

"Kalau gitu, let's try this," Jo mengeluarkan dompetnya, dan mengambil sebuah koin dari sana.

"Elo mau menentukan pilihan hidup gue dengan ngelempar koin?" Kara tertawa.

"Coba dulu," Jo meyakinkan,"Angka untuk Otago, gambar untuk tetap tinggal di sini. Setuju?"

Kara diam sejenak. Konyol rasanya menentukan pilihan sepenting ini dengan undian koin, namun akhirnya ia mengangguk juga.

Jo melemparkan koin ke udara. Kara memperhatikan koin itu melayang sebelum akhirnya kalah oleh gravitasi dan mendarat di punggung tangan Jo. Cowok itu menutup koin dengan tangannya yang satu lagi. "Angka, atau gambar?"

Kara menggigit bagian bawah bibirnya dengan cemas. Untuk sepersekian detik selama koin itu melayang bebas di udara, ia berharap hasilnya adalah angka. "Angka".

Jo membuka tangannya. "Then, Otago it is," Jo memperlihatkan koinnya.

Kara mengenyit,"Tapi hasilnya kan gambar".

"Yang penting bukan hasilnya, Kar," Jo menyerahkan koinnya kepada Kara,"Tapi apa yang lo harapin dari hasilnya. Elo berharap angka kan? Itu artinya, di hati lo yang terdalam, elo memilih pergi".

Kara menatap koin di tangannya. "Otago".

"Suatu hari nanti, kalau elo diperhadapkan dengan dua pilihan sulit seperti hari ini, elo akan tahu bahwa hati lo tetap menginginkan salah satunya lebih besar daripada yang lain".

Thursday, April 11, 2013

Selamatkan Indonesia dengan Tawa: A Review of Finding Srimulat

picturetakenfrom:google.com

Senang banget rasanya bisa menyaksikan film ini di hari pertama pemutarannya. Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu seorang teman mengajak saya nonton film ini, katanya Finding Srimulat bagus, tayangnya 11 April 2013. Rasanya excited banget begitu ada teman yang berinisiatif ngajak nonton film Indonesia. Karena penasaran, saya langsung mencari trailer-nya. Baru menonton trailernya saja sudah membuat saya merinding. Dan hari ini, ketika akhirnya bisa menyaksikan filmnya, saya sama sekali tidak kecewa, film ini keren.

Finding Srimulat bercerita tentang seorang pemuda bernama Adi (Reza Rahardian) yang memiliki kesulitan keuangan karena perusahaan tempatnya bekerja hampir bangkrut akibat pengkhianatan seorang rekan kerjanya, JoLim (Fauzi Baadilla). Keadaan semakin sulit karena pada saat itu, istri Adi, Astrid (Rianti Cartwright) sedang membutuhkan biaya untuk operasi Caesar anak mereka. Untungnya, di tengah kesulitan tersebut, Adi bertemu dengan Kadir, salah satu legenda pemain Srimulat. Dari sana ia mendapat ide untuk mengumpulkan kembali anggota Srimulat yang tersisa (Tessy, Mamie, Gogon, dkk) dan menghidupkan kembali budaya Indonesia yang sempat ditinggalkan tersebut.

Jujur, saya tidak terlalu mengenal Srimulat. Ingatan saya tentang Srimulat terasa begitu samar. Saya tahu nama pemain-pemainnya, tapi saya sama sekali tidak ingat kekhasan atau jargon-jargon yang menjadi ciri Srimulat. Rasanya saya dilahirkan di saat kejayaan Srimulat mulai meredup. Tapi, hari ini, ketika menonton film ini, saya sangat menikmatinya. Akting dari setiap pemain Srimulat terasa sangat jujur, hingga seolah saya dapat merasakan kerinduan mereka untuk kembali berpentas. Secara keseluruhan, film ini dikemas dengan gaya komedik dan tetap berhasil men-deliver maknanya melalui adegan dan dialog yang menyentuh.

Menyaksikan film ini membuat saya menyadari, bahwa betapa disayangkannya Srimulat—yang menjadi legenda komedi di Indonesia harus mati tergilas zaman. Padahal, menurut saya, budaya yang sudah berakar seperti ini seharusnya dilestarikan. Diturunkan dari generasi ke generasi, agar dunia—atau minimal Indonesia tahu, bahwa negara ini memiliki budaya yang patut diacungi jempol. Agar generasi berikutnya tahu, bahwa ternyata ada loh bentuk komedi yang bernama Srimulat, dan Srimulat itu hanya milik Indonesia. Dan tentu saja, agar kita semua dapat merasa bangga memiliki Srimulat.

Sayangnya, film Indonesia yang memiliki ide berkualitas seperti malah tidak tayang serentak di seluruh bioskop. Lucu rasanya melihat sebagian besar bioskop Indonesia malah tidak menayangkan film Indonesia. Bagaimana anak muda mau mencintai film Indonesia kalau akses untuk menonton film lokal kita begitu sulit? Dan bagaimana juga perfilman Indonesia bisa maju jika anak mudanya tidak mengenal film Indonesia?

Namun, terlepas dari itu semua, saya sangat merekomendasikan film ini. Baik bagi yang sudah mengenal Srimulat dan merindukannya, maupun bagi yang belum tahu apa itu Srimulat. Saksikanlah, dan bersiaplah untuk terharu, tersentuh, dan tentu saja tertawa di sepanjang film. Mari SELAMATKAN INDONESIA DENGAN TAWA!