Kepada Vega, yang paling berkilau dalam naungan Lyra. Aku
mencintaimu.
Malam ini aku datang lagi. Mengamatinya dalam diam.
Menjaganya sementara ia tertidur pulas. Cahaya temaram dari lampu tidur
menyorot wajah lembutnya.
Ia tenang. Namun aku tahu, tenangnya tidak akan bertahan
lama. Aku mulai menghitung: Satu, dua… tiga.
Tuh kan? Ia terlonjak.
Aku tahu yang selanjutnya akan terjadi. Ia duduk, kemudian
terisak. Ujung rambut panjangnya yang tergerai bergerak naik turun di
punggungnya.
Patah hati. Sesakit itukah rasanya?
Setiap malam ia memimpikan hal yang sama. Memutar memori
seminggu lalu, saat sahabatnya mencuri orang yang berharga dalam hidupnya.
Dalam setiap helaan napas ia tahu telah jatuh cinta pada
orang yang salah. Ia tahu, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu, tapi tak
dapat mengendalikannya.
Seharusnya ia bahagia sekarang. Ia mendapatkan mimpinya
sejak kecil: Jadi yang pertama di kejuaraan figure
skating. Tapi konsep kita tentang kebahagiaan selalu berubah seiring waktu.
Ia menginginkan lelaki itu. Lelaki yang menghempaskannya dari kenyataan di hari
yang sama dengan kemenangannya.
Aku mendengar tangisnya mereda. Ia selalu begitu, kehabisan
air mata ketika pagi menjemput. Ia merebahkan dirinya, kembali dalam tidur.
Cukup. Sudah terlalu lama aku melihatnya terluka. Kalau aku
tidak dapat memeluknya di dunia ini, aku tidak akan hilang akal.
Aku menciptakan sebuah dimensi dari udara. Sebuah celah
terbuka, dan aku melangkah ke dalamnya.
*
Vega berjalan tak menentu dalam ruang hampa. Ia tahu ini
mimpinya.
“Halo,” sapa seseorang. Vega berhenti dan menatap matanya.
Laki-laki di depannya ini nampak gagah dengan pakaian hitam bersalut emas.
Penampilannya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Vega yang mengenakan
piyama.
“Kamu… Siapa?” Vega bertanya ragu, namun ia terbius dengan
pesona dan paras rupawan dihadapannya sehingga tidak merasa takut sedikit pun.
“Galen,” Pria itu membungkuk, aura hangatnya menenangkan
hati,”Ksatria bintang. Sang Penjaga Malam”.
Vega terdiam. Hatinya terasa damai. Ia baru pertama kali
melihatnya, namun ia merasa begitu rindu.
Galen tersenyum hangat. Ia berlutut, kemudian meraih sebelah
tangan Vega.
Vega sedikit terlonjak dengan aksi tiba-tiba nan manis
tersebut.
Masih dengan jemari Vega dalam genggamannya, Galen berkata
sambil menatapnya dalam,”Jadilah milikku, mau?”
Bagaimana caranya memberi tahu mu bahwa aku selalu di sini? |
Mauuuuuuu.
ReplyDelete*salah fokus*