Monday, January 25, 2016

menunggu.

“Ah ini,” Alex menggenggam cincin yang menjadi bandul di lehernya. “Gue nggak pernah sempat ngasih ini ke dia”.

“Kenapa?” Anggia melirik Alex, laki-laki itu menatap senja dengan ekspresi yang tak dapat Anggia artikan, seperti merindu akan seseorang yang teramat sangat, seperti menantikan sesuatu yang tak kunjung datang. “Did she leave?”

Sort of,” Alex menghela napas berat.

“Kemana?” Anggia bertanya ragu. “Did she went somewhere you can’t reach her?”.

Alex menatap Anggia sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke langit. “Not really”.

Did she…” Anggia menggantung kalimatnya sebelum melanjutkan. “Did she left forever?”

Alex tertawa kecil. “Apa maksud lo? Tentu aja nggak. Gue nggak akan di sini kalau gitu”.

“Jadi? Kenapa lo nggak ngasih cincin itu ke dia?” Anggia terdiam lalu menyadari sesuatu. “Kalian putus?”

Alex terbahak. “Gue nggak akan pakai cincin ini kalau gue putus”.

“Jadi kenapa dong?”

Alex tersenyum tipis. “Gue nggak akan pernah lupa malam itu. Satu-satunya malam saat gue nge-book resto fancy khusus buat ngelamar Alya. Setengah mati gue mempersiapkan kata-kata yang bagus buat ngelamar dia, dan tiba-tiba aja di tengah makan malam dia memberi gue satu kabar yang rasanya bikin seluruh dunia gue runtuh seketika. Dia diterima kerja di Houston. Alya pernah bilang kemungkinan dia kecil banget diterima dan dia hampir ngelupain lamaran dia ke Houston, but then the good news came, dan shit, gimana mungkin gue mencegah dia buat pergi. It’s her dream job. Gue nggak mungkin bisa ngelupain bagaimana matanya berbinar-binar saat cerita ke gue soal dia keterima kerja, dan gue juga nggak bisa ngelupain bagaimana gue berusaha menjaga hati gue tetap utuh sementara rencana gue hancur di depan mata gue".

“Lo nggak jadi ngelamar Alya malam itu?”

Alex menggeleng. “Elo nggak tahu seberapa berat gue menahan diri gue untuk nggak berlutut di depan Alya malam itu, ngeluarin cincin yang udah gue siapin di kantong celana gue, dan menanyakan pertanyaan yang—damn, sejak tiga tahun lalu ingin gue tanyakan ‘will you marry me?’, tapi ngeliat Alya yang begitu bahagia malam itu, gue tahu gue harus ngebiarin dia ngejar mimpinya dulu. Gue nggak bisa jadi egois dan membebani dia dengan pilihan yang sulit. So I made the choice for her, I’ll wait”.

Anggia terdiam.

“Beberapa teman yang tahu gue membatalkan lamaran gue bilang gue gila. Mereka bilang gue bodoh karena melepas Alya, mereka bilang gue mungkin aja kehilangan Alya. Dia mungkin banget ketemu laki-laki lain di luar sana yang lebih baik dari gue. Dan ya, mungkin gue emang cowok paling bodoh di dunia.”


Anggia menggeleng. “Nggak juga ah, I think it’s romantic, because anyone can say ‘I love you’, but only a little can say ‘I’ll wait for you’, jadi, ya, elo memilih pilihan yang tepat, Lex, nunggu Alya pulang”.

picturetakenfrom:pinterest.com

Monday, January 18, 2016

Out Now! Memoria

Aku mengeluarkan ponsel. 1 Reminder: Rega’s Birthday. 18 Desember. Tujuh hari sebelum Natal. Pukul 5.30 sore.
Kami selalu merayakan ulang tahun Rega tepat pada jam lahirnya. Biar lebih afdol, Rega selalu beralasan. Aku memejamkan mata, membayangkan Rega berada di hadapanku. Duduk bersamaku, bercerita tentang banyak hal, tertawa saat ia meniup lilin ulang tahunnya.
Aku mengeluarkan lilin yang telah kusiapkan dari dalam tas menancapkannya pada cupcake di hadapanku, kemudian menyalakannya. Gula-gula putih yang bertaburan di atasnya terlihat berkilauan dalam temaram cahaya lilin. Cantik. Mengingatkanku pada pemandangan serupa yang pernah kulihat bersama Rega tahun lalu—kilauan air laut yang ditimpa matahari senja. Kami menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di tepi pantai sore itu. Tidak ada kegiatan praktis apapun. Hanya diam dan menikmati laut sambil ditemani angin sore yang terasa lengket di kulit.
Lilin itu indah ya. Sebuah kalimat yang pernah dilontarkan Rega tergiang begitu saja. Kelihatan rapuh sekaligus kuat. Kayak manusia.
Aku menatap api yang menari-nari ringan pada seutas sumbu putih yang menjadi tumpuannya. Seperti berusaha mempertahankan keberadaannya yang nyaris hilang. Padahal ia bisa menjadi kuat jika mau. Padahal, ia bisa menjadi senjata paling mematikan—menyulut kayu dan membakar habis ruangan ini jika ia mau. Tapi toh lilin ini memilih berpendar malu-malu, membakar habis dirinya sendiri. Seperti sudah bosan untuk hidup.
“Selamat ulang tahun, Rega.” Aku meniup lilin tersebut, berharap Rega juga sedang melakukan hal yang sama di mana pun ia berada.



Secuplik kisah Maira dan Rega, baca selengkapnya di novel terbaru saya ‘Memoria’, sudah dapat dibeli di Gramedia terdekat :).

Saturday, January 2, 2016

selamat tahun baru :)

Entah sial atau apa, tahun ini adalah tahun kedua saya menghabiskan malam tahun baru di rumah sakit. Rasanya ingin mengeluh, iri melihat teman-teman saya yang lain dapat menghabiskan malam tahun baru dengan berlibur di luar negeri, atau menunggu detik-detik pergantian tahun dengan makan malam bersama. Sementara saya, saya harus merelakan dua malam tahun baru saya berlalu begitu saja tanpa seremoni apa pun.

Tahun lalu, saya melalui malam tahun baru di sebuah rumah sakit di Sukabumi, dan harus puas dengan sepotong pizza ditengah-tengah kelelahan menerima pasien. Dan kemarin, saya menghabiskan malam tahun baru saya di sebuah ruang perawatan intensif, ditemani bunyi monitor sebagai penghitung waktu mundur menuju tahun baru. Kesal rasanya, saya ingin protes, tapi toh saya sadar, siapa saya hingga saya berhak untuk marah. Karena di tengah-tengah kekesalan saya, saya menyadari banyak hal. Bahwa di bawah gemerlap nyala kembang api yang menyelimuti ibu kota, ada seorang pria yang sedang meregang nyawa. Bahwa di sisi lain, di saat sebuah keluarga sedang menghabiskan makan malam dengan penuh canda, ada keluarga lain yang sedang menatap sebuah bangku kosong karena ini adalah malam tahun baru pertama yang mereka lewati tanpa orang yang mereka kasihi. Bahwa di saat sebagian dari kita menghitung detik-detik menuju tahun baru, ada seorang ibu yang sedang menghitung napas anaknya, berharap anaknya dapat hidup satu detik lagi, satu menit lagi, satu hari lagi. Bahwa di antara riuhnya bunyi terompet tahun baru, ada sedu sedan sebuah keluarga yang baru saja kehilangan seorang ayah. Bahwa tidak semua dari kita menyambut tahun yang baru dengan sukacita.


Selamat tahun baru, selamat mensyukuri hal dan orang-orang terkasih yang masih kita miliki hingga saat ini.

picturetakenfrom:pinterest.com