Aku menatap sosok sempurna itu. Binar matanya membawaku pada
masa-masa bahagia kami. Saat ia menggelayut manja di lenganku, saat ia bersemu
malu-malu mendengar rayuanku.
Aku menyentuh pipinya. Lembut dan dinginnya mengingatkanku
pada perjumpaan pertama kami. Di tengah rintik hujan dengan seragam putih-abu,
sepuluh tahun silam.
Aku menyusuri bibirnya dengan ibu jariku, merasakan hembusan
napasnya yang memburu. Aku menyeringai, terlempar pada kilasan memori yang
menorehku. Sekujur tubuhku berdenyut, bahkan pesonanya tak mampu meredakan
gelegak amarah yang memuncak.
Aku mengecup lehernya. Wangi chamomile yang samar berbaur
dengan denyut nadinya yang tak teratur.
Aku menggigit telinganya ringan. “Selalu sama seperti yang ku ingat”.
“Kamu manis,” kataku.
Aku menggigit telinganya ringan. “Selalu sama seperti yang ku ingat”.
Ia terisak pelan sebelum aku melumat bibirnya. Dalam.
Melampiaskan semua nafsu dan sakit hati yang pernah disayatkannya. Aku
merasakan tubuhnya berguncang. “Percayalah, bukan seperti ini aku menginginkan
mu mengenangnya,” aku meraih kepalanya dengan kedua tangan, dan mendekatkannya
pada wajahku. Tatapannya tidak lagi sama. Bukan pandangan terkagum dan cinta
yang aku temui di sana. Hanya ngeri.
Aku mengecup keningnya, kelopak matanya, hidungnya,
bibirnya, terus turun hingga ke leher. Berharap semua bisa berubah. Napasku
memburu, merasakan hal yang selama ini terus ku simpan rapat keluar dari
persembunyiannya.
“Jangan,” erangnya. Dalam setiap jeritnya aku merasa
tersiksa, tapi aku terlalu terluka untuk berhenti. Aku ingin ia melakukan hal
yang sama, memberikan yang sama seperti yang telah diberikannya pada lelaki
itu.
“Aku mohon jangan, Frey!” Ia memalingkan wajahnya.
Mengguncang kedua tangannya yang terikat di belakang. Air mata hangat membasahi
pipinya. Aku menyekanya.
“Apa yang kamu mau?” Ia bertanya putus asa.
“Aku menginginkan mu, Vaya”.
Ia hanya menangis pilu. Aku meraih rambutnya yang tergerai
dan menghirup aroma manisnya. Manis yang membuatku tak pernah merelakannya
jatuh kepelukan lelaki lain.
Manis yang menguasai dan merasuk, membutakan hatiku.
Aku mengeluarkan sebuah pistol. Mengarahkan benda itu pada
pelipisnya. Matanya terpejam. Lima tahun aku mendambanya saat ia menjadi milik
lelaki itu. Kalau ia tidak pernah memilih untuk kembali padaku, biar maut yang
menjadi pilihannya. Aku menyentuh ujung pelatuk.
“DOR!”
Di tengah kesadaranku yang mengabur aku melihatnya tergugu.
Meneriakkan namaku dengan segenap kekuatan. Aku tersenyum lemah padanya. Terima
kasih pada aroma manis itu, yang mengingatkan ku untuk meninggalkan akal gilaku
walau hanya selama sepersekian detik. “Selamat tinggal, Vaya…”
No comments:
Post a Comment