Saturday, January 14, 2012

Kamu Manis, Kataku


Aku menatap sosok sempurna itu. Binar matanya membawaku pada masa-masa bahagia kami. Saat ia menggelayut manja di lenganku, saat ia bersemu malu-malu mendengar rayuanku.

Aku menyentuh pipinya. Lembut dan dinginnya mengingatkanku pada perjumpaan pertama kami. Di tengah rintik hujan dengan seragam putih-abu, sepuluh tahun silam.

Aku menyusuri bibirnya dengan ibu jariku, merasakan hembusan napasnya yang memburu. Aku menyeringai, terlempar pada kilasan memori yang menorehku. Sekujur tubuhku berdenyut, bahkan pesonanya tak mampu meredakan gelegak amarah yang memuncak.

Aku mengecup lehernya. Wangi chamomile yang samar berbaur dengan denyut nadinya yang tak teratur.

“Kamu manis,” kataku.

Aku menggigit telinganya ringan. “Selalu sama seperti yang ku ingat”.

Ia terisak pelan sebelum aku melumat bibirnya. Dalam. Melampiaskan semua nafsu dan sakit hati yang pernah disayatkannya. Aku merasakan tubuhnya berguncang. “Percayalah, bukan seperti ini aku menginginkan mu mengenangnya,” aku meraih kepalanya dengan kedua tangan, dan mendekatkannya pada wajahku. Tatapannya tidak lagi sama. Bukan pandangan terkagum dan cinta yang aku temui di sana. Hanya ngeri.

Aku mengecup keningnya, kelopak matanya, hidungnya, bibirnya, terus turun hingga ke leher. Berharap semua bisa berubah. Napasku memburu, merasakan hal yang selama ini terus ku simpan rapat keluar dari persembunyiannya.

“Jangan,” erangnya. Dalam setiap jeritnya aku merasa tersiksa, tapi aku terlalu terluka untuk berhenti. Aku ingin ia melakukan hal yang sama, memberikan yang sama seperti yang telah diberikannya pada lelaki itu.

“Aku mohon jangan, Frey!” Ia memalingkan wajahnya. Mengguncang kedua tangannya yang terikat di belakang. Air mata hangat membasahi pipinya. Aku menyekanya.

“Apa yang kamu mau?” Ia bertanya putus asa.

“Aku menginginkan mu, Vaya”.

Ia hanya menangis pilu. Aku meraih rambutnya yang tergerai dan menghirup aroma manisnya. Manis yang membuatku tak pernah merelakannya jatuh kepelukan lelaki lain.

Manis yang menguasai dan merasuk, membutakan hatiku.

Aku mengeluarkan sebuah pistol. Mengarahkan benda itu pada pelipisnya. Matanya terpejam. Lima tahun aku mendambanya saat ia menjadi milik lelaki itu. Kalau ia tidak pernah memilih untuk kembali padaku, biar maut yang menjadi pilihannya. Aku menyentuh ujung pelatuk.


“DOR!”




Di tengah kesadaranku yang mengabur aku melihatnya tergugu. Meneriakkan namaku dengan segenap kekuatan. Aku tersenyum lemah padanya. Terima kasih pada aroma manis itu, yang mengingatkan ku untuk meninggalkan akal gilaku walau hanya selama sepersekian detik. “Selamat tinggal, Vaya…”

No comments:

Post a Comment