Monday, December 30, 2013

A Toast!



To new beginnings
in fear and faith
and all it tinges

To love is a dare
when hope and despair,
are gates upon it hinges.

-Lang Leav

Saturday, December 28, 2013

To all heroes


What does make a person a great hero? A special ability? A super cool suit? A great villain? When I was a kid, a hero for me is someone who saves the world. Somebody like power ranger.

Then as I went to school, everybody said that a hero is someone who does a noble thing. Someone like teacher. And I start to believe so. A teacher is a hero.

As I grow up and start to see the world in a quite different perspective, I realize that a hero comes in an unexpected form too. Like in a form of an old lady who wakes up very early in the morning to sell food in your canteen. Or someone who do your chores to make a living.

But then, as I know some people deeper. I start to think that they can be hero too—that they deserve to be called a hero. When you know someone a little bit deeper, you can tell that there is a hero inside everyone. There is a hero inside your best friend whom you talk to everyday. There is a hero inside someone you dislike. There is a hero inside someone you can’t understand. There is a hero inside someone who you think is an outcast. There is a hero inside you. A hero doesn't have to come with an uber cool suit or with a great knack. In fact, a hero can come in any suit, in many forms. An it comes in a form of you too J

Tuesday, December 17, 2013

Paradise




I’m in a brand new adventure
where the sparks of the stars
and a drop of morning dew
and rays of light between leaves
can make me smile all day

I’m in a magical place
Where clouds are so fluffy and colorful
Where unicorns and fairy and pixie dust are real
Where rain taste as sweet as honey

I’m in a new chapter
Where syllables can’t describe a thing
and words are no longer the main artists
The letters scrambles
twirling in a lovely motion

I’m somewhere between meadow and the sky
            Floating between delight and bliss
            I’m somewhere
            somewhere…
           
           


Friday, December 13, 2013

the magic of the rain


I love rain. Maybe because things seem a little bit different when it’s raining. Maybe because we can see things we won’t see on usual day. Seperti melihat dua orang anak berseragam sekolah yang asik mengobrol sambil menerobos hujan—seolah basah kuyup bukanlah hal besar. Seperti melihat seorang bocah penjaja koran yang mengetuk jendela mobil saya dengan tatapn iba. Atau, sesederhana merasakan kebaikan kecil dari orang yang sama sekali tidak terduga.

It was pouring when I wanted to get back from campus today, and I forgot to bring my umbrella. Setelah berputar-putar mencari jalan keluar yang paling dekat dengan tempat parkir, saya berkesimpulan bahwa nggak mungkin banget masuk mobil tanpa kebasahan. Hujannya deras, dan angin yang kencang membuat saya kebasahan bahkan ketika saya berdiri di tempat teduh. Saya menunggu, tapi sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Tidak betah menunggu terlalu lama tanpa teman, saya berpikir untuk menerobos hujan saja. Tapi lalu saya melirik bawaan saya—dua jilid skripsi yang baru saja jadi dan ditandatangani dosen. Saya lebih rela diri saya yang kehujanan dibanding skripsi saya, namun menerobos hujan berarti harus rela membiarkan dua buku hijau tersebut kebasahan. Saya menimbang sejenak. Lalu ragu. Namun keputusan terakhir saya adalah tetap menerobos hujan.

Baru saja hendak melangkah, tiba-tiba cleaning service yang sejak tadi sibuk mengepel di sebelah saya bertanya,”Mau kemana, Dek?”

“Mau ke parkiran, Mas,” jawab saya sambil menunjuk mobil saya yang terlihat dari tempat saya berdiri. Tidak terlalu jauh, tapi tetap saja mustahil berjalan ke sana tanpa basah kuyup di hujan selebat itu.

“Oh,” cleaning service yang tidak saya ketahui namanya itu lalu bergegas ke belakang, kemudian meminjamkan saya sebuah payung. “Ini pakai aja, Dek”.

Setengah terkejut dan bersyukur, saya menerima payung tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Hari ini saya—dan skripsi saya, diselamatkan oleh seorang petugas cleaning service yang tidak pernah saya sapa sehari-hari. And in the middle of the rain I smiled, mungkin hujan nggak hanya meluruhkan awan yang menggumpal pekat di langit sana, tapi juga meluruhkan kebaikan yang ada di hati sebagian orang.


picturetakenfrom:pinterest.com

Wednesday, December 11, 2013

ask the reason why


In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him. —Ender, Ender’s Game

I remember when I was a kid when there’s a friend who wasn’t willing to share something with me, my parents told me to share something for him/her instead. Why doing good to people who treated us bad? For a five-year-old girl, it didn’t make any sense. And maybe, it even doesn’t make any sense for some of the adults.

But Bible told us to love our enemies. To pay attention to them and treat them well. Hard? Of course it is. Like I said earlier, it even doesn’t make any sense for some people. But impossible? No.

As I grow up, instead of getting mad at people whose act I can’t stand, I try to think the reason they did such things. I usually wonder, what kind of family he/she grows up in. What kind of childhood did he/she have been through? What kind of life that she/he has to bear? Is there any kind of wound his/her heart suffers? It’s difficult at the beginning, but as I getting used to it, it helps me to love them. Sometimes when you get to know the answers for those questions, you’ll be surprised. Because most of the time, the people you hate—the people you dislike, are the people who need to be heard. They are people who—surprisingly, need to be loved the most.

You’ll realize that those traits you don’t like from your enemies, most of the times are the results from their childhood experiences. Isn’t this kind of thing occurs to all people, including us? Who we are today are made from what we experienced in the past. And that makes all of us equal. Equally to be loved.

Next time you feel too difficult to love your enemy, try to understand them. It helps.


picturetakenfrom:pinterest.com

Wednesday, December 4, 2013

live for something greater



I don't know what to say watching this video (you can click here if the video won't play). Merinding, terharu, and... I was thinking, this kind of thing should be our job to do. Video ini diambil di Indonesia, tempat yang seharusnya jadi ladang kita. Aware dengan struggle mereka harusnya jadi tugas kita, karena kita sebagai warga Indonesia harusnya punya akses yang lebih mudah ke mereka. It may be too much if I say we should make something like this, holding a fundraising or so on, but it can be started from something small. Something tiny. Yourself. Dimulai dengan mengubah cara pandang kita yang salah terhadap mereka. Dimulai dengan menyadari bahwa ODHA juga bisa dan berhak loh hidup dengan cara yang sama seperti kita.

Monday, December 2, 2013

out of control

picturetakenfrom:doodlealley.com


Not in control is good, and somehow, magical :)

Friday, November 29, 2013

a gift

Elena mengernyitkan dahi tatkala menatap langit yang siang itu tampak cerah tanpa awan. Dalam hati ia mengeluh karena lupa memakai sunblock tadi pagi. Alarm yang tidak berbunyi tanpa sebab membuatnya terburu-buru berangkat ke kampus, dan kini, sengatan matahari pukul tiga siang terasa membakar kulitnya yang tidak mempunyai melanin sebanyak orang Indonesia kebanyakan.

“Elena!” Sebenarnya Elena enggan menoleh, ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam mobil untuk menghindari sinar matahari yang terasa semakin membara. “Elena!” panggil suara itu lagi, yang akhirnya membuat Elena berbalik sambil melengos malas.

“Sky Bar? Malam ini?” Seorang pria berambut kecoklatan dengan kacamata berbingkai kotak menghampirinya.

Elena menggeleng. “Gue pass deh malam ini, Do".

Really? Kita baru aja selesai ujian dan dapet libur satu setengah bulan, and you don’t even want to celebrate it? Ini nggak elo banget, El. Ada apa sih?”

“Nggak ada apa-apa,” Elena tersenyum hambar. “Lagi nggak mood aja. Lain kali mungkin,” Ia melambaikan sebelah tangannya, lalu berbalik, berharap Nando tidak mengejarnya untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

Elena menekankan sidik ibu jarinya pada kenop mobil hingga pintu terbuka. Ia masuk, dan secara otomatis mesin mobil segera menyala. “Rumah,” perintah Elena tanpa semangat.

“Ada tujuan lain sebelum rumah?” Terdengar suara seorang wanita yang berasal dari komputer mobil. “Tidak,” Elena menggeleng.

“Kemudi manual atau otomatis?” Komputer itu bertanya lagi.

“Otomatis”. Mobil segera melaju meninggalkan pelataran parkir kampus. Elena meraih tablet dari dalam tasnya. Benda tipis transparan tersebut langsung menyala begitu ia menyentuhnya. Elena mengecek e-mailnya. Ia tersenyum tipis saat menemukan e-mail yang dicarinya—terselip di antara banyaknya e-mail hasil ujian yang dikirim langsung oleh professor yang mengajarnya. Elena membuka e-mail tersebut, e-mail konfirmasi bahwa pesanannya tiba hari ini.  Sebuah pohon natal mungil berdesain gaya lama—bukan pohon natal dengan rancangan lean dan modern yang membosankan seperti yang sekarang sedang tren. Elena menatap foto pohon natal hijau pesanannya dengan puas.

Mobil yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang, menunggu hingga gerbang terbuka otomatis dan mobil itu terparkir manis dengan sendirinya. Elena menatap dua mobil yang juga terparkir di garasi dengan tatapan keruh.

“Sudah makan?” suara komputer menyambutnya begitu ia menginjakkan kaki di rumah.

“Sudah,” Elena berbohong, ia sedang tidak ingin makan apa pun. Ia hendak menaiki tangga dan mendapati Mama sedang duduk di pantry sambil menyesap secangkir kopi. Elena membuka mulut, namun ia mengurungkan niatnya. Elena tersenyum kecut sambil menelan kembali perkataannya. Padahal Mama di rumah, padahal Papa di rumah, tapi tetap saja yang menyambut kepulangannya adalah komputer.

Elena membuka pintu kamar dan mendapati sebuah kotak transparan berisi pohon natal pesanannya. Masih polos, tapi sebentar lagi ia akan menghiasnya. Elena menyapukan pandangannya ke sekeliling kamar. Ruangan yang tadinya serba putih itu kini penuh dengan dekorasi merah dan hijau. Ia suka sekali berada di kamarnya, berbeda dengan suasana di luar yang dingin dan kaku—kamarnya kini terasa hangat dengan aura Natal yang pekat.

Baru saja Elena menggantung beberapa ornamen pada pohon natalnya, suara ribut terdengar dari lantai bawah. Elena mengigit bibir—berusaha tidak peduli pada kegaduhan tersebut, ini bukan pertama kalinya terjadi di rumah. Ia bahkan sudah hampir terbiasa dengan hal semacam ini.

PRAAAANGG!! Elena menebak benda apalagi yang hari ini menjadi korban. Ia beranjak menuju player-nya, dan menyetel musik dengan volume maksimal. Tapi suara-suara itu tetap tidak hilang. Kesal, akhirnya Elena menyambar tabnya.

“Richie, elo dimana?” Beberapa detik kemudian wajah Richie muncul di layar.

“Di gereja, latihan buat Christmas Carol,” jawab sahabatnya itu.

“Oke, gue ke sana.”

Great, kebetulan ada sesuatu yang pengen gue kasih ke elo”. Elena segera menyambar tasnya tanpa menghiraukan kalimat terakhir Richie. Ia menuruni tangga, berusaha untuk tidak mendengar dan melihat pertengkaran kedua orang tuanya di ruang tengah. “Gereja,” ia memberi perintah pada komputer mobilnya. “Kemudi manual”. Elena menginjak pedal gasnya dalam-dalam.


“Gue benci Natal tahun ini,” Elena membiarkan kalimatnya keluar begitu saja, sementara Richie duduk di sebelahnya. “Dan tahun-tahun sebelumnya. Gue nggak ingat kapan terakhir kali gue natalan dengan tenang”.

“Ini soal orang tua lo lagi ya?” Richie menatap sahabatnya itu lama.

It’s like I get a terrible Christmas gift every year!” Nada Elena naik seoktaf, tidak peduli dengan tanggapan Richie. Selama ini hanya pada Richie ia bisa bercerita tanpa sensor tentang apa pun. Hanya sahabatnya itu yang bisa membiarkannya menumpahkan segala kekesalannya dan membiarkannya menangis sampai puas.

“Natal bukan soal kado, iya kan?” Richie berusaha untuk tetap tenang di sebelah sahabatnya yang meledak-ledak. “Let’s say, you get an awful present, it can’t be the reason to say that you’re having a bad Christmas. Bukannya itu alasan elo tetap suka Natal? Bukannya itu alasan elo tetap menghias kamar lo tiap tahunnya? Christmas is about who have came years ago, and will come back anytime soon, isn’t it?” Richie berhenti sebentar sebelum akhirnya melanjutkan. “Dan lagi, mungkin tahun ini kado Natal lo nggak akan seluruhnya buruk”. Ia menyodorkan sebuah kotak berpita putih.

Elena menatap Richie tidak percaya, baru kali ini sahabatnya itu memberinya kado Natal. “Elo sehat?”

“Sehat banget,” Richie nyengir.

Elena menarik pita yang membungkus kotak tersebut, lalu membukanya. Isinya adalah sebuah bando bertanduk rusa. Elena tertawa kecil. Satu lagi yang ia suka dari Richie adalah cowok itu selalu tahu cara menghentikan tangisnya di saat yang tepat.

Richie mengambil bando tersebut dan memakaikannya pada Elena. “Mau datang ke malam Natal bareng?”

Elena tersenyum, mungkin Natal tahun ini nggak seburuk yang ia bayangkan.


picturetakenfrom:weheartit.com