Monday, March 31, 2014

The One


Where is my ‘the one’? Have you met your ‘the one’? What if she/he is not my ‘the one’?

Who is your ‘the one’ anyway? A man? A woman? Is your ‘the one’ even a person? What if your ‘the one’ is God?

A GOD.

Put aside those fairytale of Cinderella met her prince in a ball, or the magic kiss that unite Snow White with the love of her life. Have you ever, ever, ever think that our life is better than those stories? You don’t need to suffer like Cinderella, or ‘die’ like a Snow White, you don’t need to do anything to find ‘the one’, your ‘the one’ find you by himself.

So, instead of wondering where your ‘the one’ might be now, or question your partner whether she/he is ‘the one’, why don’t you prepare yourself to be ‘the one’?

Expect God to be your ‘the one’, cause when you put your expectation into a human, you’ll only put a burden on your partner. Then, you'll be disappointed. Then, you'll never be in a healthy relationship. There is no one can complete you and satisfy you other than God. He is the one.

Then, when you make your God become ‘the one’ of your life, you will treat your partner better. You will be able to love, to forgive, to treat your partner with grace, because you’ve experienced it in God.


Thursday, March 13, 2014

a perfect fit


It was my 24th day in hospital. Hari ke-24 pertama saya belajar di rumah sakit—jadi dokter muda, katanya. Saya di tempatkan di poli mata sebuah rumah sakit pendidikan. It was an ordinary morning. Dengan langit yang bersalut awan kelabu dan sedikit sisa rintik hujan, AC di ruang praktik yang selalu terlalu dingin, beberapa pasien sudah masuk ke ruangan.

Lalu, saat rutinitas hari itu sudah akan dimulai, ternyata beberapa dokter sedang seru berdiskusi. “Masa perawat dari poli mata dirotasi ke THT?” Begitu salah seorang dokter berkata,”Perawat kan juga butuh keterampilan. Setiap poli punya alat-alat khusus yang hanya bisa dipakai perawat terlatih.”

“Dirotasi supaya tidak jenuh kata atasan,” Dokter lain menimpali. “Atasan kan tidak tahu perawat kita. Beliau tidak tahu mereka siapa, kerja mereka apa. Kalau bicara jenuh, kita juga jenuh. Tapi, ada banyak pekerjaan yang tidak sembarang perawat bisa kerjakan.”

And out of nowhere begitu mendengar percakapan mereka saya langsung berpikir, Thank God, we have Him as our God, because He knows every single detail of us. Dia Allah yang tahu kita siapa, dan hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan.

Dan kalau sekarang kita jenuh di tempat kita yang sekarang, kalau kita bertanya-tanya ‘untuk apa sih saya ada di sini?’ Believe, that our God knows what he is doing. Kalau kamu ada di tempatmu yang sekarang, it means that He wants you to be there. Tempat di mana kamu berada sekarang adalah ladangmu, kerjakanlah itu. Karena nggak semua orang bisa mengerjakan apa yang kamu kerjakan sekarang. Because you’re there for a purpose and only you can fulfill the purpose. 

Saturday, March 8, 2014

tiket


“Mau atau nggak?”

Pertanyaan dengan nada setengah mendesak itu menusuk gendang telinga Irina. Jantungnya berdegup keras. Ia menelan ludah. Ia tahu jawabannya akan membawa perubahan besar—bahkan mungkin mengubah seluruh hidupnya.

Irina tidak pernah benar-benar punya pilihan. Segala sesuatu dalam hidupnya seakan sudah diplot. Masuk jurusan bisnis selepas SMA, melanjutkan studi S2 di UK setelah lulus, mengambil alih perusahaan multi nasional ayahnya di usianya yang ke-26, menikah dengan anak dari salah satu rekan bisnis ayahnya, lalu punya anak sambil mengurus perusahaan.

Dan sekarang—tepat di depan matanya, tergeletak secarik kertas HVS berukuran A4 dengan tulisan besar-besar di atasnya.


University of Rochester
Eastman School of Music
***

Tiketnya untuk hengkang dari cetak biru yang telah disusun ayahnya sejak dulu. Irina menggigit bagian bawah bibirnya. Tangannya kini bergetar kecil di sisi tubuhnya.

“Ini gara-gara gue main api ya, Vik?” Irina melirik Viko, sahabatnya yang sejak tadi menunggu. Ia nggak pernah menyangka tindakan iseng-isengnya mendaftar scholarship di salah satu universitas ternama di New York itu akan membuahkan hasil.

Viko menggeleng kecil. “Ini gara-gara lo ngikutin kata hati lo.”

Mata Irina bergerak ke bawah, menyusuri deretan huruf yang lebih kecil. String faculty—Strings, harp, and guitar department. “Harpa,” bisik Irina, mendadak ia dapat membayangkan dirinya memetik alat musik kesayangannya itu di salah satu panggung di Rochester.

“Tunggu apalagi, sih?” Viko mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. “Bukannya selama ini harpa yang jadi teman lo? Bukannya selalu harpa yang jadi mimpi lo?”

Irina masih mematung. Seumur hidupnya ia tahu bahwa harpa adalah keinginan terbesarnya—cita-citanya. Tapi ia juga tahu posisinya. Di mana ia berada—di bawah atap keluarga Samara, pemilik salah satu perusahaan multi nasional terbesar di Indonesia. Seluruh langkah hidupnya diatur dan diawasi oleh keluarga besar. Dan banting setir dari bisnis ke musik—yang menurut sebagian besar keluarganya nggak punya masa depan, adalah pilihan nekat.

“Ini hidup lo, Ri. Bukan hidup bokap lo. Bukan hidup keluarga besar lo. Coba bayangin, kalau suatu hari nanti elo berdiri di atas kantor perusahaan bokap lo dengan segala kemewahan dan kesuksesanny, dan elo ngeliat hidup lo, elo yakin nggak akan menyesal nggak ngambil pilihan ini? Elo yakin akan bahagia dengan proyek dan tender bermilyar-milyar dan bukannya duduk di atas panggung sambil memetik harpa kesayangan lo itu? Elo pilih yang mana, Ri?”

Yang kedua. Tentu saja yang kedua. Irina bergidik ngeri membayangkan dirinya terperangkap di balik meja dalam kantor Ayahnya. Ia ingin musiknya—harpanya. Ia ingin mimpinya. Dan kalau pada akhirnya ia gagal, ia tahu ia nggak akan menyesal karena pernah mencoba. “Tapi—“ Irina membayangkan akan seperti apa reaksi ayahnya.

Viko tersenyum, seakan tahu apa yang ada di dalam kepala sahabatnya. “Kalau itu memang mimpi lo, maka mimpi itu patut diperjuangkan kan?”