Tuesday, March 29, 2016

Blue Summer

Kimmy memejamkan mata sambil menghirup napas dalam-dalam. Suara ombak yang memecah tepian pantai, angin yang terasa lengket di kulit, aroma laut bercampur garam, dan yang paling ia sukai—hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulitnya. Ia rindu suasana seperti ini, suasana yang nggak akan ia temukan di Glasgow, tempatnya bersekolah. Tempat yang musim panasnya bahkan kadang masih dapat membuatnya mengancingkan cardigannya rapat-rapat.

Kimmy membuka mata. Dihadapannya berdiri sebuah kafe kecil bercat putih. Hampir seluruh sisi kafe itu terbuat dari kaca, membuat interiornya yang bernuansa putih biru terlihat dari luar.

Sempurna. Kimmy tidak tahan untuk tidak menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Sudah lama ia menantikan liburan musim panas seperti ini. Hanya ia, laut, segelas es kelapa, dan buku Other Colors-nya Orhan Pamuk yang menanti untuk dihabiskan.

Kimmy melangkah menaiki tangga kayu menuju sebuah sofa kecil yang tampak nyaman. Namun, baru saja ia hendak menghempaskan tubuhnya di sana, sudut matanya menangkap sesuatu yang familiar. Ia menoleh ke kanan, ke sebuah balkon yang menghadap ke laut. Seorang pria berdiri di sana.

Pria itu berdiri menatap laut dengan kedua siku bertumpu pada pagar kayu di depannya, rambutnya yang hitam kecoklatan tampak lembut tertiup angin laut, garis punggungnya yang tegas tercetak jelas dibawah balutan t-shirt putih yang dikenakannya. Kimmy terdiam selama sepersekian detik. Berusaha mencari tahu apa yang membuat dirinya begitu tertarik pada sosok itu.

Tepat saat Kimmy begitu ingin melihat wajahnya, laki-laki itu berbalik. Sepintas memori melintasi otaknya. Kimmy membiarkan kedua bibirnya terbuka sedikit. Kedua mata di hadapannya balas menatapnya, manik matanya yang hitam gelap seakan mampu menusuk jauh ke dalam hatinya. Garis wajah laki-laki itu jauh lebih tegas dan keras dari yang diingatnya, namun Kimmy tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang pernah mengisi hari-harinya, membuatnya bermimpi dan berharap, wajah yang pernah membuatnya tersenyum lebar, wajah yang pernah membuatnya merona, wajah yang pernah dinantikannya setiap hari, wajah yang sama yang pernah merobek hatinya, membuatnya hancur, dan tak pernah utuh lagi.

“Bill”.

“Kimberly”.

Untuk beberapa detik yang lama mereka bergeming di tempat masing-masing. Hanya saling menatap, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hingga akhirnya Bill lebih dulu mengambil langkah berani.

“Gue selalu yakin kita bakal ketemu lagi,” Bill menyunggingkan senyum jenaka yang tak akan pernah Kimmy lupakan. Senyum yang pernah membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

“Oh ya? Kenapa?”

“Karena kamu suka laut. Kamu suka pantai”.

Kamu. Kimmy tersenyum tipis, rasanya tak ada yang berubah dari mereka. Cara Bill memanggil dirinya masih terasa begitu personal.

“Dan aku tinggal di tempat yang kamu sukai”.

“Ada banyak pantai dan laut di Indonesia, kenapa kamu bisa sangat yakin?”

Bill tertawa kecil. Tawa yang masih begitu menggelitik telinga Kimmy.

Lagi-lagi Bill menyunggingkan senyum boyish­-nya. Senyum yang jauh lebih hangat dari matahari pesisir. “Karena aku yakin semesta punya caranya sendiri untuk mempertemukan orang-orang yang ditakdirkan untuk bersinggungan”.

Kimmy menaikkan kedua alisnya. “Darimana kamu belajar kata-kata itu?”

Bill beranjak dari tempatnya, ia berjalan menuju Kimmy. “Hei, maaf kalau aku merusak liburan musim panasmu, maaf kalau bertemu denganku membuatmu teringat akan sakit hatimu. Tapi, aku senang kita bertemu lagi, dalam keadaan yang jauh lebih baik, jauh lebih tenang. And once again I’d like to say that I’m sorry.

Kimmy tak tahan untuk tidak mengulas sebuah senyum tipis di wajahnya. Sebenarnya, ia juga senang bertemu dengan Bill lagi, dalam keadaan hati yang jauh lebih baik, tanpa emosi, tanpa sakit hati, tanpa rasa marah. “It’s okay”.

So, we’re cool?


Yeah, we’re cool”.