“Kok malah ketawa?” ujarku cemberut, sadar bahwa tawanya
mengundang lirikan ingin tahu dari beberapa pengunjung café.
Ia masih tetap tertawa, hanya saja kali ini sedikit ditahan.
“Apanya yang lucu sih?”
“Haha… Sori-sori, abis muka kamu kalau lagi ngambek gitu
lucu sih,” ia memberi alasan. Sorot mata jenakanya pasti sudah membuatku
meleleh andai aku tidak sedang marah.
“Huh!” Aku membuang muka.
Sisa tawanya masih terdengar.
“Ya udah deh, aku nggak ketawa ya. Senyum aja”. Ia melipat tangannya di atas meja, dan mencondongkan tubuhnya ke arah ku.
“Ya udah deh, aku nggak ketawa ya. Senyum aja”. Ia melipat tangannya di atas meja, dan mencondongkan tubuhnya ke arah ku.
Ia menatapku dalam. Aku terpaku, tenggelam oleh sorot dan
pesonanya.
Ia masih tetap tersenyum, hatiku mulai melunak. Ah, aku
memang tidak pernah menang darinya.
Ia menyentuh tanganku hangat dan mengusap-usapnya. Setengah
mati aku memerintahkan diriku untuk mengabaikannya.
Ia masih tidak bersuara, hanya mencurahkan segenap
perhatiannya padaku.
Aku luluh. Perlahan sudut bibirku tertarik, tidak dapat
menahan untuk tidak ikut tersenyum.
No comments:
Post a Comment