Saturday, January 21, 2012

Rumah Cokelat: A review from a not-mom-reader




Let's dance in the rain too, instead of just surviving the storm. --Wigra

Excited banget pas Mbak Sitta Karina akhirnya rilis buku lagi. Udah terlalu lama kayaknya nggak ada update buku dari Mbak Sitta. Yah, walaupun kali ini genrenya momlit, tapi berhubung saya fans beratnya Mbak Sitta, akhirnya saya beli juga bukunya. Buat saya, apa pun genre-nya nggak masalah, apalagi Mbak Sitta sempat bilang via twitter kalau Rumah Cokelat adalah novel easy-reading. Bukan cuma itu saja, rasanya tiap membaca karya-karya Mbak Sitta selalu ada ilmu yang bisa diserap, dan hal itulah yang bikin saya nagih.

Seperti novel-novel Mbak Sitta yang lain, Rumah Cokelat enak banget untuk di baca. Ringan, tapi tetap nggak kehilangan maknanya. Novel ini mengangkat isu sehari-hari menjadi sesuatu yang segar untuk dibaca, dan tentu saja, untuk direnungkan esensinya.

Walaupun masih jauh dari menjadi seorang ibu, Rumah Cokelat membangun sudut pandang baru untuk saya. Misalnya, mengenai fakta bahwa ternyata menjadi orang tua juga merupakan proses belajar, sama seperti menjadi anak atau remaja. Mereka sama bingungnya, sama ‘kelimpungan’nya, hanya tentu saja berbeda pada masalah yang dihadapi. Mereka juga pernah salah, dan tentu saja takut salah. Nggak semua yang dilakukan orang tua itu benar, tapi seandainya ada yang salah, mereka akan berusaha untuk memperbaikinya. Seperti Hannah dan Wigra yang sibuk tapi berusaha mati-matian menyediakan waktu untuk Razsya, anak mereka. Walaupun hasilnya nggak sempurna, at least, they’ve tried and make it better.

Building a family is actually a life-time learning for parents and children in it.

Banyak hal menarik yang bisa didapat dari novel ini. Salah satunya adalah ternyata menjadi orang tua juga nggak lepas dari masa transisi. Seperti Hannah yang harus ‘pindah’ dari kerja kantoran jadi freelancer merangkap ibu rumah tangga; ‘pindah’ dari yang tadinya bisa gegilaan sewaktu lajang jadi harus main bareng anak. Ternyata, bukan remaja aja yang direpotkan dengan adaptasi, menjadi orang tua pun begitu. Apalagi mempertahankan sebuah keluarga nyatanya nggak semudah yang dibayangkan banyak orang, meskipun dari luar keluarga itu kelihatan adem ayem.

Intinya, setelah membaca buku ini, saya jadi lebih menghargai kedua orang tua saya atas apa saja yang telah mereka perjuangkan, korbankan, dan berikan demi membangun sebuah keluarga yang layak dan nyaman untuk anak-anak, dan tentu saja mereka sendiri.

Buat yang belum baca Rumah Cokelat, novel ini recommended banget untuk light-reading yang sarat makna. Bersiaplah untuk tenggelam dalam keseharian keluarga Andhito yang riweh, 'gedubrakan', hectic, namun tetap layak untuk dipertahankan dan dinikmati. After all, keluarga adalah tempat untuk pulang, tempat untuk menjadi diri sendiri, dan diterima apa adanya.

No comments:

Post a Comment