Thursday, January 26, 2012

Sah!


“Bagaimana, Bapak, Ibu? Sah?” tanyamu dengan wajah polos sambil menoleh kanan kiri.

“SAH!” sahutku lantang yang duduk di sebelahmu.

Kemudian kita sama-sama bertepuk tangan dan berteriak riang.

“Ares! Kana! Kalian ini, kecil-kecil sudah main nikah-nikahan!” sebuah suara menghentikan kami. Kamu buru-buru melepaskan peci ayahmu dan menyembunyikannya di belakang tubuh. Sumber suara itu kini berdiri menjulang di hadapan kita. “Duh, Kana! Kamu lagi, kok bisa-bisanya ngambil kebaya Ibu?! Ayo kalian berdua masuk! Ares, tadi ayahmu telepon katanya sebentar lagi jemput”.

“Ibu, boleh fotoin kami nggak?” tanyaku takut-takut sambil mengulurkan sebuah kamera. Ibu mendelik, pasti takjub dengan keahlianku mengambil barang-barang yang seharusnya tersimpan rapi di atas lemari. “Boleh ya, Bu? Sekaliii aja,” aku memelas, dan Ibu pun luluh.

Klik! Sebuah foto dengan sepasang pengantin cilik berlatarkan halaman depan rumah pun tercipta.

*

Aku terkikik menatap foto itu. “Elo masih inget ini, Res? Kemarin ketemu pas gue lagi beres-beres kamar”.

Kamu yang sedang mengemudi melirik sekilas, kemudian terbahak,”Aib banget tuh! Masih ada aja ya ternyata”.

Kamu dan aku. Tidak ada yang banyak berubah di antara kita kecuali usia yang kini menginjak dua puluh. Kita tetap menjadi sepasang yang tak terpisahkan, berbagi senang dan susah, tangis dan tawa, dan hal-hal lain yang tidak akan pernah bisa kita ungkapkan pada orang lain.

“Ngomong-ngomong, sebentar lagi Mas Bayu nikah loh, elo datang kan?” aku mengingatkan.

“Datang dong. Mas Bayu kan udah kayak abang gue sendiri,” kamu menanggapi,”Akhirnya sebentar lagi dia sah jadi istrinya Mbak Niken ya? Padahal dulu mereka berdua berantem melulu”.

Aku mengangguk. “Rumah pasti bakal sepi deh kalau nggak ada Mas Bayu”.

“Kan masih ada gue yang sering main,” kamu tersenyum lebar,”Tapi, lucu ya. Bagaimana ternyata sebuah kata bisa mempersatukan dua orang sekaligus memisahkannya lagi”.

“Maksudnya?”

“’Sah’, kata itu juga kemarin gue denger di sidang perceraian orang tua gue,” kamu berkata ringan, seolah sudah mati rasa atas segala yang terjadi dalam keluargamu.

“Nggak ada yang tahu bagaimana sebuah hubungan bakal berakhir, Res,” aku berkata.

“Kalau kita?” kamu menoleh padaku. “Kita ini akan berakhir sebagai apa? Teman? Sahabat? Pacar? Atau itu dalam versi dewasa?” kamu menunjuk foto kita yang masih dalam genggamanku.

Aku tersenyum sambil mengedikkan bahu. “Yang jelas elo adalah bagian terpenting hidup gue. Entah apakah ada istilah yang tepat untuk menggambarkannya. We are beyond those words, Res”.

“Oke. Jadi mulai sekarang kita ini teman, sahabat, pacar, dan lebih dari itu ya?” Kamu berkata jenaka. “Sah?”

“Sah,” aku mengangguk.

“Tapi bukan suami istri ya?” kamu bertanya lagi, setengah menggoda.

“Hm… Yang itu mesti nanya saksi dan nunggu penghulu dulu. Kamu mau? Mungkin kita bisa nanya Mas Bayu biar sekalian,”aku sengaja memperlihatkan mimik serius.

“Atau kita bisa minjem baju mereka setelah akad nikah dan bikin foto kayak gini,” Kamu mengambil foto kita,”Kayaknya yang ini udah terlalu jadul. Gambarnya udah nggak jelas”.

Tawa kita berderai.

Aku ingin terus seperti ini, berada di sisimu. Berbagi dan melakukan banyak hal bersamamu. Selamanya.

4 comments:

  1. Ah suka ini. Bagus sekali dalam menulis dialog. Aku belum terlalu bisa.

    Idenya juga. Sah. ternyata memang bisa menyenangkan dan bisa menyedihkan. :'(

    But the end is sweet! :D

    ReplyDelete
  2. Nanti mereka beneran jadi suami istri kan yah? *cemas*

    ReplyDelete
  3. @minky_monster, namarappuccino: many thanks! :))
    @Melissa: iya nih, aku juga cemas jadinya, hihi...

    ReplyDelete