Sunday, January 15, 2012

Aku Maunya Kamu Titik!


Hari ini dia ada lagi di sana. Di tengah kerumunan penonton yang duduk di baris terdepan. Perhatianku tersedot oleh keberadaannya yang duduk tepat berseberangan denganku, padahal aku seharusnya menyaksikan Vega berlaga.

Gadis itu meluncur luwes di atas landasan es. Tubuh mungilnya terlihat sempurna dalam balutan kostum ketat figure skating. Ia berputar, melakukan putaran arabesque-nya dengan sempurna. Aku mempertahankan kameraku, berusaha merekam setiap gerakan seperti yang ia minta.

Dari bangku ku, aku bisa melihatnya tersenyum, bertepuk tangan ketika Vega melakukan gerakan-gerakan sulit. Aku iri? Pasti. Vega cantik, berbakat, dan memiliki penggemar setampan dia.

Tentu saja Vega juga tahu dia ada di sana. Cowok itu selalu datang dalam setiap babak selama kejuaraan ini berlangsung. Vega bilang, kalau ia berhasil menjadi juara satu di babak final ini, ia akan menyatakan cinta padanya.

Aku menggigit bibir, teringat betapa antusiasnya Vega ketika menceritakan rencana itu padaku. Sakit, tapi aku tak pantas melarangnya.

Aku melirik sosok itu lagi. Ia dengan jaket hitamnya, dan tangan dimasukkan ke saku celana.
Aku jatuh cinta padanya. Diam-diam.
Sama seperti ia jatuh cinta pada Vega diam-diam. Sama seperti Vega yang juga diam-diam merasakan hal yang sama.

Tanpa sadar kameraku mengarah padanya. Menangkap setiap lekuk sempurna wajahnya. Kedua matanya terus mengikuti gerakan Vega. Ketara sekali kalau ia terkagum.

Gemuruh tepuk tangan di sekeliling arena membuat kesadaranku kembali. Aku melihatnya beranjak. Ia membawa sebuah buket bunga di tangan. Hatiku mencelos, tahu sebentar lagi perasaan ini harus ku buang jauh-jauh.

“Gimana gue tadi? Bagus nggak?” Vega tiba-tiba sudah memelukku erat, ia mengenakan jaket biru di atas kostumnya.

“Bagus banget. Elo pasti juara deh,” aku tersenyum tipis.

“Doain ya. Supaya gue rencana gue bisa terlaksana,” Vega mengerling seraya tersenyum lebar.

Aku membalasnya dengan anggukan. Vega terlalu bersemangat untuk menyadari perubahan sikapku.

“Ya udah, gue ke dalam dulu ya, ganti baju,” Vega menepuk punggungku lalu berbalik memasuki gedung utama.

Sepeninggal Vega, aku melihat laki-laki itu mendekat. Senyumnya terkembang sempurna. Buket bunga disembunyikannya di belakang badan. Ini adalah detik-detik terakhirku bisa mencintainya.

“Kalau mau ketemu Vega, dia lagi di ruang ganti,” Aku menunjuk ke pintu gedung saat kami akhirnya berhadapan. Bodoh, seharusnya aku mengajaknya ngobrol, bukan malah mempertemukannya dengan Vega.

“Ketemu Vega?” Ia menaikkan kedua alisnya jenaka.

“Loh, bukannya kamu mau ketemu Vega?”

“Aku maunya kamu,” jawabnya sambil menyerahkan buket bunga yang sejak tadi ia sembunyikan.

“Aku?” tanyaku tak percaya,”Tapi…”

“Nggak ada tapi-tapian. Aku maunya kamu titik!”

Mengagumimu tak pernah sama dengan mencintai

2 comments: