Mereka
di sini lagi. Duduk bersisian dengan ditemani secangkir teh hangat. Langit senja selalu nampak memukau dari ketinggian, dan Kirana betah
duduk berlama-lama di bawah kaki langit seperti saat ini sambil mengantar mentari
pulang dan menyaksikannya ditelan malam.
“Na…”
panggil Josa yang duduk di sebelahnya. Ia tidak dapat melihat wajah gadis itu
karena sekarang Kirana menyandarkan kepala di bahunya.
“Kirana,”
panggilnya lagi saat gadis itu bergeming.
“Kirana,”
kali ini suara Josa terdengar waspada, dipegangnya sebelah bahu Kirana.
“Tenang
aja, Josa… Aku belum mati,” Kirana mendongakkan kepalanya cepat sambil
terkikik. Ia senang menggoda Josa seperti ini.
“Berapa
kali sih aku bilang? Jangan bercanda kayak gitu!” sergah Josa. Jantungnya masih
berdetak cepat saat ia mengamati wajah pucat Kirana yang tertimpa cahaya oranye
mentari. Masalahnya gadis itu butuh pengawasan ekstra, atau seperti yang sering
dikatakan secara gamblang oleh Kirana: ia
bisa mati kapan saja. Belakangan ini penyakit myasthenia gravis-nya semakin parah, dan Kirana
tahu waktunya sebentar lagi.
“Jangan
terlalu tegang. Aku nggak mau lihat kamu cepat tua,” Kirana tertawa. Josa
selalu kagum dengan ketegaran gadis itu menghadapi penyakitnya.
“Aku
nggak mau lihat kamu cepat pergi,” Josa mendesah seraya mengecup puncak kepala
Kirana. Entah berapa lama lagi ia bisa menghirup aroma gadis itu.
“Langitnya
cantik,” Kirana mengalihkan pembicaraan. “Senja selalu indah ya, Jos? Indah
tapi singkat”.
Seperti kamu, Josa menambahkan dalam hati.
“Kira-kira,
berapa senja lagi ya yang bisa kita lihat bersama?” tanya Kirana, ia menyeruput
teh manisnya. “Kalau dari surga, senja kelihatan secantik ini nggak ya?”
Kirana
masih terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris, sementara Josa dengan
sabar mendengarkan, sambil sesekali menanggapi. Ia jadi bertanya dalam hati,
seandainya Kirana tidak sekarat, apa mereka akan menghabiskan waktu seperti
saat ini? Duduk berdua di puncak gunung, sambil menikmati angin sore. Apa ia
akan menyadari betapa berharganya gadis ini?
“Ah, aku
ke toilet dulu ya,” Kirana bangkit lalu bergegas ke dalam pondok.
Josa
menunggu hingga punggung Kirana menghilang sepenuhnya sebelum melancarkan aksi
yang sejak tadi ditahannya.
“Sudah
waktunya ya?” ia bertanya pada udara kosong di depannya. Perlahan sesosok
wanita cantik berpakaian serba hitam muncul di hadapannya.
“Iya.
Pukul 18.00, penyebab kematian: gagal napas,” wanita itu berkata datar, seolah
sudah terbiasa menyebutkan hal serupa,”Menarik juga kamu bisa melihatku. Sebuah
keuntungan atau kerugian, eh?”
Josa
tidak menjawab. “Kalau aku memintamu tidak membawanya?”
“Tentu
saja tidak bisa. Ini sudah tugasku, mengantar rohnya ke tempat yang tenang”.
“Kalau
menundanya, bisa?”
Wanita
itu mendengus. “Kalian manusia, kenapa selalu berusaha melawan kematian?
Bukankah setiap manusia pasti mati? Cepat atau lambat kamu harus merelakannya”.
“Kamu
bicara seperti itu karena tidak pernah merasakan cinta,” Josa menjawab, hatinya
teriris mengingat sebentar lagi orang yang dicintainya akan direnggut paksa.
“Cinta?”
wanita itu tertawa,”Kenapa kalian mengagung-agungkan hal serapuh itu?”
“Menurutmu,
kenapa aku bisa melihatmu?” bukannya menjawab Josa malah bertanya,”Mungkin saja
karena aku bisa mencegahmu kan?”
Melihat
kegigihan pria dihadapannya, wanita itu diam sejenak. “Baiklah. Kalau kamu
bersikeras, sebenarnya ada satu cara, tapi…”
“Apa?”
Josa menyambar cepat.
“Nyawa
tetap harus ditukar dengan nyawa,” wanita itu menjelaskan,”Kamu bisa
melindunginya, tapi keberadaanmu di dunia ini akan lenyap”.
“Jadi
aku bisa mati menggantikannya?”
“Bukan.
Eksistensimu tidak akan pernah ada. Keluargamu tidak akan mengingatmu, tidak
akan ada seorang pun di dunia ini yang menyadari bahwa kamu pernah ada,
termasuk Kirana. Kamu akan menghilang, seolah-olah tidak pernah dilahirkan”.
“…”
“Bagaimana?”
tanya wanita itu lagi,”Waktu kita tidak banyak.”
“Baik,
aku terima tawaran itu,” Josa menyanggupi.
Alis
kedua wanita itu terangkat, belum pernah ia menemui seseorang dengan
determinasi seperti ini,”Jadi kamu rela menukar cawan hidupmu dengan miliknya?”
Josa
mengangguk mantap.
*
Tetes-tetes
air masih membasahi bumi, namun di tengah dinginnya udara sore mereka duduk di
depan pondok. Menanti langit senja dengan ditemani secangkir teh hangat.
“Gerimis,”
laki-laki itu bergumam.
Gadis
yang bersandar di bahunya mengangguk,”Tapi tetap cantik”. Angin sore yang
terasa sejuk di kulit bertiup lembut, seolah mengukuhkan keberadaan mereka.
“Aku
mencintaimu, Kirana,” Josa menggenggam tangan Kirana lembut, namun gadis itu
tidak bereaksi. Dalam jarak sedekat ini ia dapat merasakan napas gadis itu
mengalun seirama dengan miliknya. “Selalu mencintaimu”.
“Aku
senang sekali hari ini. Terima kasih mau menemaniku ke sini,” Kirana menatap
sepasang mata hitam di sebelahnya, wajahnya kini lebih segar, persis seperti
yang Josa ingat ketika mereka pertama kali bertemu.
“Kirana…”
Pemilik mata yang mempesona itu berkata dengan suara rendah, “Menikahlah
denganku”.
Josa
melihat wajah Kirana melembut, ia lalu mengangguk penuh haru. Dipeluknya tubuh
lelaki sempurna itu dan membiarkan hangatnya menjalari tubuhnya.
Ia bahagia,
Josa menatap pasangan di depannya sendu. Perlahan ia membiarkan tubuhnya melayang
di udara. Meninggalkan Kirana dengan laki-laki yang ditakdirkan untuknya.
“Cinta,”
wanita dengan pakaian serba hitam muncul di sampingnya,”Membuat seseorang mampu
melakukan apa pun ya?”
“Sekarang
kamu tahu kan betapa hebatnya perasaan itu?” Sebelah tangan Josa membuat
gerakan di udara, dan dalam sekejap sebuah pelangi membusur indah.
“Pelangi,”
ia dapat mendengar suara riang Kirana dari bawah sana.
Iya, Kirana. Pelangi. Sebuah janji bahwa aku akan
melindungimu selamanya. Demi secangkir senja untuk kamu nikmati setiap hari.