Hari
ini genap 23 tahun aku menghirup udara di bumi.
Mereka
bilang hidup adalah perayaan. Maka untuk setiap tahun yang berhasil kamu lewati,
kamu harus merayakannya.
Tapi
selebrasi hanyalah sementara. Begitu juga dengan kado. Aku tidak ingin mobil seperti
yang teman-teman sebayaku mimpikan, tidak ingin perhiasan yang selangit
harganya, maupun gaun desainer kelas dunia. Aku tidak ingin itu semua, karena
hal-hal paling berharga di dunia ini bukanlah barang.
Tentu
saja ada hal yang aku inginkan. Kalau ini adalah hari lahirmu, kamu pasti
memiliki harapan, bukan?
Aku
menatap dinding kosong di hadapanku. Membayangkan sebentuk wajah yang begitu
akrab.
Aku
merindukan Ibu. Ibu dengan kerut-kerut samar di sudut matanya. Ibu yang selalu
melihatku dengan sorot teduh, namun berganti luka terakhir kali aku melihatnya.
Ibu
ingat hari ini?
Pintu
jeruji di depanku terbuka. Seorang petugas berseragam masuk.
“Kamu
kedatangan tamu”.
Kami
berjalan melalui keremangan koridor, lalu berbelok di ujung.
Di
hadapanku tersusun beberapa meja. Sinar matahari menembus masuk, menyinari
debu-debu yang berterbangan.
Namun
semua detil itu tidaklah penting. Mataku tertuju pada sebuah kue dengan lilin
kecil yang menyala. Di belakangnya aku mendapati harapan terbesarku. Ia terlihat
jauh lebih tua, dengan keriput dan uban yang semakin nyata.
Aku
tergugu menatapnya. “Ibu memaafkanmu, Sayang”.
No comments:
Post a Comment