Aku
mengamatinya dalam diam.
Memperhatikan
jemari jenjangnya menari-nari di atas deretan keyboard. Sesekali ia akan berhenti. Menatap layar laptop sejenak, dan membiarkan kerutan
samar menghiasi keningnya.
Aku
mengamatinya dalam diam, namun tak sedetik pun aku merasa bosan.
Aku
mengagumi setiap lekuk wajahnya. Rahang tegasnya, kedua alis pekat yang
menaungi mata teduhnya, dan tulang hidung yang terbentuk sempurna.
Aku
mengagumi tangan kokohnya. Dan aku tahu, akan ada waktu-waktu dimana ia
membiarkan tangan itu menyentuhku.
Seperti
saat ini. Ia mendekatkan dirinya padaku. Menghirup aromaku, dan menempelkan
bibir tipisnya pada bibirku.
Ini
alasan mengapa aku mengamatinya dalam diam dan tak sedetik pun merasa bosan.
Aku
selalu menantikan saat-saat ini. Menikmati setiap momen ketika kulit kami
bersinggungan.
Aku
mengamatinya dalam diam, dan malam ini, sudah sepuluh kali ia menyentuhku di
sela-sela kesibukannya.
Jarinya
kembali memelukku, mengalirkan sensasi hangat yang selalu aku rindukan. Ia
kembali mendekatkan bibirnya pada milikku.
“Ah…”
desahnya, ia menarik kembali wajahnya dengan muram.
Aku
menatapnya kecewa.
Ini
pukul dua dini hari. Dan kafein sudah kehilangan daya magisnya.
No comments:
Post a Comment