“Arga
punya gebetan baru!” teriakan Rey dari pintu kantor pagi itu menjadi pembuka
hari yang pahit,”Namanya Danya Ramanta, cek aja facebook atau twitter-nya!”
Aku
melengos malas dari bilikku, mengutuki kemajuan teknologi yang membuat proses
PDKT dan stalking gebetan jadi
semakin mudah. Lama aku menatap monitor di hadapanku, berusaha menahan
jari-jari untuk mengetik nama yang baru saja ku dengar. Namun—seperti yang
sudah aku prediksi sebelumnya, aku kalah. Siapa
sih Danya-Danya ini? Cantik?
“Wah,
masih kecil ya?” celetukan seseorang dari kubikel seberang memenuhi ruangan.
“Pedofil!”
sambung yang lain. Seketika, seisi ruangan menjadi riuh.
“Beda
empat tahun nggak bisa dikategorikan sebagai pedofil, tau!” kini Arga membela
diri, tanpa melihat saja aku tahu mukanya sedang memerah. Aku terlalu
mengenalnya. ”Lagian anak kuliahan kan udah bukan anak kecil lagi!”
Aku
kembali berkonsentrasi pada layar di depanku yang kini menampilkan hasil
pencarian mesin maha canggih. Google. Ketikan nama lengkap orang yang ingin kamu
cari di sana, maka mesin itu akan memberikan seluruhnya untukmu. Semua. Tanpa
privasi.
Nama
Danya Ramanta tidak pasaran. Aku mengklik hasil pencarian pertama dan
kedua—akun facebook dan twitter miliknya.
Danya.
20 tahun. Kuliah jurusan psikologi di salah satu universitas swasta ternama.
Rambutnya ikal sebahu. Senyumnya manis dan kekanakan. Wajahnya polos tanpa make-up. Dari foto, kelihatannya ia
tidak terlalu tinggi—setidaknya aku tidak mungkin kalah tinggi. Aku tersenyum
kecut. Anak ini tidak ada apa-apanya dibanding wanita dewasa seperti aku atau
rekan kerja Arga yang lain.
Aku
membereskan laptop dan beberapa berkas ke dalam tas. Hari ini terasa sangat
panjang. Entah karena kerjaan yang menumpuk atau karena pembuka hari yang
berhasil mengacak-acak isi hatiku. Aku menunggu. Memperhatikan pintu keluar.
Saat sosok Arga melesat melalui pintu itu, aku menyusulnya.
“So, it’s done, huh?” Aku berdiri
bersisian dengannya di dalam lift. Kami berdiri berdampingan, sama seperti
dulu, hanya saja kini kami berhenti saling menatap.
“Yeah. It’s done.” Aku melihat pantulan
bayangan Arga yang tersenyum tipis melalui pintu lift.
“Aku
masih nggak bisa melupakan kamu,” aku rasa putus asa membuat seseorang memohon,
persis seperti yang nyaris aku lakukan saat ini.
“You don’t have to. Setiap waktu yang gue
habiskan bersama elo adalah anugerah. Jadi, biarkan itu tetap menjadi kenangan
manis”.
“Bagaimana
caranya aku bisa rela kalau kamu bersikap baik seperti ini? Kamu kejam, Ga.”
“Hate me, then. I deserve it ”.
“We can’t fix this, can we?”
“We can’t,” Arga menggeleng. “Gue harap
bisa. Tapi kita nggak akan bisa bertahan. And
we must to let go before we destruct each other.”
“Danya.”
Aku susah payah melafalkan nama itu,”Dia nggak secantik aku kan?”
“Nggak,”
Arga menjawab tegas, tapi matanya terlihat berbinar. Astaga, kamu benar-benar
jatuh cinta, Arga. “Dia nggak secantik elo, nggak setinggi elo, nggak seputih
dan se-classy elo, nggak pintar
dandan kayak elo. Gue nggak tahu kenapa gue milih gadis seperti Danya, tapi untuk
saat ini, gue ingin mencoba mengikuti kata hati gue”.
Aku
memperhatikan angka di bagian atas pintu lift. 5 detik lagi dan konversasi ini
akan berakhir. 3 detik lagi dan pintu di hadapan kami akan terbuka. 1 detik
lagi dan aku tahu aku akan menghilang dari kehidupan Arga.
“Arga,”
Aku berbalik menatapnya ketika pintu lift terbuka,”Good luck with her. Cherish her more than you cherish me. See you
tomorrow, then. Goodbye.”
No comments:
Post a Comment