Thursday, January 3, 2013

120 detik


“Arga punya gebetan baru!” teriakan Rey dari pintu kantor pagi itu menjadi pembuka hari yang pahit,”Namanya Danya Ramanta, cek aja facebook atau twitter-nya!”

Aku melengos malas dari bilikku, mengutuki kemajuan teknologi yang membuat proses PDKT dan stalking gebetan jadi semakin mudah. Lama aku menatap monitor di hadapanku, berusaha menahan jari-jari untuk mengetik nama yang baru saja ku dengar. Namun—seperti yang sudah aku prediksi sebelumnya, aku kalah. Siapa sih Danya-Danya ini? Cantik?

“Wah, masih kecil ya?” celetukan seseorang dari kubikel seberang memenuhi ruangan.

“Pedofil!” sambung yang lain. Seketika, seisi ruangan menjadi riuh.

“Beda empat tahun nggak bisa dikategorikan sebagai pedofil, tau!” kini Arga membela diri, tanpa melihat saja aku tahu mukanya sedang memerah. Aku terlalu mengenalnya. ”Lagian anak kuliahan kan udah bukan anak kecil lagi!”

Aku kembali berkonsentrasi pada layar di depanku yang kini menampilkan hasil pencarian mesin maha canggih. Google. Ketikan nama lengkap orang yang ingin kamu cari di sana, maka mesin itu akan memberikan seluruhnya untukmu. Semua. Tanpa privasi.

Nama Danya Ramanta tidak pasaran. Aku mengklik hasil pencarian pertama dan kedua—akun facebook dan twitter miliknya.

Danya. 20 tahun. Kuliah jurusan psikologi di salah satu universitas swasta ternama. Rambutnya ikal sebahu. Senyumnya manis dan kekanakan. Wajahnya polos tanpa make-up. Dari foto, kelihatannya ia tidak terlalu tinggi—setidaknya aku tidak mungkin kalah tinggi. Aku tersenyum kecut. Anak ini tidak ada apa-apanya dibanding wanita dewasa seperti aku atau rekan kerja Arga yang lain.


Aku membereskan laptop dan beberapa berkas ke dalam tas. Hari ini terasa sangat panjang. Entah karena kerjaan yang menumpuk atau karena pembuka hari yang berhasil mengacak-acak isi hatiku. Aku menunggu. Memperhatikan pintu keluar. Saat sosok Arga melesat melalui pintu itu, aku menyusulnya.

So, it’s done, huh?” Aku berdiri bersisian dengannya di dalam lift. Kami berdiri berdampingan, sama seperti dulu, hanya saja kini kami berhenti saling menatap.

Yeah. It’s done.” Aku melihat pantulan bayangan Arga yang tersenyum tipis melalui pintu lift.

“Aku masih nggak bisa melupakan kamu,” aku rasa putus asa membuat seseorang memohon, persis seperti yang nyaris aku lakukan saat ini.

You don’t have to. Setiap waktu yang gue habiskan bersama elo adalah anugerah. Jadi, biarkan itu tetap menjadi kenangan manis”.

“Bagaimana caranya aku bisa rela kalau kamu bersikap baik seperti ini? Kamu kejam, Ga.”

Hate me, then. I deserve it ”.

We can’t fix this, can we?”

We can’t,” Arga menggeleng. “Gue harap bisa. Tapi kita nggak akan bisa bertahan. And we must to let go before we destruct each other.”

“Danya.” Aku susah payah melafalkan nama itu,”Dia nggak secantik aku kan?”

“Nggak,” Arga menjawab tegas, tapi matanya terlihat berbinar. Astaga, kamu benar-benar jatuh cinta, Arga. “Dia nggak secantik elo, nggak setinggi elo, nggak seputih dan se-classy elo, nggak pintar dandan kayak elo. Gue nggak tahu kenapa gue milih gadis seperti Danya, tapi untuk saat ini, gue ingin mencoba mengikuti kata hati gue”.

Aku memperhatikan angka di bagian atas pintu lift. 5 detik lagi dan konversasi ini akan berakhir. 3 detik lagi dan pintu di hadapan kami akan terbuka. 1 detik lagi dan aku tahu aku akan menghilang dari kehidupan Arga.

“Arga,” Aku berbalik menatapnya ketika pintu lift terbuka,”Good luck with her. Cherish her more than you cherish me. See you tomorrow, then. Goodbye.

No comments:

Post a Comment