*Klik label The Untitled di bawah postingan ini untuk membaca cerita sebelumnya ;)
Denza berbaring di atas tempat tidurnya malam
itu. Lagu Fix You-nya Cold Play samar-samar terdengar dari player-nya. Hari yang berat… dan aneh. Tangannya mengocok-ngocok
kotak yang diterimanya di Kaftee & Bun sore tadi. Dari bunyi benda yang
menabrak dinding kotak di dalamnya, Denza memperkirakan isinya tidak besar.
Bagaimana mungkin sebuah kotak dapat menghilang begitu saja dan muncul di
hadapannya delapan bulan kemudian? Kenapa bukan Jan yang membawanya? Siapa sih
pria berkaca mata hitam yang dimaksud pelayan tadi? Kenapa hadiah dari Jan
dapat sampai ke tangannya? Apa Jan baik-baik saja? Semua pertanyaan itu
mengalahkan rasa penasaran Denza terhadap isi kotak tersebut.
Denza menghela napas berat. Terlalu banyak
pertanyaan yang berputar di otaknya dalam beberapa bulan terakhir ini. Teralu
banyak hal-hal di luar nalar manusia yang terjadi dalam hidupnya. Ia sendiri
kagum dengan bagaimana ia menghadapi hal ini, dengan bagaimana ia masih dapat
mengikuti setiap mata kuliah—mengerjakan setiap kuis dan ujian, dalam keadaan
seperti ini. Heran dengan bagaimana ia masih dapat berpikir jernih ketika naik
kendaraan umum dari dan ke kampus atau ketika ia harus memutuskan kelas mana
yang akan diambilnya semester ini.
Merah muda. Denza menarik pita yang
membungkus kotak tersebut. Cewek banget,
begitu Jan selalu mengomentari warna favoritnya, nggak kayak elo yang keras kepala dan hidup banget. ‘Keras kepala’
dan ‘hidup banget’. itu yang selalu Jan bilang tentang dirinya. Cara
pendeskripsian yang aneh memang, tapi Denza suka dengan pendapat itu. Jan
pernah bilang sifat keras kepalanya itu kadang annoying banget, tapi pada saat tertentu ia bisa berhasil karena
sifat itu—kegigihan dan semangat pantang menyerah yang dimilikinya.
Perlahan Denza membuka tutup kotak tersebut.
Hal pertama yang dijumpainya adalah sebuah kartu mungil dengan tulisan tangan Jan
di atasnya: Happy Birthday Denza! Denza menatap tulisan acak-acakan itu
sejenak, mendadak ia kangen menghina tulisan sahabatnya itu. Jan selalu marah
kalau ia bilang tulisannya seperti cakar bebek. Ini tuh relief, susah dibaca tapi punya arti, begitu Jan selalu
membantah komentar Denza.
Denza melipat kembali kartu tersebut kemudian
mengeluarkan isi dari kotak hadiahnya. Sebuah kalung berbandul bulan sabit. Denza
tersenyum tipis.
“Hujan,
Jan,” Denza menatap tirai air dari tempatnya berdiri. Ia dan Jan baru saja
selesai makan malam di warung pecel lele Bu Maru. Tadi saat tiba, Jan terpaksa
memarkir mobil agak jauh karena tempat di sekitar warung sudah penuh, akibatnya
kini mereka terjebak di dalam warung yang penuh sesak.
“Berteduh
di sini aja dulu,” kata Jan santai,”Besok juga nggak ada ulangan kan?”
“Iya
sih, tapi gue belum ngerjain PR matematikanya Bu Bea. Besok kan jamnya jam
pelajaran pertama,” desah Denza, tapi kemudian matanya berbinar riang,”Atau
besok pagi gue nyalin punya lo aja ya? Ya, ya, ya? Elo baik deh, Jan…”
“Huh,
you wish,” Jan menjitak kepala Denza, membuat sahabatnya itu cemberut.
“Pelit
banget sih”.
“Usaha
dong”.
“Tapi
kan hujan. Kalau nggak gue pasti kerjain sendiri kok”.
Jan
melepas jaket baseballnya. “Ya udah, kalau gitu hajar aja yuk!”
“Demi
gue ngerjain PR sendiri, elo ngajak gue hujan-hujanan?” Denza melotot.
“Udah.
Jangan manja, ah. Parkirannya juga nggak jauh-jauh amat kok, kalau lari sambil
tudungan pakai jaket pasti nggak terlalu basah”.
Denza
menatap Jan dengan pandangan memelas, namun sahabatnya itu malah balik
menatapnya galak. Denza melengos pasrah. “You’re so mean, Jan,” ia akhirnya
terpaksa menurut dan bergabung dengan Jan di bawah jaket baseballnya.
Denza
menggerutu kecil karena kakinya terkena lumpur di sana-sini saat akhirnya
mereka tiba di mobil. Jan hanya tertawa kecil sambil menyalakan mesin.
“Bulannya
nggak ada,” gumam Denza dalam perjalanan.
“Cuma
ketutup awan,” Jan menanggapi.
Denza
mengangguk. “Padahal hari ini bentuk bulan sabitnya pasti sempurna.”
“Elo
masih aja merhatiin fase-fase bulan ya?” Jan mengangkat sebelah alisnya. Ia
ingat pertama kali Denza tergila-gila pada bulan adalah saat kelas 6 SD, saat
kelas mereka ditugaskan mencatat serta menggambar bentuk bulan selama sebulan
penuh.
“Cantik
sih,” Denza menjawab enteng,”Bulan emang nggak segagah matahari, nggak punya
sinar sendiri. Tapi bulan selalu ada, even in a day light you can see it.
Selalu bersinar lembut, selalu stands out di langit malam”.
“Like a
guardian?”
“Like a
guardian,” Denza menyetujui.
Tok-tok-tok. Kepala Ibu menyembul dari balik
pintu.
“Masuk, Bu,” Denza tersenyum.
“Hadiah?” tanya Ibu saat melihat kotak yang
dipegang Denza,”Dari siapa?”
Jan.
Denza ingin menjawab, tapi hari ini ia sudah cukup lelah dengan segala sesuatu
tentang cowok itu,”Temen, Bu”.
“Teman apa teman?” Ibu tersenyum sambil
menatapnya penuh selidik. Denza sadar, belakangan ini Ibu jadi lebih mau tahu
banget tentang kehidupannya. Terutama sejak insiden menghilangnya Jan, Ibu jadi
lebih concern sama keadaannya. Denza
bisa maklum sih, semua orangtua pasti khawatir kalau tahu anaknya delusional,
tapi yang membuat Denza gerah adalah Ibu jadi sering mendesaknya untuk
cepat-cepat cari pacar. Biar bisa
ngelupain Jan-Jan nggak jelas itu, kata Ibu. Kalau Ibu sudah menyinggung
hal seperti itu, emosi Denza langsung tersentil dan pembicaraan mereka pasti
berujung dengan adu mulut. Selama ini ia berusaha mengerti orang-orang di
sekelilingnya yang sama sekali tidak memiliki memori tentang Jan sama sekali,
tapi dilain waktu ia jadi cepat kesal karena merasa orang-orang tidak berusaha
mengerti dirinya; tidak menghargai Jan; menganggap bahwa Jan sama sekali tidak
penting.
“Teman kok, Bu,” Denza tersenyum hambar
menanggapi, kemudian ia mengalihkan pembicaraan,”Ayah Ibu besok jadi ke Solo?”
Ibu mengangguk sambil membelai kepala anak
sematawayangnya itu, ”Dan kayaknya harus tinggal di sana lebih lama, kira-kira
dua minggu. Kamu nggak apa-apa kan, Sayang?”
“Tenang aja, Bu. Denza kan udah gede. Lagian
kan masih ada Mbak Inah yang bantu jaga rumah.”
Ibu menatap kedua mata Denza lama, hingga
membuat Denza risih. Ia ingin menghindari tatapan Ibu yang seperti ini—ia
selalu ingin lari dari tatapan Ibu yang seakan-akan mengatakan bahwa ia tidak
baik-baik saja, bahwa anaknya itu bermasalah. “Ibu…” Denza mengusap punggung
tangan Ibu,”Percaya dong ama Denza”.
Ibu tersenyum, lalu mengecup dahinya
singkat,”Selamat malam, Denza”.
“Malam, Bu,” Sepeninggal Ibu, Denza menghela
napas keras. Percaya. Satu kata itu belakangan ini menjadi menjadi semakin
samar baginya, semakin jauh, semakin tidak berarti. Ia harus mengemis
kepercayaan pada orang terdekatnya, termasuk Nadin dan Ibu. Harus meyakinkan mereka bahwa otaknya masih
waras dan mampu menopangnya menjalani kehidupan sehari-hari sementara sosok Jan
yang tidak nyata masih menguasai alam pikirannya.
Denza memakai kalung pemberian Jan. The guardian. Ia percaya Jan pernah ada,
masih ada. Ia yakin Jan tidak
menghilang, hanya berada di suatu tempat yang tidak terjangkau olehnya. Ia
ingin percaya bahwa saat ini Jan hanya seperti fase bulan 0, saat di mana ia
tidak terlihat, atau seperti pada saat langit mendung. Orang-orang
melupakannya, tapi sebagian lagi—atau ia sendiri, tetap tahu kalau ia ada.
Selalu ada. Di suatu tempat yang tak terlihat, mengawasi semuanya dari jauh,
menjaganya dengan sorot lembut yang selalu menjadi miliknya.
Malam kian larut, dan Denza tertidur dengan
seribu pikiran tentang Jan yang berseliweran di kepalanya. Ia terlalu lelah
hingga tak menyadari udara kosong di hadapannya terbelah, menimbulkan sebuah
ruang dimensi.
Seorang pria dengan setelan dan kaca mata
hitam melangkah keluar dari lubang tersebut. Ia memandang Denza sejenak,
mengamati setiap lekuk wajah miliknya. Sekali lihat saja ia tahu gadis ini
tidak bahagia, dan sayangnya tugasnya adalah membuat hal tersebut semakin
buruk. Membuatnya gadis itu menanggung beban yang lebih berat lagi.
“Maaf,” suara dalam milik pria tersebut
memecah kesunyian, matanya menunjukkan sorot kebapakan dari balik kacamata
hitamnya,”Denza”. Ia menyuntikkan sedasi pada lipatan siku Denza, membuatnya
berjengit sedikit, namun tidak terbangun. Kemudian pria itu mengangkat Denza
yang sudah tak sadarkan diri dan membawanya melewati gerbang dimensi yang
hampir tertutup.