Konon, setiap manusia di bumi ini punya malaikat pelindungnya masing-masing…
Kama
duduk di depan sebuah taman kanak-kanak sambil memandangi tirai hujan di
depannya. Di sebelahnya, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun asik
bermain dengan robot-robotannya.
Sebuah
mobil sedan silver kemudian berhenti di depan mereka. Si Pengemudi bergegas
keluar dengan payung di tangan.
“Kak
Rafa kok telat?” tanya Dio,”Untung ada Bu Kama”.
Rafa
mengangguk penuh terima kasih kepada Kama,”Maaf ya. Tadi saya ada rapat
mendadak di kantor”.
Kama
tersenyum,”Tidak apa-apa. Kebetulan saya juga belum bisa pulang”. Gadis itu
menatap langit, entah sampai kapan hujan akan terus mengguyur. Ia lupa membawa
payung hari itu, dan dengan hanya bermodalkan map plastik di tangannya, sudah
pasti ia akan basah kuyup begitu sampai di halte.
“Bagaimana
kalau saya antar pulang? Kelihatannya kamu masih harus menunggu lama kalau
mengharapkan hujan berhenti,” Rafa menawarkan. Kesempatan seperti ini tidak
datang dua kali. Kapan lagi ia dapat menghabiskan waktu bersama gadis yang
selalu dikaguminya diam-diam? Kama adalah alasan selama ini ia tidak pernah
bosan menjemput sepupu ciliknya yang petakilan dan merepotkan.
Kama
menimbang sejenak.
“Ikut
aja Bu. Kak Rafa baik kok,” Dio tersenyum lebar, membuat Kama akhirnya
mengiyakan.
“Kita
antar Dio dulu ya. Mamanya pasti marah kalau dia pulang telat,” Rafa berkata
saat mereka sudah berada di mobil. Kama mengangguk, ia menoleh ke belakang
sekilas. Bocah kecil itu kini sudah terlelap, mungkin kelelahan akibat menunggu
terlalu lama.
“Dio
sering cerita tentang kamu,” Rafa memacu kendaraannya di jalan bebas hambatan.
“Oh
ya?” Kama sebenarnya tidak kaget mendengar hal ini, Dio memang anak yang bawel,”Dia
juga sering cerita soal Kak Rafanya”.
Rafa
menaikkan alis. “Yang baik atau yang buruk?” Ia tersenyum.
Kama
tertawa. Tawa yang terdengar memikat di telinga Rafa. “Dua-duanya”.
“Serius?”
“Kamu
bisa tanya Dio nanti".
Hujan
mulai reda saat mereka tiba di rumah Dio. Setelah menggendong anak itu ke
dalam, Rafa masuk kembali ke mobil. “Kamu sudah makan?”
Kama
menggeleng.
“Keberatan
kalau kita makan dulu? Kebetulan aku lapar,” tanya Rafa,”Aku tahu tempat makan
yang enak di dekat sini”.
Kama
pun menyetujui. Belum pernah ia merasa setertarik ini dengan seseorang. Rafa
memiliki pesonanya sendiri, kedua mata gelapnya seolah membius Kama untuk
berlama-lama menikmatinya. Sebenarnya, ini bukan kali pertama ia tenggelam
dalam kharisma laki-laki ini. Setiap hari, tanpa disadarinya, jam masuk dan
pulang sekolah selalu menjadi momen yang paling ia tunggu. Karena hanya pada
saat itulah ia dapat berinteraksi dengan Rafa walau hanya dengan sebuah
senyuman.
Mereka
tiba di sebuah rumah makan Sunda. Kama merasakan angin sejuk menyergap dirinya
saat ia keluar dari mobil. Alunan musik tradisional yang menyambutnya dan
rintik-rintik hujan menambah syahdu suasana.
“Kasihan ya…” desah Kama sambil bertopang dagu
saat pelayan restoran selesai mencatat pesanan mereka, pandangannya terarah
pada seorang pengemis kecil di pinggir jalan yang terlihat dari kaca jendela rumah
makan.
Rafa
mengikuti pandangan Kama. Seorang anak laki-laki kumal tengah berdiri dengan
wajah memelas di samping jendela mobil. Di belakangnya, Rafa dapat melihat
sesuatu yang luput dari penglihatan Kama, sesuatu yang tidak terlihat manusia. Rafa
melihat sosok wanita transparan dengan selendang menjaga bocah dekil itu,
dekat, namun tak terjangkau. Wajahnya keibuan, dan hadirnya menyiratkan
kedamaian. Sekali lihat saja Rafa tahu wanita itu adalah titisan Nawang Wulan.
Anak itu kini hendak menyeberang, namun Sang Wanita malah menjatuhkan kaleng
uangnya. Tepat saat anak itu sedang sibuk memungut recehannya satu persatu,
sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas. Rafa yakin, kalau saja anak itu
menyebrang tadi, ia pasti sudah tergilas saat ini.
“Anak
itu beruntung,” Rafa bergumam pelan.
“Apa?”
“Ah,
nggak.” Rafa menggeleng cepat. Ia memandang sekeliling, seluruh orang di
ruangan itu sama seperti anak kecil tadi. Dilindungi oleh makhluk tak kasat
mata dalam rupa bidadari. Semua, kecuali gadis di hadapannya. Sejak awal Rafa
sudah menyadari hal itu. Kama tidak terlahir dengan malaikat pelindung seperti
yang lain. Mungkin itulah salah satu alasan awal Rafa tertarik padanya. Gadis
itu adalah anomali yang manis, yang seolah tercipta untuk dilindunginya.
“Kamu
tahu? Sejak kecil aku bercita-cita menyediakan tempat yang layak untuk mereka,”
mata Kama menerawang, di bibirnya tersungging seulas senyum kecil,”Tempat di
mana mereka bisa memiliki keluarga dan menuntut ilmu”.
“Semacam
rumah singgah?” Rafa bertanya, baru tahu kalau gadis yang sejak lama dikaguminya
ternyata memiliki pola pikir yang beda dan berani.
Kama
mengangguk,”Sekarang memang belum bisa. Makanya, aku mau cari uang yang banyak.”
Kama diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan,”Aku… terlalu idealis ya?”
Rafa
tersenyum simpul. “Kadang sesuatu yang besar muncul dari kepala yang idealis, Kama”.
*
“Selamat
ulang tahun,” Rafa menyodorkan sebuah kotak kecil di hadapan Kama. Tadi pagi ia
dengar dari Dio bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Ibu Gurunya. Makanya, ia
buru-buru mampir ke toko aksesoris sebelum jam pulang sekolah Dio tiba.
Kama
ternganga saat mengeluarkan isinya. Sebuah kalung perak berbandul ‘K’. Rafa
berharap pilihannya tidak berlebihan.
“Ini…”
Kama membekap mulutnya, perasaannya campur aduk antara terkejut dan gembira. Ia
pasti sedang bermimpi hingga Rafa memperlakukannya bak seorang
putri,”Sebenarnya sama sekali tidak perlu. Terima kasih”.
“Kak
Rafa sama Bu Kama foto dong!” Dio memamerkan cengiran iblisnya, dengan cepat ia
merogoh ponsel dari saku celana Sang Sepupu.
“Hei!”
Rafa menegurnya, namun gerakan tangannya kalah cepat dengan jagoan kecil itu.
“Ayo,
Bu Kama!” Dio menarik tangan Kama hingga ia bersisian dengan Rafa. Wajah gadis
itu bersemu saat lengan mereka bersentuhan. Rafa meliriknya, namun pandangannya
berubah dari hangat menjadi tegang. Ia melihat sesuatu yang tidak pernah
diharapnya ada di sana. Menempel di punggung Kama, sebuah lingkaran yang
berpendar ungu muda. Lingkaran itu membingkai sebuah simbol yang menjadi musuh
abadi kaumnya, rasi cepheus yang dirajah pada setiap pengikutnya. Rafa
merasakan tubuhnya berdenyut hebat, tangannya terkepal di sisi tubuh menahan
marah.
“Rafa?”
Kama menyikutnya, memintanya untuk menghadap Dio dengan kamera ponsel di
tangan. Rafa mau tak mau tersenyum lemah.
*
Setibanya
di rumah, Rafa segera menuju kamarnya. Ia menggeser pintu lemari pakaian
miliknya, kemudian merapalkan mantra yang sudah lama tidak dibacanya. Seketika
itu juga baju-baju dalam lemari menghilang. Sebagai gantinya, kini tercipta
sebuah gerbang dimensi.
Rafa
melangkah mantap, menyusuri terowongan terang bermotif polkadot warna-warni
yang seakan tak berujung. Setelah kira-kira sepuluh menit, akhirnya ia sampai
pada sebuah persimpangan. Mereka menyebutnya persimpangan harapan, tempat kamu menyebutkan
tujuanmu.
“Ashiya,”
Rafa berkata, tak lama kemudian tubuhnya ditarik keras oleh gravitasi.
Buk!
Rafa tertelungkup di atas sebuah landasan empuk. Dingin. Ah, ia lupa, di sini
sedang musim dingin. Rafa menatap langit yang menghujaninya dengan salju.
Dengan senyum penuh nostalgia, ia menengadahkan tangannya. Ajaib, salju yang
bertumpuk di tangannya berubah menjadi gumpalan kapas gula-gula. “Ashiya belum
berubah”. Rafa tersenyum miris, memandang kapas manis yang akan segera lumer di
mulut mengingatkannya pada keberadaan Kama yang hampir sama.
“Sebutkan
nama dan tujuanmu!” sebuah suara membelah keheningan. Rafa refleks menunduk,
mencari sumber suara. Seekor cerpelai dengan seragam kerajaan menghunuskan
pedang padanya. Dialah Sang Penjaga Portal sekaligus penasihat perang kerajaan.
“Rafa.
Izinkan saya bertemu dengan Pangeran Raishan”.
“Rafa?” Cerpelai itu mundur selangkah. “Kamu…”
“Manusia
setengah malaikat? Malaikat jadi-jadian? Malaikat pelindung terkutuk?” Rafa
mendengus. Negeri ini memang tidak berubah, di balik keanggunannya, masih saja
menjadikan dirinya sebagai duri dalam daging. Namanya dikenal seluruh negeri,
bukan karena kehebatannya, namun karena kelahirannya yang tak sempurna.
Keberadaannya menjijikan bagi mereka, sebuah aib bagi suku angkuh ini. “Memangnya
kenapa kalau aku adalah keturunan Kumalasari, anak dari Nawang Wulan dan Jaka
Tarub? Di mana letak kesalahan mereka yang saling mencintai?” mata Rafa
berkilat marah, tapi ia tidak datang untuk melampiaskan egonya.
Sang
Cerpelai tidak jadi bicara, ia menyarungkan kembali pedangnya dan membiarkan Rafa
lewat.
*
“Jatuh cinta?” Raishan, sahabatnya, tertawa saat mendengar cerita Rafa. “Kamu meminta nasihat soal hati padaku?”
“Jatuh cinta?” Raishan, sahabatnya, tertawa saat mendengar cerita Rafa. “Kamu meminta nasihat soal hati padaku?”
“Dia
seorang Halgu,” Rafa dapat merasakan darahnya menggelegak.
“Kalau
begitu tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan,” Raishan menatap
sahabatnya,“Halgu bahkan bukan manusia. Ia tercipta menjadi mangsa. Dalam
sepuluh hari setelah ulang tahun ke dua puluh empatnya, jiwanya akan habis
terhisap bangsa Druva, eksistensinya akan lenyap seperti ia tidak pernah
dilahirkan. Tidak ada yang akan pernah mengingatnya, bahkan kamu tidak akan
merasa sakit saat kehilangannya”.
Rafa
meninju pilar di sebelahnya. “Jangan bicara seakan-akan ia tidak pernah hidup!
Ia nyata, memiliki mimpi dan orang-orang yang menyayanginya. Tidak adakah yang
bisa aku lakukan untuk melindunginya?!
Raishan
meneliti sahabatnya. Belum pernah ia melihat Rafa sekeras kepala ini,“Sebenarnya
ada satu cara… Tapi pastikan kamu tidak akan menyesal nantinya”.
*
Raishan membawa Rafa ke sebuah ruangan megah. Di ujung ruangan itu terdapat takhta Ratu Agung Alathea, penguasa negeri.
Raishan membawa Rafa ke sebuah ruangan megah. Di ujung ruangan itu terdapat takhta Ratu Agung Alathea, penguasa negeri.
“Kamu
yakin dengan pilihanmu?” suara Sang Ratu bergema ke seluruh penjuru ruangan.
“Menjadi malaikat pelindung seutuhnya dalam kasusmu berarti pengorbanan.
Apalagi ingin melindungi seorang Halgu, sebuah hukum yang tabu untuk diubah.
Sebagai ganti gadis itu, kamu akan kehilangan eksistensimu, semua memorinya
tentangmu akan dihapus, dan kamu tidak akan terlihat olehnya. Perasaanmu akan
tetap sama, namun ia tidak akan pernah tahu.”
Rafa
menatap Sang Ratu tegas. Keputusannya sudah bulat, ia akan melakukan apa pun
demi mempertahankan Kama pada tempatnya. Ia akan melindunginya dari serbuan
pasukan Druva yang berusaha memangsanya. Ia akan berperang hingga mati.
“Baiklah,
kita mulai prosesinya,” Sang Ratu mengangkat tangan dan membacakan mantra
sucinya. Rafa tidak terlalu mendengarnya, ia tidak tahu rasanya akan sesakit
ini. Tubuhnya seolah tercabik menjadi ribuan keping dan dimasukkan ke dalam
api. Ia berteriak kesakitan, dan detik berikutnya yang dilihatnya adalah gelap.
*
Rafa berjalan disamping Kama. Gadis itu terlihat cantik dengan terusan motif bunga selutut dan rambut yang tergerai. Dalam jarak sedekat ini, Rafa dapat menghirup wangi tubuhnya, merasakan napas gadis itu seirama dengan miliknya. Ia menggenggam tangan Kama, memperhatikan senyumnya.
Rafa berjalan disamping Kama. Gadis itu terlihat cantik dengan terusan motif bunga selutut dan rambut yang tergerai. Dalam jarak sedekat ini, Rafa dapat menghirup wangi tubuhnya, merasakan napas gadis itu seirama dengan miliknya. Ia menggenggam tangan Kama, memperhatikan senyumnya.
“Aku
senang malam ini, terima kasih untuk semuanya,” ujar Kama riang.
“Tentu
saja”.
“Kama…”
Kama
menatap sepasang mata hitam yang menghadapnya,”Maukah kamu menjadi kekasihku?”
Senyum
Kama semakin terkembang, dan ia mengangguk yakin. Kama kemudian memeluk pemilik
tubuh sempurna itu. Merasakan hangatnya menjalar ke tubuhnya sendiri dalam
sejuknya udara sehabis hujan. Ia belum pernah merasa sebahagia ini.
Rafa
menatap nanar pemandangan di hadapannya. Namun ia tidak memiliki waktu untuk
itu. Dari kejauhan, pasukan Druva mendekati gadis pujaannya yang sedang
bercumbu mesra, melumat bibir pasangannya dalam-dalam. Ia harus melindunginya,
menjadi ksatria meski hatinya sendiri sekarat dimakan pedih.
Keyword: Rajah, cerpelai, rasi, polkadot, salju, gula-gula
keren ceritanya. semangaatttttt ^_^
ReplyDeleteKami locked postingan ini. Dilarang mengedit dan atau set for contact sampai lomba selesai dilaksanakan yah...
ReplyDeleteTerima kasih sudah berpartisipasi dalam #LombaFiksiFantasi2012. :)
-Panitia-