Thursday, February 9, 2012

[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Ksatria Untuk Kama


Konon, setiap manusia di bumi ini punya malaikat pelindungnya masing-masing…

Kama duduk di depan sebuah taman kanak-kanak sambil memandangi tirai hujan di depannya. Di sebelahnya, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun asik bermain dengan robot-robotannya.
Sebuah mobil sedan silver kemudian berhenti di depan mereka. Si Pengemudi bergegas keluar dengan payung di tangan.
“Kak Rafa kok telat?” tanya Dio,”Untung ada Bu Kama”.
Rafa mengangguk penuh terima kasih kepada Kama,”Maaf ya. Tadi saya ada rapat mendadak di kantor”.
Kama tersenyum,”Tidak apa-apa. Kebetulan saya juga belum bisa pulang”. Gadis itu menatap langit, entah sampai kapan hujan akan terus mengguyur. Ia lupa membawa payung hari itu, dan dengan hanya bermodalkan map plastik di tangannya, sudah pasti ia akan basah kuyup begitu sampai di halte.
“Bagaimana kalau saya antar pulang? Kelihatannya kamu masih harus menunggu lama kalau mengharapkan hujan berhenti,” Rafa menawarkan. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Kapan lagi ia dapat menghabiskan waktu bersama gadis yang selalu dikaguminya diam-diam? Kama adalah alasan selama ini ia tidak pernah bosan menjemput sepupu ciliknya yang petakilan dan merepotkan.
Kama menimbang sejenak.
“Ikut aja Bu. Kak Rafa baik kok,” Dio tersenyum lebar, membuat Kama akhirnya mengiyakan.
“Kita antar Dio dulu ya. Mamanya pasti marah kalau dia pulang telat,” Rafa berkata saat mereka sudah berada di mobil. Kama mengangguk, ia menoleh ke belakang sekilas. Bocah kecil itu kini sudah terlelap, mungkin kelelahan akibat menunggu terlalu lama.
“Dio sering cerita tentang kamu,” Rafa memacu kendaraannya di jalan bebas hambatan.
“Oh ya?” Kama sebenarnya tidak kaget mendengar hal ini, Dio memang anak yang bawel,”Dia juga sering cerita soal Kak Rafanya”.
Rafa menaikkan alis. “Yang baik atau yang buruk?” Ia tersenyum.
Kama tertawa. Tawa yang terdengar memikat di telinga Rafa. “Dua-duanya”.
“Serius?”
“Kamu bisa tanya Dio nanti".
Hujan mulai reda saat mereka tiba di rumah Dio. Setelah menggendong anak itu ke dalam, Rafa masuk kembali ke mobil. “Kamu sudah makan?”
Kama menggeleng.
“Keberatan kalau kita makan dulu? Kebetulan aku lapar,” tanya Rafa,”Aku tahu tempat makan yang enak di dekat sini”.
Kama pun menyetujui. Belum pernah ia merasa setertarik ini dengan seseorang. Rafa memiliki pesonanya sendiri, kedua mata gelapnya seolah membius Kama untuk berlama-lama menikmatinya. Sebenarnya, ini bukan kali pertama ia tenggelam dalam kharisma laki-laki ini. Setiap hari, tanpa disadarinya, jam masuk dan pulang sekolah selalu menjadi momen yang paling ia tunggu. Karena hanya pada saat itulah ia dapat berinteraksi dengan Rafa walau hanya dengan sebuah senyuman.
Mereka tiba di sebuah rumah makan Sunda. Kama merasakan angin sejuk menyergap dirinya saat ia keluar dari mobil. Alunan musik tradisional yang menyambutnya dan rintik-rintik hujan menambah syahdu suasana.
 “Kasihan ya…” desah Kama sambil bertopang dagu saat pelayan restoran selesai mencatat pesanan mereka, pandangannya terarah pada seorang pengemis kecil di pinggir jalan yang terlihat dari kaca jendela rumah makan.
Rafa mengikuti pandangan Kama. Seorang anak laki-laki kumal tengah berdiri dengan wajah memelas di samping jendela mobil. Di belakangnya, Rafa dapat melihat sesuatu yang luput dari penglihatan Kama, sesuatu yang tidak terlihat manusia. Rafa melihat sosok wanita transparan dengan selendang menjaga bocah dekil itu, dekat, namun tak terjangkau. Wajahnya keibuan, dan hadirnya menyiratkan kedamaian. Sekali lihat saja Rafa tahu wanita itu adalah titisan Nawang Wulan. Anak itu kini hendak menyeberang, namun Sang Wanita malah menjatuhkan kaleng uangnya. Tepat saat anak itu sedang sibuk memungut recehannya satu persatu, sebuah motor dengan kecepatan tinggi melintas. Rafa yakin, kalau saja anak itu menyebrang tadi, ia pasti sudah tergilas saat ini.
“Anak itu beruntung,” Rafa bergumam pelan.
“Apa?”
“Ah, nggak.” Rafa menggeleng cepat. Ia memandang sekeliling, seluruh orang di ruangan itu sama seperti anak kecil tadi. Dilindungi oleh makhluk tak kasat mata dalam rupa bidadari. Semua, kecuali gadis di hadapannya. Sejak awal Rafa sudah menyadari hal itu. Kama tidak terlahir dengan malaikat pelindung seperti yang lain. Mungkin itulah salah satu alasan awal Rafa tertarik padanya. Gadis itu adalah anomali yang manis, yang seolah tercipta untuk dilindunginya.
“Kamu tahu? Sejak kecil aku bercita-cita menyediakan tempat yang layak untuk mereka,” mata Kama menerawang, di bibirnya tersungging seulas senyum kecil,”Tempat di mana mereka bisa memiliki keluarga dan menuntut ilmu”.
“Semacam rumah singgah?” Rafa bertanya, baru tahu kalau gadis yang sejak lama dikaguminya ternyata memiliki pola pikir yang beda dan berani.
Kama mengangguk,”Sekarang memang belum bisa. Makanya, aku mau cari uang yang banyak.” Kama diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan,”Aku… terlalu idealis ya?”
Rafa tersenyum simpul. “Kadang sesuatu yang besar muncul dari kepala yang idealis, Kama”.
*
“Selamat ulang tahun,” Rafa menyodorkan sebuah kotak kecil di hadapan Kama. Tadi pagi ia dengar dari Dio bahwa hari ini adalah hari ulang tahun Ibu Gurunya. Makanya, ia buru-buru mampir ke toko aksesoris sebelum jam pulang sekolah Dio tiba.
Kama ternganga saat mengeluarkan isinya. Sebuah kalung perak berbandul ‘K’. Rafa berharap pilihannya tidak berlebihan.
“Ini…” Kama membekap mulutnya, perasaannya campur aduk antara terkejut dan gembira. Ia pasti sedang bermimpi hingga Rafa memperlakukannya bak seorang putri,”Sebenarnya sama sekali tidak perlu. Terima kasih”.
“Kak Rafa sama Bu Kama foto dong!” Dio memamerkan cengiran iblisnya, dengan cepat ia merogoh ponsel dari saku celana Sang Sepupu.
“Hei!” Rafa menegurnya, namun gerakan tangannya kalah cepat dengan jagoan kecil itu.
“Ayo, Bu Kama!” Dio menarik tangan Kama hingga ia bersisian dengan Rafa. Wajah gadis itu bersemu saat lengan mereka bersentuhan. Rafa meliriknya, namun pandangannya berubah dari hangat menjadi tegang. Ia melihat sesuatu yang tidak pernah diharapnya ada di sana. Menempel di punggung Kama, sebuah lingkaran yang berpendar ungu muda. Lingkaran itu membingkai sebuah simbol yang menjadi musuh abadi kaumnya, rasi cepheus yang dirajah pada setiap pengikutnya. Rafa merasakan tubuhnya berdenyut hebat, tangannya terkepal di sisi tubuh menahan marah.
“Rafa?” Kama menyikutnya, memintanya untuk menghadap Dio dengan kamera ponsel di tangan. Rafa mau tak mau tersenyum lemah.
*
Setibanya di rumah, Rafa segera menuju kamarnya. Ia menggeser pintu lemari pakaian miliknya, kemudian merapalkan mantra yang sudah lama tidak dibacanya. Seketika itu juga baju-baju dalam lemari menghilang. Sebagai gantinya, kini tercipta sebuah gerbang dimensi.
Rafa melangkah mantap, menyusuri terowongan terang bermotif polkadot warna-warni yang seakan tak berujung. Setelah kira-kira sepuluh menit, akhirnya ia sampai pada sebuah persimpangan. Mereka menyebutnya persimpangan harapan, tempat kamu menyebutkan tujuanmu.
“Ashiya,” Rafa berkata, tak lama kemudian tubuhnya ditarik keras oleh gravitasi.
Buk! Rafa tertelungkup di atas sebuah landasan empuk. Dingin. Ah, ia lupa, di sini sedang musim dingin. Rafa menatap langit yang menghujaninya dengan salju. Dengan senyum penuh nostalgia, ia menengadahkan tangannya. Ajaib, salju yang bertumpuk di tangannya berubah menjadi gumpalan kapas gula-gula. “Ashiya belum berubah”. Rafa tersenyum miris, memandang kapas manis yang akan segera lumer di mulut mengingatkannya pada keberadaan Kama yang hampir sama.
“Sebutkan nama dan tujuanmu!” sebuah suara membelah keheningan. Rafa refleks menunduk, mencari sumber suara. Seekor cerpelai dengan seragam kerajaan menghunuskan pedang padanya. Dialah Sang Penjaga Portal sekaligus penasihat perang kerajaan.
“Rafa. Izinkan saya bertemu dengan Pangeran Raishan”.
“Rafa?” Cerpelai itu mundur selangkah. “Kamu…”
“Manusia setengah malaikat? Malaikat jadi-jadian? Malaikat pelindung terkutuk?” Rafa mendengus. Negeri ini memang tidak berubah, di balik keanggunannya, masih saja menjadikan dirinya sebagai duri dalam daging. Namanya dikenal seluruh negeri, bukan karena kehebatannya, namun karena kelahirannya yang tak sempurna. Keberadaannya menjijikan bagi mereka, sebuah aib bagi suku angkuh ini. “Memangnya kenapa kalau aku adalah keturunan Kumalasari, anak dari Nawang Wulan dan Jaka Tarub? Di mana letak kesalahan mereka yang saling mencintai?” mata Rafa berkilat marah, tapi ia tidak datang untuk melampiaskan egonya.
Sang Cerpelai tidak jadi bicara, ia menyarungkan kembali pedangnya dan membiarkan Rafa lewat.
*
“Jatuh cinta?” Raishan, sahabatnya, tertawa saat mendengar cerita Rafa. “Kamu meminta nasihat soal hati padaku?”
“Dia seorang Halgu,” Rafa dapat merasakan darahnya menggelegak.
“Kalau begitu tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan,” Raishan menatap sahabatnya,“Halgu bahkan bukan manusia. Ia tercipta menjadi mangsa. Dalam sepuluh hari setelah ulang tahun ke dua puluh empatnya, jiwanya akan habis terhisap bangsa Druva, eksistensinya akan lenyap seperti ia tidak pernah dilahirkan. Tidak ada yang akan pernah mengingatnya, bahkan kamu tidak akan merasa sakit saat kehilangannya”.
Rafa meninju pilar di sebelahnya. “Jangan bicara seakan-akan ia tidak pernah hidup! Ia nyata, memiliki mimpi dan orang-orang yang menyayanginya. Tidak adakah yang bisa aku lakukan untuk melindunginya?!
Raishan meneliti sahabatnya. Belum pernah ia melihat Rafa sekeras kepala ini,“Sebenarnya ada satu cara… Tapi pastikan kamu tidak akan menyesal nantinya”.
*
Raishan membawa Rafa ke sebuah ruangan megah. Di ujung ruangan itu terdapat takhta Ratu Agung Alathea, penguasa negeri.
“Kamu yakin dengan pilihanmu?” suara Sang Ratu bergema ke seluruh penjuru ruangan. “Menjadi malaikat pelindung seutuhnya dalam kasusmu berarti pengorbanan. Apalagi ingin melindungi seorang Halgu, sebuah hukum yang tabu untuk diubah. Sebagai ganti gadis itu, kamu akan kehilangan eksistensimu, semua memorinya tentangmu akan dihapus, dan kamu tidak akan terlihat olehnya. Perasaanmu akan tetap sama, namun ia tidak akan pernah tahu.”
Rafa menatap Sang Ratu tegas. Keputusannya sudah bulat, ia akan melakukan apa pun demi mempertahankan Kama pada tempatnya. Ia akan melindunginya dari serbuan pasukan Druva yang berusaha memangsanya. Ia akan berperang hingga mati.
“Baiklah, kita mulai prosesinya,” Sang Ratu mengangkat tangan dan membacakan mantra sucinya. Rafa tidak terlalu mendengarnya, ia tidak tahu rasanya akan sesakit ini. Tubuhnya seolah tercabik menjadi ribuan keping dan dimasukkan ke dalam api. Ia berteriak kesakitan, dan detik berikutnya yang dilihatnya adalah gelap.
*
Rafa berjalan disamping Kama. Gadis itu terlihat cantik dengan terusan motif bunga selutut dan rambut yang tergerai. Dalam jarak sedekat ini, Rafa dapat menghirup wangi tubuhnya, merasakan napas gadis itu seirama dengan miliknya. Ia menggenggam tangan Kama, memperhatikan senyumnya.
“Aku senang malam ini, terima kasih untuk semuanya,” ujar Kama riang.
“Tentu saja”.
“Kama…”
Kama menatap sepasang mata hitam yang menghadapnya,”Maukah kamu menjadi kekasihku?”
Senyum Kama semakin terkembang, dan ia mengangguk yakin. Kama kemudian memeluk pemilik tubuh sempurna itu. Merasakan hangatnya menjalar ke tubuhnya sendiri dalam sejuknya udara sehabis hujan. Ia belum pernah merasa sebahagia ini.
Rafa menatap nanar pemandangan di hadapannya. Namun ia tidak memiliki waktu untuk itu. Dari kejauhan, pasukan Druva mendekati gadis pujaannya yang sedang bercumbu mesra, melumat bibir pasangannya dalam-dalam. Ia harus melindunginya, menjadi ksatria meski hatinya sendiri sekarat dimakan pedih.
Keyword: Rajah, cerpelai, rasi, polkadot, salju, gula-gula
Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba fiksi fantasi 2012.
Untuk info klik di sini.

2 comments:

  1. keren ceritanya. semangaatttttt ^_^

    ReplyDelete
  2. Kami locked postingan ini. Dilarang mengedit dan atau set for contact sampai lomba selesai dilaksanakan yah...

    Terima kasih sudah berpartisipasi dalam #LombaFiksiFantasi2012. :)


    -Panitia-

    ReplyDelete