Tuesday, July 31, 2012

Untitled 2


“JAAAAANNN!!” Denza terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup cepat hingga ia sendiri dapat mendengarnya,“Jan…”
Ia melihat sekelilingnya. Jendela dengan gorden berwarna krem, meja belajar di sudut ruangan, karpet forever friends kesukaannya, dan seragam putih abu-abu yang tergantung manis di depan lemari. Mimpi. Denza menghembuskan napas lega.
Ia melirik ke meja di sebelahnya. Jam weker doraemon pemberian Nadin menunjukkan angka tujuh kurang lima belas.
“Sial!” rutuk Denza, secepat kilat ia melompat dari tempat tidur, menyambar seragamnya dan bergegas menuju kamar mandi.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah Denza berusaha menghubungi Jan. Ia tahu semuanya hanya mimpi buruk, tapi ia hanya ingin memastikan Jan baik-baik saja—bahwa mimpi tersebut bukanlah sebuah peringatan akan sesuatu yang buruk terjadi pada Jan. Denza terus menghubungi nomor yang sama berulang kali, namun yang didapatnya hanya suara operator. Apa Jan lupa men-charge ponselnya semalam?
“Hai, Za!” sapa Nadin saat Denza mencapai kelas dengan napas naik turun. Untungnya ia berhasil mencapai gerbang sekolah tepat pukul tujuh.
“Jan, ke sini tadi?” Denza menaruh tas selempangnya di atas meja.
“Jan?” Nadin mengernyit.
“Iya. Semalem gue mimpi buruk tentang Jan. Gue jadi khawatir dia kenapa-napa”.
“Tapi, Za—“
“Iya, gue tahu itu cuma mimpi. Elo pasti mau bilang gue parno atau berlebihan kan? Tapi elo mesti ngerti Nad—“
“Denza?” Nadin menatapnya lurus-lurus.
“Ya? Kenapa? Kok elo ngeliat gue serius gitu sih? Jangan-jangan gue bener ya? Ada apa-apa sama Jan?” Denza mulai panik,”Nad, gue serius. Kasih tahu gue ada apa?”
“Elo yang kasih tahu gue ada apa,” Nadin terlihat cemas,”Jan itu siapa?”
“Apa?”
“Jan. Jan, yang elo sebut-sebut dari tadi itu siapa?”
Denza mengerjap beberapa kali,”Ha-ha. Nggak lucu ah, Nad”.
“Gue emang lagi nggak ngelucu, Denza. Gue bener-bener nggak kenal siapa Jan-Jan ini”.
Denza mengamati wajah sahabatnya yang terlihat serius. Setahunya Nadin nggak pernah bisa menahan tawa kalau mengerjai seseorang. “Ini masih  pagi, Nad. Dan udah bukan hari ulang tahun gue lagi, jangan bercanda dong”.
“Gue nggak bercanda, Za,” nada Nadin terdengar gusar, ia nggak mengerti apa yang sedang ada di otak sahabatnya saat ini,”Elo kenapa sih?”
“Elo yang kenapa, Nad? Masa lo nggak ngenalin temen lo sendiri. Udah ah, becandanya. Gue lagi nggak mood nih”.
“Denza Karyana,” Nadin meremas kedua bahu sahabatnya dengan satu hentakan,”Gue bener-bener nggak tahu siapa orang yang lo maksud. Mungkin elo bisa jelasin semuanya?”
Denza menatap Nadin nanar. Ia lelah. Takut, sedangkan sahabatnya sendiri malah asik mempermainkannya. “Minggir, Nad,” Denza menepis kedua tangan Nadin, kemudian beranjak keluar kelas.
“Denza! Sebentar lagi Pak Toyo masuk!” Denza tidak menghiraukan teriakan sahabatnya. Kenapa Nadin setega itu mengerjainya? Kenapa Nadin berbicara seserius itu, seakan-akan dirinyalah yang mengada-ada.
Denza membuka pintu kelas 12 IPA 1, pandangannya langsung mengarah ke sudut kanan di belakang kelas, tempat duduk Jan. Kosong. Kenapa Jan belum tiba?
Ia menghampiri tempat duduk Jan. “Jan belum datang?” ia bertanya pada Bimo, teman sebangku Jan.
“Jan?”
“Iya. Jangan bilang elo nggak kenal Jan,” seru Denza cepat. Habis sudah seluruh kesabarannya.
“Jan siapa?” tanya Bimo polos. Setahunya tidak ada yang bernama Jan di sini.
“Janelle Adisatya, Bim,” Denza nyaris menggebrak meja,”Temen sebangku lo”.
“Sumpah, Za. Nggak pernah ada yang namanya Jan di kelas ini,” Bimo menatap Denza heran, mengira temannya itu sedang kesambet atau apalah,”Elo bisa ngecek sendiri dari daftar absensi di depan meja guru”.
Tanpa pikir panjang Denza meraih buku panjang di atas meja yang terletak di depan kelas. Ia mencari nomor 19, nomor urut Jan. Tapi tidak ada. Nomor 19 yang dicarinya diisi oleh nama lain. Ia memeriksa daftar tersebut sekali lagi, kali ini dari atas sampai bawah, ia membaca nama lengkap setiap siswa satu per satu. Namun, tetap tidak ada. Ia tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tidak ada seorang pun yang mengingat Jan kecuali dirinya? Kenapa Jan menghilang begitu saja?
Denza berjalan gontai keluar ruangan. Semuanya nampak tidak masuk akal. Gila. Ia tidak dapat memikirkan satu teori pun yang dapat menjelaskan hal ini. Bagaimana mungkin seseorang yang masih dilihatnya kemarin dapat menghilang begitu saja, seolah-olah ia tidak pernah dilahirkan?

1 comment: