Suasana Charriot malam itu tidak terlalu
padat, hanya ada Denza dan teman-teman yang diundangnya, serta beberapa
pengunjung lain yang kebanyakan adalah pasangan.
“Jan mana, Za?” tanya Nadin, sahabatnya yang sudah
sampai sejak tadi, bahkan sebelum undangan yang lain tiba.
“Tau nih, ditelponin HPnya nggak aktif,”
Denza mulai cemas, pasalnya Jan bukan tipe orang yang jam karet. Kalau janjian
cowok itu pasti datang sebelum waktunya, atau paling parah, lewat lima menit
dari waktu janjian.
“Jangan kusut gitu dong, Birthday Girl. Baterenya abis kali, Za. Tenang aja lah, nanti juga
nongol tuh anak. Paling kejebak macet,” Nadin menenangkan.
“Tapi dia tuh nggak biasa gini, Din,” Denza
menggigit bagian bawah bibirnya, sambil mengamati Nadin. Sahabatnya itu nampak
cantik hari ini dengan terusan krem selutut dengan motif bunga-bunga simpel di
bagian pinggangnya. Denza jadi sedikit minder, berhubung dia yang berulang
tahun aja nggak se-oke Nadin. Kadang Denza suka iri dengan sahabatnya itu,
dengan rambut ikal sebahu dan kulit putihnya, nggak usah make-up aja Nadin udah menarik perhatian. Tapi sikap Nadin yang
nggak pernah terlalu effort untuk
memoles dirilah yang membuat Denza sadar kalau sahabatnya itu bukan tipe centil
macam Keira dkk. “Gue jadi khawatir. Gimana kalau sampai Jan kenapa-napa?”
“Husss! Elo kok ngomongnya gitu sih? Ini kan
hari ulang tahun lo. Lighten up!”
“Kangen gue ya?” Sebuah suara dalam yang
sangat familiar di telinga Denza membuatnya menoleh cepat.
“Jan! Elo tuh kemana aja sih? Ditelpon nggak
bisa, bbm nggak dibaca, gue hampir mati ketakutan tau, ka—“
“Geez, Za.
Calm down!” Jan tertawa kecil melihat
sahabatnya sepanik itu.
“Huh! Elo enak tinggal ngomong!” Denza
bersedekap.
“HP gue mati, dan Jakarta abis hujan gini
nggak ada ampun macetnya,” Jan beralasan.
“Tuh kan, gue bilang juga apa,” sambar
Nadin,”Elo Za, rileks dikit dong. Kebanyakan mikir sih lo jadi kayak ibu-ibu
deh, gampang khawatir”.
“Lagian… Gue telat juga gara-gara ini kok,”
Jan mengulurkan sebuah kotak kecil berwarna krem dengan pita merah muda,”Jadi,
maaf ya gue telat dan bikin lo khawatir”.
Denza menatap pemberian Jan, lalu beralih ke
wajah pemilik mata coklat di hadapannya. Seumur hidup, ia tidak pernah bosan
tenggelam di dalamnya; menemukan kejutan di baliknya; terpesona oleh
keindahannya.
“Jadi…” Jan berdeham,”Diterima nggak nih
permintaan maafnya?”
“Ya udah,” Denza membuang muka, setengah malu
karena Jan memergokinya sembari terkekeh.
“Hadiahnya?” Jan tersenyum manis.
“Makasih ya,” Denza menerima kotak tersebut.
“So,
shall we start now?” Nadin menepuk tangannya,”Kasian tuh udah pada nunggu.”
“May
I?” Jan mengulurkan tangannya pada Denza sambil membungkuk.
“Jan! Elo ngapain sih?!” bisik Denza, malu
diperlakukan semanis itu, terlebih lagi karena ia tahu Jan hanya bermaksud
menggodanya—senang melihatnya salah tingkah.
“Apa? Gue nggak boleh melayani lo di hari
ulang tahun lo?” Jan menaikkan sebelah alisnya,”FYI, banyak orang loh yang ngantri supaya bisa diperlakukan kayak gini
sama gue”.
“Really,
Jan. You’re so annoying,” Denza akhirnya menyerah, menaruh tangannya dalam
genggaman Jan.
Perayaan ulang tahun ke-18 Denza malam itu
berlangsung sesuai rencana, hanya makan malam di Charriot dan dilanjutkan
dengan foto-foto.
“Pulang bareng Jan?” tanya Nadin saat
beberapa teman mereka mulai berpamitan.
“Yep,” Denza melihat sekilas ke arah Jan yang
sedang asyik bercanda dengan teman-teman cowoknya di sudut restoran.
“Mau sampai kapan sih Za, elo sama Jan begini
terus?”
“Begini gimana?”
“Sahabatan”.
Denza tertawa hambar,”Loh, emang iya kan?”
“Yang bener?”
“Apaan sih, Nad? Kok lo nanyanya aneh gitu?”
Denza mengernyit.
“Tuh kan, elo nggak pernah mau ngaku,” Nadin
memutar bola matanya.
“Ngaku apa?”
“You
likes him,” tukas Nadin.
“Of course,
Nad. Gue kan sahabatnya. Jelaslah gue sayang ama Jan”.
“Bukan itu maksud gue. Emangnya elo sayang
Jan kayak elo sayang gue? Gue kan juga sahabat lo, gue juga bisa bedain, Za.”
Denza terdiam.
“Admit
it, Za,” desak Nadin,”Bentar lagi kita lulus, kuliah. Elo ama dia juga
nggak satu kampus kan? Apa elo nggak nyesel? Apa lo merasa cukup dengan keadaan
kalian yang sekarang?”
Denza menggigit bagian bawah bibirnya. Jauh
di dalam hatinya, ia tahu Nadin benar. Ia tahu sahabatnya itu benar sejak awal,
sejak kelas 10 dan Nadin menginterogasinya dengan pertanyaan yang sama. “Gue
nggak bisa mempertaruhkan apa yang gue punya sekarang, Nad. Cheesy, huh? Hidup gue jadi novel ABG
banget”.
Nadin menghela napas. Gemas dengan sepasang
manusia bodoh yang selama tiga tahun ini senantiasa mengapitnya. “Dia juga suka
elo, tahu?”
“Tahu dari mana? Elo nggak bisa seyakin itu,”
jawab Denza, sekalipun kalimat Nadin barusan memberikan segenggam semangat baru
baginya.
“Elo nggak percaya ama gue?” Nadin menaikkan
kedua alisnya,”Nadin Cheyniza, sang penakluk laki-laki ini?”
Denza terkekeh mendengarnya. Track record sahabatnya soal pacaran
emang nggak perlu diragukan lagi. Tahun ini aja, Nadin udah ganti pacar 5 kali.
Parahnya, dari lima orang tersebut belum termasuk HTS-annya.
“Serius, Za. Gue bisa ngeliat itu dari
matanya, dari cara dia memperlakukan elo, dari gesturnya, da—“
“Lagi pada gosipin apa nih?” Jan tiba-tiba
menarik kursi di antara Denza dan Nadin,”Ikutan dong”.
“Girls
talk,” jawab Nadin galak,”Elo ganggu aja deh”.
“Sori, sori. Tapi sekadar ngingetin aja ya,
sekarang jam sebelas,” Jan menunjuk jam tangannya,”Dan saran gue, sebaiknya
kita pulang kalau nggak mau telat pemantapan besok”.
Nadin mengumpat saat mendengar kata
‘pemantapan’, ia masih belum terbiasa dengan jadwal di semester dua yang
mewajibkan seluruh murid kelas 12 masuk di hari Sabtu untuk mengikuti kelas
persiapan UN.
“Tenang aja, Nad. Kita bakal bebas dalam
empat bulan ke depan,” Jan menanggapi.
“Empat bulan masih lama kali. Elo sih enak,
punya otak encer banget,” cibir Nadin yang masih nggak rela hari leha-lehanya
di sabotase pihak sekolah.
“Udah, udah. Balik yuk. Elo pulang ama siapa,
Nad?” Denza menengahi.
“Biasa. Supir gue udah nunggu,” jawab Nadin
sebelum ia menarik Denza untuk mendekat,”Bilang malem ini. It is your lucky day, after all”.
“Nadin…” Denza dapat merasakan mukanya
menghangat.
“Good
luck!” Nadin melambaikan sebelah tangannya lalu melenggang pergi.
“Nadin bilang apa, Za? Apanya yang good luck?”
“Eh, nggak kok,” Denza tergagap,”Bukan hal
penting. Yuk ah”.
Sepanjang perjalanan pikiran Denza sama
sekali nggak bisa lepas dari percakapannnya dengan Nadin di Charriot tadi.
Dukungan sahabatnya itu yang bilang kalau Jan juga memiliki perasaan yang sama
sempat membuatnya melambung, memberinya dorongan untuk melakukan saran Nadin.
Sebenarnya, Denza juga bisa melihat sih kalau Jan memperlakukannya dengan
istimewa selama ini. Tapi… Bagaimana kalau kali ini Nadin salah? Bagaimana
kalau ternyata Nadin nggak se-expert itu
dalam urusan cinta? Kalau memang Jan punya perasaan yang sama, bukannya cowok
itu harusnya sudah menyatakan perasaan dari dulu? Atau Jan juga punya pikiran
yang sama dengannya? Nggak mau merusak persahabatan mereka? Kenapa sih mereka
harus sahabatan? Bukannya ia menyesal bersahabat dengan Jan sih, tapi bukankah
hidupnya akan lebih mudah kalau ia mengenal Jan tanpa embel-embel sahabat.
Tapi, bagaimana kalau seandainya mereka tidak pernah bersahabat? Apa mereka
akan sedekat ini? Apa ia juga akan jatuh cinta pada Jan? Apa—
“Oi!” Jan menjentikkan jari di depan wajah
Denza,”Mikirin apaan sih?”
“Nggak…” Denza melayangkan pandang ke jendela
di sebelahnya, mobil mereka kini melaju kencang di jalan bebas hambatan.
“Dari tadi ditanyain jawabnya ‘nggak’
melulu,” Jan kembali berkonsentrasi pada jalanan di depannya,”Cerita dong. Ada
apa?”
“Nggak ada apa-apa kok,” sergah Denza.
Perhatian Jan yang kayak gini nih, yang sering membuatnya merasa tersanjung
sekaligus jengah. Ia kadang bingung mencari celah untuk menghindar dari sikap
peduli sahabatnya itu.
“Tuh kan, ‘nggak’ lagi. Bener nih nggak ada
apa-apa?”
“Bener,” Denza mengusahakan agar suaranya
terdengar setegas mungkin.
“Elo boleh cerita apa aja loh ke gue,” Jan
masih bersikeras.
“Iya. Gue tahu kok. Kita udah kenal berapa
lama sih?” Denza tersenyum,”Tapi emang lagi nggak ada yang bisa diceritain”.
“Nggak bisa atau nggak mau?” tanya Jan dengan
nada jahil.
“Nggak bisa, Jan! Duh, elo ini!”
“Oke, oke,” Jan tergelak, tahu sahabatnya itu
paling enak digoda kalau sudah terpojok,”Nah, gitu dong! Muka jangan dilipet
terus, ini kan hari ulang tahun lo”.
Denza diam sejenak. Mungkin memang sebaiknya
mereka seperti ini. Sahabatan. Nggak perlu ada rasa curiga, nggak perlu ada
rasa cemburu, dan perasaan lain yang sering kali dikeluhkan oleh Nadin ketika
pacaran. Mungkin, hubungan mereka yang berstatus sahabat sebenarnya lebih dari
pacaran.
“Thanks ya, Jan,” tutur Denza saat mobil Jan
akhirnya berhenti di depan rumahnya,”Buat ucapan selamat ulang tahunnya, buat
kadonya, buat waktunya, buat kehadirannya, buat… jadi sahabat gue”.
“Denza?” kedua alis Jan bertaut, nggak biasa
banget sahabatnya seserius ini,”Kok kayak mau perpisahan aja sih?”
Denza menggeleng. “Cuma kepikiran aja.
Setelah tadi ngobrol ama Nadin, gue jadi sadar, ternyata gue beruntung banget
ya bisa punya elo.”
Jan masih bingung dengan maksud Denza, tapi
ia memutuskan untuk tidak ambil pusing. “Untuk persahabatan kita?” Jan
mengepalkan tinjunya di hadapan Denza.
“Untuk persahabatan kita,” Denza menempelkan
tinjunya pada milik Jan.
“Forever
and ever and ever,” mereka berseru bersamaan.
“Gue masuk ya, makasih udah nganter,” pamit
Denza.
“Daaah, jangan telat besok,” Jan menurunkan
jendela samping agar suaranya dapat terdengar,”Ngomong-ngomong, besok pulang
sekolah ada waktu? Gue mau ngomong sesuatu ama lo”.
“Oke. Tentang apa?”
“Ada deh,” Jan menggaruk tengkuknya yang
tidak terasa gatal,”Kalau gitu, sampai besok ya—“
TIIIIIN-TIIIIIIN!!!!!!
Denza dan Jan serentak menoleh ke jalanan di
belakang mereka. Sebuah mobil van putih tengah melaju dengan kecepatan tinggi.
Dengan laju seperti itu mustahil van tersebut bisa berhenti tanpa menghantam
mobil milik Jan.
“JAAAAANNN!!” Denza berteriak sekuat tenaga.
Tangannya bergegas meraih pintu mobil untuk menarik Jan keluar. Namun seluruh
penglihatannya terhalang oleh cahaya menyilaukan dari van tersebut, dan ia tahu
semuanya sudah terlambat.
No comments:
Post a Comment