Beberapa
teman sering melontarkan pertanyaan seperti ini kepada saya, ‘Sejak kapan mulai
suka nulis?’, ‘Gimana ceritanya bisa suka menulis?’
Saya
nggak tahu kapan tepatnya saya mulai suka menulis. Tapi yang pasti, kecintaan
saya menulis berangkat dari kecintaan saya membaca. I’ve been in love with story since I can remember things. Dan hal
yang paling membuat saya bersyukur adalah, orang tua saya selalu melimpahkan saya dengan
segudang buku sekali pun kondisi ekonomi kami dulu sangat pas-pasan. Kalau
dipikir-pikir, saya beruntung sekali memiliki orang tua seperti mereka, yang
nggak pernah pelit membelikan saya buku, walau saya yakin masih banyak kebutuhan
lain yang harus dipenuhi. Walau membelikan buku untuk saya berarti harus memotong anggaran pengeluaran lainnya.
Saya
ingat, buku-buku pertama saya adalah seri TIME
LIFE for Children, beberapa judul yang masih membekas adalah ‘Pak Badru
Kebingungan’, ‘Tania Peranti dan Geng Lacak’, ‘Tiga Pendongeng Atau-Atau,’ dan
masih banyak lagi. Lalu ada juga seri Alice di Negeri Alkitab, dongeng-dongeng
Hans Christian Andersen, cerita-cerita klasik Disney, cerita-cerita rakyat
Indonesia, sampai ensiklopedi-ensiklopedi anak. I also remember my Mom used to tell me Bible stories in bed, or my
father made up his version of story (it’s kinda amusing since he thought hard
about what would happened next while he told the story).
Mengingat
kedua orang tua saya sama sekali tidak suka membaca, saya merasa dapat tumbuh
bersama buku adalah sebuah berkat tersendiri. Dan saya bersyukur, orang tua
saya tidak pernah melarang saya membeli banyak buku. Saat masuk usia sekolah,
saya mulai suka membaca komik—mulai dari Doraemon, Conan, dan tentu saja
komik-komik cewek. Sampai suatu saat, saya ingat guru bahasa saya di SMP pernah
berkata, komik tidak dapat dikategorikan ke dalam bacaan mengingat ada lebih
banyak gambar daripada tulisan di dalamnya. But
I still love comics 'til today, hehe…
I read a little about Lima Sekawan;
cerita-cerita detektif yang sering saya pinjam di perpustakaan SD. Beranjak SMP,
barulah saya mulai suka membaca novel. Kesukaan menulis sendiri, mungkin baru
saya sadari sejak akhir SMP atau awal SMA. Saya nggak ingat jelas bagaimana
tepatnya. Di SMA saya kadang iseng membuat cerpen di laptop. Lalu saya kadang
diminta membuat cerpen untuk mading gereja atau buletin gereja (sampai hari ini
kalau saya baca lagi cerita-cerita saya dulu rasanya aneh banget). Dari situ
saya mulai ketagihan menulis. Masuk kuliah, rasanya saya makin rajin menulis.
Mungkin karena pressure dunia kuliah
lebih tinggi, hingga saya menjadikan menulis sebagai terapi. And it works.
Mengutip
pertanyaan Ryan Adriandhy tentang passion:
“What is the activity that will make you feel like dying if you are forbidden to do it for the rest of your life?”
Buat
saya hal itu adalah membaca dan menulis. Pada dasarnya, saya menulis murni
untuk diri saya sendiri. Sebagai pelepas stres, sebagai terapi, sebagai media
saya untuk mengekspresikan diri, dan melepas uneg-uneg. Jadi kalau tulisan saya
bisa dinikmati banyak orang dan memberi mereka insight atau membuat mereka merasa terberkati, well, I consider it as a bonus.
No comments:
Post a Comment