Monday, December 17, 2012

The Eternal Noel


Setelah membaca cerita 'The Last Noel' yang saya taruh di post sebelumnya, saya jadi tertarik untuk membuat cerita tentang Aira dan Noel lagi. Setelah beberapa lama duduk di depan laptop, inilah jadinya, hehe...


Aira menatap pemandangan di luar melalui jendela gereja. Langit kelabu Jakarta yang mencurahkan hujan nyaris sepanjang hari. Di belakangnya samar-samar terdengar suara keyboard yang melantunkan lagu O Holy Night, beberapa temannya tengah sibuk di atas panggung, melatih scene drama untuk perayaan Natal besok. Sebagian temannya yang lain duduk bersila di lantai mengerjakan dekorasi dan sebagian lagi sibuk memasang layar hitam di belakang panggung.

Aira juga seharusnya ikut bergabung. Gladi resik dimulai satu jam lagi dan masih begitu banyak yang harus dibereskan. Tapi ia sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin terus seperti ini, duduk di dalam gereja dan tidak melakukan apa pun—menikmati suasana Natal yang terasa begitu kental. Alunan lagu The First Noel dan kerlap-kerlip lampu dari pohon Natal  membuat pikirannya melayang jauh ke beberapa tahun lalu.

“Noel itu artinya Natal kan?” Aira menopangkan dagu pada kedua telapak tangannya. Aroma coklat panas di cuaca yang begitu dingin segera menyerbu rongga hidungnya.

Lawan bicaranya mengangguk.

“Gue suka Natal,” Aira melayangkan pandangan keluar jendela Kaftee & Bun.

“Berarti elo suka gue?” Noel tersenyum tipis.

“Iya. Dan Natal itu sendiri, pohon Natalnya, lampu-lampu dan ornamen cantiknya, lagu-lagunya. Rasanya damai sekali dikelilingi semua itu”.

“Tapi bukankah Natal lebih dari itu?” Noel mencondongkan tubuhnya.

“Tentu saja,” Aira mengangguk,”Natal itu soal hati kan? Dan bicara soal hati—“

Please, jangan sekarang, Aira,” melihat raut Aira, Noel tahu kemana pembicaraan mereka akan mengarah,”Gue nggak mau merusak momen ini”.

Sorot Aira berubah sendu,”Tapi momen ini memang nggak seharusnya ada kan?”

“Gue di sini,” Noel menyentuh tangan Aira di atas meja.

Aira menggeleng. Matanya kini tertutup selaput tipis air mata. “Elo nggak seharusnya di sini”.

“Ini Natal,” Noel tersenyum lembut,”Waktu di mana seharusnya gue ada di sini, bersama elo”.

“Ini Natal,” Aira memejamkan mata,”Waktu di mana elo pergi.”

Ketika Aira membuka mata kembali, sosok itu hilang. Aira menatap tangannya yang beberapa detik lalu bertaut dengan sebuah tangan transparan. Anehnya, ia dapat merasakan hangatnya tangan itu. Aira menghembuskan napas berat. “I miss you, Noel”.


“A-I-R-A!” Suara Samuel membelah lamunannya,”Mau sampai kapan bengong di situ?”

Aira menatap ke atas panggung, teman-temannya tampak kesal karena ia adalah satu-satunya yang tidak ikut bekerja.

“Maaf, maaf,” Aira bergegas menghampiri yang lain,”Apa yang bisa gue bantu?”

Halo, Noel. Apa kabar? Bagaimana persiapan Natal di surga? Pasti jauh lebih semarak daripada di sini ya? Gue merindukan elo. Merindukan kita. Tapi tenang, gue baik-baik aja, dan masih menyukai Natal.

“Aira,” Aira menoleh ke arah datangnya suara itu. Di sana, di sebelah pohon Natal, berdiri sosok Noel dengan kedua tangan di saku celana. Cowok itu tersenyum lebar.

Merry Christmas, Noel”.

“Elo bilang apa, Ai?” tanya Rahel.

Aira menggeleng seraya tersenyum kecil. “Bukan apa-apa”.

Ketika Aira menoleh lagi, sosok Noel perlahan menghilang.

Sampai jumpa di Natal tahun depan, dan tahun depannya lagi, dan tahun depannya lagi. Selamanya.

No comments:

Post a Comment