Setelah membaca cerita 'The Last Noel' yang saya taruh di post sebelumnya, saya jadi tertarik untuk membuat cerita tentang Aira dan Noel lagi. Setelah beberapa lama duduk di depan laptop, inilah jadinya, hehe...
Aira
menatap pemandangan di luar melalui jendela gereja. Langit kelabu Jakarta yang
mencurahkan hujan nyaris sepanjang hari. Di belakangnya samar-samar terdengar
suara keyboard yang melantunkan lagu O Holy Night, beberapa temannya tengah
sibuk di atas panggung, melatih scene
drama untuk perayaan Natal besok. Sebagian temannya yang lain duduk bersila di
lantai mengerjakan dekorasi dan sebagian lagi sibuk memasang layar hitam di
belakang panggung.
Aira
juga seharusnya ikut bergabung. Gladi resik dimulai satu jam lagi dan masih
begitu banyak yang harus dibereskan. Tapi ia sama sekali tidak berniat untuk
beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin terus seperti ini, duduk di dalam
gereja dan tidak melakukan apa pun—menikmati suasana Natal yang terasa begitu
kental. Alunan lagu The First Noel dan kerlap-kerlip lampu dari pohon
Natal membuat pikirannya melayang jauh
ke beberapa tahun lalu.
“Noel
itu artinya Natal kan?” Aira menopangkan dagu pada kedua telapak tangannya.
Aroma coklat panas di cuaca yang begitu dingin segera menyerbu rongga
hidungnya.
Lawan
bicaranya mengangguk.
“Gue
suka Natal,” Aira melayangkan pandangan keluar jendela Kaftee & Bun.
“Berarti
elo suka gue?” Noel tersenyum tipis.
“Iya.
Dan Natal itu sendiri, pohon Natalnya, lampu-lampu dan ornamen cantiknya,
lagu-lagunya. Rasanya damai sekali dikelilingi semua itu”.
“Tapi
bukankah Natal lebih dari itu?” Noel mencondongkan tubuhnya.
“Tentu
saja,” Aira mengangguk,”Natal itu soal hati kan? Dan bicara soal hati—“
“Please, jangan sekarang, Aira,” melihat
raut Aira, Noel tahu kemana pembicaraan mereka akan mengarah,”Gue nggak mau
merusak momen ini”.
Sorot
Aira berubah sendu,”Tapi momen ini memang nggak seharusnya ada kan?”
“Gue
di sini,” Noel menyentuh tangan Aira di atas meja.
Aira
menggeleng. Matanya kini tertutup selaput tipis air mata. “Elo nggak seharusnya
di sini”.
“Ini
Natal,” Noel tersenyum lembut,”Waktu di mana seharusnya gue ada di sini,
bersama elo”.
“Ini
Natal,” Aira memejamkan mata,”Waktu di mana elo pergi.”
Ketika
Aira membuka mata kembali, sosok itu hilang. Aira menatap tangannya yang
beberapa detik lalu bertaut dengan sebuah tangan transparan. Anehnya, ia dapat
merasakan hangatnya tangan itu. Aira menghembuskan napas berat. “I miss you, Noel”.
“A-I-R-A!”
Suara Samuel membelah lamunannya,”Mau sampai kapan bengong di situ?”
Aira
menatap ke atas panggung, teman-temannya tampak kesal karena ia adalah
satu-satunya yang tidak ikut bekerja.
“Maaf,
maaf,” Aira bergegas menghampiri yang lain,”Apa yang bisa gue bantu?”
Halo, Noel. Apa kabar? Bagaimana persiapan
Natal di surga? Pasti jauh lebih semarak daripada di sini ya? Gue merindukan
elo. Merindukan kita. Tapi tenang, gue baik-baik aja, dan masih menyukai Natal.
“Aira,” Aira menoleh ke arah datangnya
suara itu. Di sana, di sebelah pohon Natal, berdiri sosok Noel dengan kedua
tangan di saku celana. Cowok itu tersenyum lebar.
“Merry Christmas, Noel”.
“Elo
bilang apa, Ai?” tanya Rahel.
Aira
menggeleng seraya tersenyum kecil. “Bukan apa-apa”.
Ketika
Aira menoleh lagi, sosok Noel perlahan menghilang.
Sampai jumpa di Natal tahun depan, dan tahun depannya lagi, dan tahun depannya lagi. Selamanya.
No comments:
Post a Comment