Tuesday, December 4, 2012

A Wonderful Pain


I’ve just got back from a Singapore trip with my friends. Menyenangkan sekaligus capek. Setiap hari jalan dari pagi sampai larut malam, rasanya kaki hampir putus. Nggak jarang saya mengeluh capek, pegel, dan sakit di bagian telapak kaki. Saya pun selalu mencuri-curi kesempatan untuk duduk setiap ada tempat duduk nganggur. Sampai suatu malam sebelum kami pulang, teman saya bertanya,”Kalau merasa kaki kamu sakit seperti sekarang ini, kamu bersyukur atau malah kesal?”

Saya mengernyit, pertanyaan yang aneh menurut saya. Tentu saja saya kesal. Tapi malam itu saya tidak menjawab.

“Seharusnya kamu bersyukur,” ia melanjutkan,”Karena kalau kamu masih merasakan sakit seperti ini, berarti kamu masih memiliki kaki. Lihat deh orang-orang yang tidak punya kaki, mereka tidak bisa merasakan sakit seperti kamu”.

Saya terdiam. Mencerna kata teman saya itu sembari berjalan menyusuri toko-toko kaki lima. Saya berusaha membayangkan orang-orang yang tidak seberuntung saya, yang tidak bisa berjalan, tidak memiliki tangan, dan memiliki kekurangan anggota tubuh lainnya. Mereka tidak dapat merasakan sakit, tapi sama sekali tidak berarti mereka lebih beruntung dari saya. Bahkan mungkin mereka akan memberikan apa pun untuk dapat merasakan sakit seperti yang sedang saya rasakan.

Sakit mungkin adalah rasa paling menyebalkan yang dapat disyukuri oleh manusia. Sakit mengingatkan kita bahwa ada yang salah pada tubuh kita—alarm pertama kita. Sakit mengingatkan kita pada bagian tubuh yang masih kita miliki. Tapi sayangnya kita sering kali lupa. Lupa bersyukur untuk setiap rasa sakit yang masih bisa kita rasakan. Lupa memahami bahwa dibalik rasa sakit yang kita derita ada anugerah yang luar biasa.

No comments:

Post a Comment