I’ve just got back from a Singapore trip with my friends.
Menyenangkan sekaligus capek. Setiap hari jalan dari pagi sampai larut malam,
rasanya kaki hampir putus. Nggak jarang saya mengeluh capek, pegel, dan sakit
di bagian telapak kaki. Saya pun selalu mencuri-curi kesempatan untuk duduk
setiap ada tempat duduk nganggur. Sampai suatu malam sebelum kami pulang, teman
saya bertanya,”Kalau merasa kaki kamu sakit seperti sekarang ini, kamu
bersyukur atau malah kesal?”
Saya mengernyit, pertanyaan yang aneh menurut saya. Tentu
saja saya kesal. Tapi malam itu saya tidak menjawab.
“Seharusnya kamu bersyukur,” ia melanjutkan,”Karena kalau
kamu masih merasakan sakit seperti ini, berarti kamu masih memiliki kaki. Lihat
deh orang-orang yang tidak punya kaki, mereka tidak bisa merasakan sakit
seperti kamu”.
Saya terdiam. Mencerna kata teman saya itu sembari berjalan
menyusuri toko-toko kaki lima. Saya berusaha membayangkan orang-orang yang
tidak seberuntung saya, yang tidak bisa berjalan, tidak memiliki tangan, dan memiliki
kekurangan anggota tubuh lainnya. Mereka tidak dapat merasakan sakit, tapi sama
sekali tidak berarti mereka lebih beruntung dari saya. Bahkan mungkin mereka
akan memberikan apa pun untuk dapat merasakan sakit seperti yang sedang saya
rasakan.
Sakit mungkin adalah rasa paling menyebalkan yang dapat
disyukuri oleh manusia. Sakit mengingatkan kita bahwa ada yang salah pada tubuh
kita—alarm pertama kita. Sakit
mengingatkan kita pada bagian tubuh yang masih kita miliki. Tapi sayangnya kita
sering kali lupa. Lupa bersyukur untuk setiap rasa sakit yang masih bisa kita
rasakan. Lupa memahami bahwa dibalik rasa sakit yang kita derita ada anugerah
yang luar biasa.
No comments:
Post a Comment