Kalau ingin ke gereja tanpa melewati jalan raya, saya harus
melewati tempat penampungan sampah di sebuah pemukiman. Dan belakangan ini,
sampah di tempat itu semakin membludak. Gerobak-gerobak sampah dan
kantong-kantong sampah besar memenuhi hampir separuh jalan. Akibatnya tentu
saja merugikan banyak orang. Selain bau yang nggak sedap, sampah-sampah itu
juga bikin macet. Mobil yang berlawanan arah harus bergantian melewati jalan
itu, nggak jarang juga terjadi perkelahian-perkelahian kecil akibat pengendara
yang tidak mau saling mengalah.
Karena terlalu sering melewatinya, saya jadi berpikir.
Mungkin hati kita juga seperti jalan itu ya. Sampah-sampah yang memenuhinya
adalah dosa-dosa kita, kepahitan-kepahitan yang kita tumpuk kepada sesama.
Akibatnya, bukan hanya merugikan kita, tapi juga orang lain. Dosa dan kepahitan
yang terus kita pendam di hati kita lama-lama akan jadi sumbat. Nggak cuma itu,
hubungan kita dengan Tuhan, hubungan kita dengan orang lain, bahkan hubungan
orang lain dengan orang lainnya yang berkenaan dengan kita juga jadi rusak.
Pada akhirnya seluruh relasi kita akan terhambat, berhenti di tempat atau
bahkan berakhir, dan kita akan kesulitan membiarkan orang lain menyentuh hati
kita termasuk Kristus. Solusinya, tentu saja dengan menyingkirkan ‘sampah hati’
kita, bukan memindahkannnya ke bagian hati yang lain, tapi benar-benar
membuangnya, membiarkan sampah itu dibakar oleh kasih. Dengan begitu, kita
dapat menjadikan hati kita tempat yang nyaman untuk ditinggali.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete