picturetakenfrom:pinterest.com |
Adam
melangkah memasuki pondok itu. Bau kayu lapuk dan udara laut menyerbu
paru-parunya. Selama beberapa detik ia hanya berdiri diam di pintu. Semua nampak
sama dengan yang diingatnya.
Barisan
pot bunga di pinggir jendela. Kursi goyang di teras belakang. Magnet-magnet
berbentuk kerang pada pintu kulkas. Dan meja makan yang kini kosong.
Adam
mengalihkan pandangan ke arah tangga. Di sana ia dapat melihat seorang bocah
kecil dengan piyama biru berlari turun dan menyerbu meja makan. Anak itu
berteriak kegirangan saat seorang wanita berparas 40-an membawa baki berisi
ayam panggang, lengkap dengan asapnya yang masih mengepul. Beberapa menit
kemudian aroma lezat itu akan bercampur dengan bau tembakau. Seorang pria
bertubuh tegap bergabung dengan mereka.
Selesai
makan malam bocah kecil itu merangkak naik ke pangkuan ayahnya di atas kursi
goyang. Semuanya nampak damai. Bulan yang bersinar sempurna di langit, suara
debur ombak yang menghantam karang, dan angin yang terasa lengket di kulit.
Adam
memasukkan kedua tangannya ke saku celana seraya bersandar pada tiang kayu yang
menyanggah pondok tersebut. Ia mengamati bocah itu hingga terlelap.
Sampai
di sini, ia ingin waktu berhenti. Karena selanjutnya ia tahu apa yang akan
terjadi: Suara pintu dibanting, disusul dengan kata-kata kasar yang keluar dari
wanita yang nampak lelah. Pria yang memangku anak itu membalas dengan makian.
Sumpah serapah berterbangan, mencemari udara pantai yang tenang. Air mata mulai
menetes. Adam berusaha menutupi telinga bocah itu dengan tangannya. “Jangan
terbangun”.
Sia-sia.
Anak itu membuka matanya pada sebuah pemandangan yang akan diingatnya seumur
hidup. Ibu yang tergugu di sudut teras dengan rambut acak-acakan dan darah pada
sudut bibirnya. Ayah dengan kata-kata kasar terakhirnya yang melenggang pergi. Pergi.
Dan tidak kembali.
Pondok
itu kini kosong. Adam tersenyum pahit. Lucu bagaimana takdir membawanya kembali
ke sini. Lucu bagaimana pesawat yang ditumpanginya dari Frisco mendadak
kehilangan kendali dan jatuh di tempat ini.
Ia
tidak tahu kapan tim SAR akan berhasil menemukan jasadnya dan penumpang lain.
Tapi ia bersyukur, sampai saat itu tiba, ia dapat menunggu di rumah. Sambil
mengenang Ibu. Sambil memaafkan Ayah.
No comments:
Post a Comment